Liburan

1083 Kata
Dua hari ini begitu melelahkan. Hanya karena sebuah nama, kami sekeluarga hampir bersitegang. Untuk itu, aku mengajak Mbak Esti me-refresh pikiran dengan mengajaknya berlibur di pantai. Lucky dan dua temanku lainnya, Geisya juga Fara. Sudah merencanakan acara ini jauh hari sebelumnya. Apalagi, setelah melalui ujian akhir semester, otak kami terlalu penat. Juga sebagai hiburan terakhir, sebab setelah ini kami akan lulus, dan berpisah dari jenjang SMA. Saat kuberitahu Lucky jika Mbak Esti turut serta, ia malah girang. Aku tahu persis ia playboy cap kadal, dari dulu suka menarik perhatian Mbak Esti, meski hal itu hanyalah sebuah ketidakmungkinan. Tetapi Lucky senang jika bisa dekat dengan Mbak Esti. Katanya, Kakakku itu bagai bidadari. Yang salah turun dari langit, hingga menjelma jadi manusia. Aku sering tertawa ketika ia melemparkan jurus-jurus mautnya untuk menggoda. Lucky itu harusnya cocok jadi seorang stand up komedian. Segala joke-joke recehnya sering membuat orang tertawa ngakak. Bahkan, ia sangat ditunggu ketika ada perkumpulan atau hang out bersama. Aku dan Mbak Esti sudah meminta izin kedua orang tua kami sebelumnya. Papa tak mempermasalahkan, sebab pantai yang kami tuju tak terlalu jauh dari rumah. Cukup sekitar dua jam perjalanan saja, kami akan sampai pada tujuan wisata itu. Kupilih celana pendek warna coklat s**u, dengan atasan kaus oblong putih, dipadu kemeja pantai warna biru, yang tidak kusematkan kancingnya. Kaca mata hitam tak lupa kubawa untuk menghindari sengatan matahari nanti ketika sampai di sana. Aku turun dari kamar, dengan menggendong tas selempang yang hanya berisikan kamera, ponsel, juga dompet. Serta satu bungkus permen dan celana ganti untuk nanti ketika berenang. Kuketuk pintu dengan tulisan nama ‘Esti' untuk memanggil kakakku itu. “Ayo! Nggak pake lama!” Tangan sebelahku menempel pada pintu, sebelah lainnya berkacak pinggang. Menunggu pintu terbuka. Ketika pintu terbuka, kutemukan Mbak Esti dengan gaun pantai pendek sepaha, berwarna merah motif bunga-bunga, sudah lengkap dengan topi bundar besar dan kaca mata hitam. Sebuah koper kecil ia seret ke luar, lantas menempelkannya pada tanganku. “Eh, apa-apaan!” Ia tersenyum tengil. “Tolong ya, adikku yang paling ganteng. Bawain koper punya kakak. Berat, aku nggak akan kuat.” Selorohnya sembari berjalan mendahuluiku dengan memegang topi yang terlihat kebesaran. Aku memutar bola mata malas. Nasib jadi anak laki-laki, segala pekerjaan berat selalu menjadi alasan untuk dilemparkan padaku. Sambutan Mama di ruang tamu, menjadi hal terakhir yang membuatku lagi-lagi memutar bola mata. Ia bak seorang ibu yang ditinggal anaknya merantau. Penuh drama, melihat isi tas kami, semua barang bawaan, juga menasihati kami dengan segala hal yang bahkan bagiku terlalu lebay. Kami bagai anak kecil yang dilepas, dan tak tahu apa-apa. Sebuah tas besar dengan isi makanan dan pernak-pernik ke pantai ia sodorkan padaku. “Buat apa, Ma ... nggak usah repot. Nanti kami bisa beli makanan di sana. Kita liburan hanya tiga hari saja, bukan berbulan-bulan,” ucapku memicingkan mata. Ia tak peduli lagi, melihatku yang tak mau menerima bekal darinya. Ditentengnya tas besar itu ke luar rumah, menuju mobil yang sudah dipersiapkan Pak Gito di halaman. Memasukkannya tanpa menunggu persetujuan kami. Mbak Esti mencolek pinggangku, membuatku melirik dirinya yang mengerling dan mengangguk. Kuembuskan napas pelan, menjawabnya dengan mengangguk kembali. Meski baru beberapa hari lalu, SIM-ku untuk mengemudi sudah jadi. Papa belum sepenuhnya mengizinkanku membawa mobil sendiri. Ia terlalu parno jika terjadi sesuatu padaku yang katanya belum terlatih betul mengendarai. Padahal, tanpa sepengetahuannya, aku sering membawa mobil kawan-kawanku ketika sedang ada acara bersama. Bahkan aku mengikuti balap mobil liar, tanpa ada yang tahu. Bersama Lucky tentunya. Pekerjaannya sebagai montir bengkel, sering kali menggodanya untuk menjajal mobil-mobil hasil servisnya di arena balap bersamaku. Tin ... tin .... Tanpa kusadari, Mbak Esti sudah berada di balik kemudi. Ia menyadarkanku dengan bunyi klakson yang membuatku sedikit berjingkat kaget. Segera aku masuk di kursi depan, tepat di sebelahnya. Kututup pintu keras, lalu menurunkan kaca dari dalam. Memberi waktu Mama untuk menyampaikan pesan terakhirnya. Beliau mendekat pada pintu mobil dan menyenderkan kedua sikut pada kaca. “Jangan sampai telat makan. Sunblock juga. Sudah Mama siapkan di dalam tas. Biar kulitmu nggak makin eksotis. Jaga Kakakmu baik-baik. Awas juga dengan air pasang dan ombak. Hati-hati. Mama nggak mau kalian pulang dengan masalah baru.” Aku dan Mbak Esti saling lirik, lalu berbarengan mengangguk patuh. “Selamat menikmati liburan. Jangan lupa kasih kabar kalo sudah sampai di sana.” Tanganku membentuk sikap hormat di dahi, memberinya senyuman paling manis. Mama melirik Mbak Esti dengan sedikit melonggokkan kepala ke samping. “Esti, jangan ngebut. Pelan-pelan asal selamat.” “Siap, Ma.” Kunaikkan kaca mobil, setelah Mama melepas tangannya. Lambaian tangannya menjadi iringan terakhir kita sebelum Mbak Esti menancap gas ke luar rumah. Tepat ketika keluar dari gerbang perum, Mbak Esti menghentikan mobilnya. Aku menoleh padanya tak mengerti kenapa ia harus berhenti. “Geser,” ucapnya yang membuatku seketika mengangkat p****t dan berganti posisi dengan Mbak Esti. Aku merebahkan punggung di balik kemudi, lalu saling berpandang padanya dan melesatkan mobil menuju rumah Fara, yang di sana telah menanti Lucky beserta kedua gadis gebetannya. Kutemukan wajah Lucky di depan gerbang dengan menduduki koper besar, sembari menopang dagu dengan tangan kanannya. Rautnya seketika sumringah saat melihat mobil merah milik Mbak Esti datang menghampiri. Kuhentikan mobil tepat pada tempatnya menunggu. Menurunkan kaca mobil dan menyeringai padanya. “Lama banget, sih,” gerutunya sembari berdiri dan menarik dua koper di kiri kanannya. Ia menunduk sebentar, mencari wajah Kakakku di sebelah. “Hai, Mbak,” sapanya seraya menaikkan alis. Mbak Esti hanya melirik dan nyengir melihat kelakuannya. Selalu saja seperti itu. Langsung saja kuusap wajah sok cakep itu kasar. Membuatnya mengeluarkan kata kotor. “Anjir ... bikin kaget aja!” Ia tertawa geli tanpa ingin membalasku. Berjalan menuju pintu belakang, dan menaruh dua koper yang ditentengnya. Diikuti Fara dan Geisya. Tanpa menunggu lama lagi, kulajukan mobil cepat menuju tempat tujuan. Dua jam perjalanan terasa singkat, sebab jalanan begitu lengang. Tak seperti saat hari biasa, yang disibukkan dengan berbagai kendaraan besar. Hanya ketika hampir sampai pada tujuan saja, jalanan mulai melambat dan merayap. Menunggu antrean untuk masuk ke tempat wisata. Aku membelokkan mobil menuju hotel terlebih dulu, untuk menaruh barang-barang bawaan. Geisya sudah memesan dua kamar untuk kami sebelumnya. Kebetulan, yang mempunyai vila adalah omnya sendiri. Tinggal meneleponnya saja semua sudah beres. Kami turun bersama membawa koper dan tas masing-masing, menuju kamar pesanan. Dengan penuh jemawa, Lucky menyanggupi ketiga gadis untuk membawakan barang-barang mereka. Aku hanya bisa terkikik, melihatnya bermandikan peluh mencoba sekuatnya menarik koper-koper berat itu. Sok-sokan sekali memang. Hingga ketika kita melewati sebuah kamar, kami bersinggungan dengan seseorang yang di belakangnya, terdapat sosok menyeringai padaku. Seketika alisku bertaut geram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN