Video (2)

1099 Kata
Aku tak mengerti lagi, kenapa Bi Sumi yang biasa kukenal dengan segala kelembutan dan kebaikannya, mulai pagi ini terlihat sangat berbeda. Ingin rasa k****a pikirannya, tetapi sosok di belakangnya menciutkan nyaliku. Kuputar lagi badan menuju arah tangga, berpura-pura lagi tak tahu jika aku melihat sosok yang menyeramkan itu. Meluruskan pandangan ke depan, meski hati ingin melirik ke arah belakang. Melihat bentuknya yang seperti itu, sepertinya lebih baik aku melihat batur Doni. Meski wajahnya terkadang tampak seram, sosok itu tetap anggun dalam balutan kebaya dan jarik. Tidak seperti sosok hitam itu. Menyeramkan. Membuat bulu kuduk meremang. Meski sudah terbiasa melihat hal tak kasat mata, aku juga masih punya rasa takut. Kupercepat langkah agar segera sampai atas dan masuk kamar. Kututup pintu dengan tergopoh dan segera mengunci, lalu berdiri bersandar pada pintu yang tertutup. Kustabilkan napas agar tenang, mengusap d**a yang terasa berdetak kian kencang. Sebelum harus kembali ke bawah untuk berangkat ke sekolah. Kupilih sweater putih untuk menutup seragamku. Tak lupa tas ransel hitam menggelantung di punggung. Kusemprot tubuh dengan minyak wangi beraroma maskulin, lalu menyisir rambut sedikit ikalku ke belakang. Meski saat menunduk, semua rambut depanku jatuh tergerai bagai rajutan benang sutra. Tak lupa sepatu sneakers putih serta jam tangan sport hitam sebagai penambah sempurna penampilan. Aku keluar kamar dengan perasaan was-was. Berharap tak bertemu lagi dengan Bi Sumi serta perewangannya itu. Kutelusuri tiap sudut ruang bawah dari atas. Rupanya aman, tak kulihat sedikit pun pergerakannya di bawah. Mungkin, ia sedang sibuk di dapur atau belakang rumah. Langkahku seperti berlari, menuju garasi depan. Seperti biasa, kupakai motor sport hijauku untuk berangkat menuju tempat menimba ilmu. Sedikit kencang aku melajukan kendaraan untuk memburu waktu. Sebab, beberapa menit lagi pelajaran akan dimulai. Beginilah enaknya naik motor. Bisa melaju dan menyelip di antara banyak kendaraan besar yang berjejer macet. Jika saja menaiki mobil, mungkin aku tak bisa mempersingkat waktu sampai ke kampus tercinta. Sesampainya di gedung tinggi tempatku meraih cita-cita, aku dibingungkan dengan kerumunan banyak anak yang seketika melihat dan berbisik saat aku menjejakkan kaki. Entah, apa yang sedang mereka bicarakan. Aku tak tahu. Aku sampai kikuk melihat puluhan mata yang mengarah padaku. Apa ada yang salah dengan penampilanku. Kutelusuri tubuh dari atas ke bawah. Sepertinya tak ada yang aneh. Bahkan saat menemukan kaca gedung. Aku melihat bagian belakang tubuh. Takut jika ada sesuatu yang memicu pandangan aneh mereka. Hingga sebuah suara cempreng memanggil namaku dari pojok gedung. Kutolehkan kepala pada sosok dengan rambut dicat blonde atasnya yang segera menghampiriku saat turun dari motor kesayangan. Lucky, sahabat yang sekaligus seperti saudara bagiku, tergopoh mendatangi dengan wajah gusar. Napasnya memburu, seperti tengah menahan sesuatu. “Kamu kenapa?” tanyaku mengerutkan kening, penuh selidik. Ia berdiri tepat di hadapan, lalu tergopoh mengambil ponsel dari saku celananya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, diusapnya layar kunci dan segera menyeret beberapa kali. Lantas, menunjukkanku sebuah video. Rahangku serasa mengeras, saat melihat tampilan gambar yang terpampang. Kutarik ponsel dari genggaman Lucky dan menajamkan pandang. “Ck ... aku benar-benar nggak ngerti dengan pikiran Mbak Esti.” Kuberikan kembali ponsel milik sahabatku itu dan menggenggamkannya pada telapak tanpa melihat wajahnya. Sembari berjalan dengan langkah kesal menuju kampus Kakakku, yang letaknya bersebelahan dengan sekolahku. Sebab, masih dalam satu naungan. Banyak mata yang mengikutiku berjalan mengentak, diikuti Lucky yang tergopoh menyamai langkah panjangku. Beberapa tampak menempelkan mulut pada telinga kawan di sebelahnya. Tentu saja aku tahu, mereka sedang membicarakan keluargaku. Perasaan dongkol ini membuat wajahku terasa memanas. Aku langsung masuk pada pintu biru yang terbuka lebar, saat melihat tulisan jurusan kelas Mbak Esti, di atas pintu. “Mbak!” Belum juga kutemukan wajah Kakak perempuanku, mulut ini sudah tak bisa direm. Kuedarkan mata pada sosok-sosok yang kini menatapku heran. “Al, nanti saja!” Lucky menarik lenganku agar keluar kelas. Kuempaskan tangan itu dengan mengentak keras. Lalu kembali mencari wajah Kakakku. Tepat di bangku nomor tiga, kulihat Kakakku yang tengah tertunduk dan sibuk dengan ponselnya. Hingga tak menghiraukan kedatanganku. Kugebrak meja untuk menyadarkannya. Bagaimana mungkin, semua wajah pada ruangan menoleh dan melihatku, tetapi hanya dia yang sibuk dan serius menatap layar. Anehnya ia sama sekali tak kaget, hanya melirikkan bola mata, lalu kembali fokus pada benda di tangannya. Lucky masih saja berusaha melarang. “Mbak, jelaskan! Kenapa kau masih seperti ini?” Lagi, ia hanya melirik dengan malas. Tak sedikit pun ada rasa bersalah yang tampak pada wajah orientalnya itu. “Apa maksudmu? Video itu?” Ia menyungging, menampakkan gigi gingsulnya di bagian atas kanan. Semua mata di dalam ruangan masih awas padaku, seolah ingin tahu berita terbaru dari kami. Beberapa juga tampak bersiap memegang ponsel. “Al, tahan emosimu!” Bisikan Lucky dari belakang, membuat darah yang terasa naik ke ubun-ubun perlahan turun. Aku mendengus, menundukkan kepala. Aku baru menyadari jika caraku salah. Yang kulakukan kali ini, malah menambah rasa penasaran pada mereka dan menggali informasi lebih dalam. Begitu elegan, Mbak Esti menjawab pertanyaanku, lewat WA yang ia kirimkan. Aku melirik pesannya yang masuk pada ponsel yang sedang ku genggam. “Duduk dulu, Al.” Ia menarik kursi di sebelah, dan menepuknya untukku. Mengisyaratkan agar aku tenang dan duduk di sampingnya. Sementara Lucky masih setia berdiri di sampingku. Kuikuti perintahnya tanpa bantah kali ini. Aku yakin, ia punya rencana baik, agar kami tak jadi pusat perhatian banyak orang. Kujatuhkan p****t pada tempat yang disediakannya. Lalu menarik ponsel ke atas meja dan membuka layar kunci. [Jangan gegabah, berita kita sedang ditunggu massa.] Tulisnya pada pesan aplikasi hijau. Kumulai mengetikkan huruf pada keyboard. [Maaf. Aku terlalu emosi] Pada bawah foto profilnya, tampak tulisan mengetik... [Aku paham. Dan aku sendiri lupa, jika semalam kisah keluarga kita sudah viral] Aku sudah menuliskan beberapa huruf, tetapi kuhapus lagi. Lantas, mendekat pada telinga Kakakku itu, membisikkan sesuatu. “Baiklah, kita buat mereka bingung. Kita santai saja.” Ia mengangguk, melirikku dengan seringai halus. Kini kami saling terkikik, berakting seolah sedang bercanda. Membuat setiap kepala dalam kelas, menggeleng dan bergerumun tak jelas. Sepertinya mereka kecewa. Tak jadi mendapatkan informasi lebih dari kami. Lucky juga turut berakting menyempurnakan. Hingga sebuah panggilan pada ponsel Mbak Esti, membuat kami mengerutkan kening. Tampak pada layar smartphone-nya tertera nama Bu Winda. Mata Mbak Esti melotot padaku, tenggorokannya bergerak pelan. Aku pun punya perasaan yang sama takutnya. Belum selesai kejadian keracunan semalam, kini bertambah lagi masalah baru. Aku tahu jika calon mertuanya itu pasti sudah melihat juga video Mbak Esti dan Doni. Tawa kami lesap, terdiam. Hanya dering panggilan yang masih terus berdengung, menunggu diterima. Mbak Esti menggigit bibir, mengambil ponsel dengan ragu. Aku mengangguk untuk meyakinkan. Dengan tangan gemetar, ia menyeret layar untuk menerima panggilan. Menempelkannya penuh hati-hati pada telinga. Ia menarik napas panjang, sebelum mengucap sebuah kata “Halo ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN