Kesengajaan

1132 Kata
Suara riuh di depan kamar membangunkanku yang terlelap entah sejak kapan. Yang kuingat terakhir kali, hanyalah seringai Doni. Mata langsung melek, saat gagang pintu bergerak dan pintu didorong ke dalam. Menampakkan wajah Papa yang mengernyit cemas menatapku. Di belakangnya, Mama juga demikian. Bahkan, garis bibirnya turun, seakan iba. “Apa yang sudah terjadi?” Ia menghambur dan menyusuri pandang ke seluruh bagian tubuhku. Aku hanya membalas tatapannya tanpa bergerak sedikit pun. Sebab, nyeri mulai terasa di bagian tubuh yang luka. Kucoba menarik tubuh untuk duduk, tetapi rasa kaku dan perih menghalangi gerakku. Aku mengernyit. “Sudah, jangan dipaksa, Al.” Mama dan Papa berlomba membantuku. Aku merasa bagai bayi yang butuh uluran tangan mereka. Meski dalam hati ada rasa malu menyelimuti. “Jangan seperti ini. Aku tidak apa-apa. Hanya luka kecil.” Kuulas senyum kecut pada mereka. Mencoba mensugesti keduanya agar mereka menganggap aku kuat. “Luka kecil katamu?” Papa menggeleng, ia menghempaskan tubuhnya duduk di tepi ranjang sebelahku. “Ayo kita ke klinik sekarang!” katanya tanpa membutuhkan jawaban. Percuma jika aku membantahnya. Ia akan terus mendesak agar aku patuh. Kulihat Mama mengangguk lirih di samping Papa yang masih menatapku. Ia memberi tanda agar aku takluk. Bibir sedikit berdecak, lagi-lagi perintahnya adalah suatu keharusan. Ia bak raja otoriter yang semaunya sendiri. Aku hanya bisa mengangguk tanpa bantah, meski sangat malas untuk menurutinya. Aku berdiri dengan rasa sakit di bagian-bagian yang luka. Mama membantuku berdiri lalu menyuruhku mengganti pakaian. Ia memilihkan kaos oblong dan celana pendek. Sebab, sikut juga dengkulku tergores parah. Tak bisa memakai pakaian panjang dulu. Tanpa kutahu waktu sudah gelap, ketika langkah ini menuju teras rumah. Rupanya aku tertidur cukup lama. Dengan bantuan Pak Gito, aku dipapah menuju mobil Papa, untuk menuju klinik langganan keluarga kami. Di dalam mobil, Papa terus berkata dan menasihatiku dengan rentetan tutur yang membuatku semakin malas. Ia juga bilang tak mau jika lukaku sampai infeksi. Padahal bagiku ini hanya luka kecil, hanya sedikit perih. Kalau rutin dibersihkan dengan alkohol dan antiseptik. Juga meminum beberapa obat pereda nyeri, mungkin beberapa hari saja akan kering. Namun, tidak baginya. Ini adalah hal besar, apalagi baginya aku adalah aset, yang tak boleh terluka atau terlihat tak sempurna. Apa kata teman dan kolega kerjanya nanti, jika tahu aku sampai seperti ini? Kalimat itu terus saja terngiang di otakku. Sampai di pelataran parkir, mobil berhenti tepat di dekat pintu masuk. Sebab, Papa tak ingin aku terlalu jauh berjalan. Tak ingin membiarkanku kerepotan. Aku turun dengan kaki pincang, berdiri menunggu Papa memarkirkan mobilnya. Kutatap bangunan putih di depan. Menyusuri pandang. Sudah berapa lama aku tak mengunjungi tempat ini? Sejak terakhir kali aku koma dari kecelakaan waktu itu. Aku bahkan lupa saat itu. Waktu di mana setelah bangun. Untuk pertama kalinya aku mendapatkan kemampuan yang tak biasa. Aku hanya mengingat bagian sudut-sudut kamar inapku yang tetiba saja menampakkan wajah-wajah seram di tiap titiknya. Hingga membuatku histeris. Klinik ini memang besar, terdiri dari beberapa bagian. Ada ruangan khusus kecantikan, ruangan orang sakit, ruangan bersalin, dan ruangan terapi. Meski tak sebesar rumah sakit, klinik ini ramai dari golongan menengah ke atas. Jadi, tidak sembarang orang bisa masuk ke sini. Papa membantuku duduk di kursi aluminium panjang depan loket. Lantas, ia meninggalkanku untuk mengurus pendaftaran. Berada di kursi tunggu, mataku mengernyit melihat sosok Bagus di sisi seberang. Tepat di bagian kiri dari tempatku duduk. Kulirik tulisan atas ruangan, 'Ruang Kecantikan'. Aku seketika terkikik geli. Pantas saja Bagus selalu terlihat bersih dan terawat, ternyata ia rutin ke sini. Aku terkekeh lagi, apa pantas ia disebut lelaki kekar? Pandanganku beralih dari sosok Bagus ke Papa yang memanggil, ketika ia mengajakku masuk ke ruang periksa. Hanya beberapa menit saja, aku kembali ke luar dan duduk di kursi tunggu. Sementara Papa menebus obat di bagian farmasi. Setelah obat ditebus oleh Papa, ia mengajakku kembali pulang. Di tempat parkir, Papa semringah melihat Bagus di sana yang juga bersiap di dalam mobilnya. Kulihat wajahnya tampak segar dan bersih, mungkin habis luluran. Pikirku geli kembali. Tanpa sempat menyapa Bagus, mobilnya lebih dulu berjalan ke luar dari lahan parkir. Ketika mobil Bagus bersiap menyeberang, mataku melihat sosok Doni di toko pulsa depan jalan, ia terlihat menatap geram Bagus yang celingukan mencari keadaan nyaman untuk menyeberang. Kuikuti arah matanya yang tiba-tiba berbelok pada truk besar yang berjalan. Astaga! Aku melihat batur Doni sedang memaksa sopir untuk mengarah ke mobil Bagus, sopir itu terlihat kewalahan mengatur setir, ia meringis. Aku tahu ia mencoba melawan tapi gagal. "BAGUUUS!!" teriakku lantang. BRAAKK!! Kecelakaan tak terelakkan, mobil Bagus ringsek sempurna bagian depannya. Papa dan beberapa orang berlari menuju mobil Bagus, dengan terpincang-pincang aku ikut mengerumuni mobil Bagus. Kupaksa membelah kerumunan orang. Ingin tahu keadaan Bagus. Aku ngeri sekaligus iba menemukan keadaan mobil Bagus yang semengerikan itu, tetapi, di mana Bagus? Mataku berputar-putar mencari sosoknya yang sudah tak ada dalam kursi kemudi. Akhirnya aku bisa bernapas lega, saat melihat dirinya dipapah banyak orang. Ia tampak meringis sembari berjalan mengikuti arahan warga. Kulihat Papa memanggil-manggil nama Bagus, ia ikut cemas. Beberapa warga yang lain berkerumun memukul sopir truk yang mencoba kabur, mereka menghunjamnya tanpa ampun. Tak peduli hukum yang ada, karena geram menyelimuti. Hingga akhirnya suara sirine polisi menghentikan amukan mereka. Beberapa menit berlalu akhirnya Bagus keluar dari ruang dokter, tanpa menggunakan sepatu. Kulihat tak ada luka serius, hanya kakinya sedikit pincang dengan lilitan kasa kecil. Mungkin sedikit terjepit bagian depan mobil yang terhantam. Papa seketika menghampirinya. “Kamu nggak apa-apa, Gus?” Ia hanya menggeleng. Lantas, mendekat padaku dan mengucapkan kalimat. “Terima kasih, Al. Kalau bukan karena panggilanmu tadi, mungkin aku nggak selamat. Aku langsung menggeser tubuh ke kiri, saat melihat truk tiba-tiba melaju cepat. Hingga sedikit terjepit bagian telapaknya saja. Kalau tidak, entah bagaimana.” Aku hanya menengadah tak beranjak dari duduk. Lalu, mengangguk perlahan. “Syukurlah, tak ada luka serius.” Papa turut menghambur dalam percakapan kita. Seorang polisi mendekati Bagus, ia tampak menanyakan beberapa hal untuk pemeriksaan. Sampai pada akhirnya, polisi itu juga meminta keterangan padaku dan Papa. Aku tak mau dianggap aneh. Untuk itu, aku berbohong, bahwa aku hanya refleks dan sedikit ada keberuntungan saja, sampai tahu jika ada truk yang akan melintas depan mobil Bagus. Tanpa menyebut nama Doni sedikit pun. Sebab, mereka juga takkan percaya. Kami pun diperbolehkan pulang setelah semua beres. Papa menawarkan Bagus untuk pulang bersama. Sebab, mobilnya sudah tak bisa dipakai. Ia sudah menelepon seseorang untuk mengurus mobil yang sudah tak berbentuk bagian depannya. Di depan gerbang klinik, mataku menyusuri pandang pada dua arah dengan cemas. Saat mobil akan menyeberang. Takut jika kejadian yang sama akan menimpa kami. Ingatanku kembali pada Doni. Seketika aku geram. Kurang ajar sekali dia. Aku mencoba mencari sosoknya di depan, tak ada. Lihat saja aku bakal mengadukan segalanya ke Mbak Esti. Kekesalan bergerumun dalam hati dan otakku, gampang sekali ia berbuat semaunya tanpa pikir nyawa orang. Andai aku bisa melawan. Namun, dengan apa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN