Berpasrah

1060 Kata
“Apaa?!” Pak Darma berdiri dari duduknya, menatap lekat dokter dengan penuh emosi. “Tak adakah cara lain untuk menyelamatkannya? Berapa pun biayanya akan kubayar!” Dokter pria berkacamata itu sedikit mundur ke belakang, mengikuti langkah Papa Bagus yang seolah ingin menerkam. Apalagi, kini wajahnya sedikit mendongak menatap wajah dokter yang lebih tinggi beberapa sentimeter darinya. Apa yang dilakukan Pak Darma sukses mencuri perhatian orang-orang. Meski tak memperhatikan dengan saksama, mata-mata itu melirik dari sudut mata masing-masing. Dua orang Ayah dan anak di sampingnya turut berdiri, mencoba mendinginkan. “Pak, jangan begini. Lihatlah, semua mata tertuju pada kita.” Pak Andri mengusap bahu calon besannya halus, berusaha melerai amarahnya. Sang dokter hanya bisa menahan napas di depan lelaki yang masih berbalut setelan jas itu. Ia lebih memilih memberikan hasil Rontgen kaki milik Bagus pada Pak Andri, yang mungkin menurutnya lebih bijak untuk saat ini. “Maafkan kami. Ini demi kebaikan nyawa pasien.” Pak Darma kembali berteriak, “Putraku masih muda, masa depannya masih panjang. Lakukan apa pun untuknya!” Dokter itu memalingkan wajah dari semprotan amarah Pak Darma. Berusaha seprofesional mungkin. Meski tentu saja, ada gurat emosi di balik ketenangannya. Esti mulai turut berusaha mendinginkan calon mertuanya. Menarik kedua lengan pria dengan jas abu itu, memandangnya lekat. “Sudahlah, Om. Kita harus terima ini.” Pak Darma terhenyak, ia kini diam memandang wajah Esti di hadapannya dengan pandangan berkunang-kunang. Bibirnya gemetar, menahan isak. Wajahnya sudah semerah tomat. Merasa ada sedikit celah, dokter berkacamata itu menatap Pak Andri dan mengangguk sekali, memberi kode jika akan memberinya penjelasan lebih lanjut. Papa Esti membalasnya dengan anggukan pula. Dengan langkah seribu, dokter itu berjalan cepat, diikuti Pak Andri yang sedikit mencolek pinggang putrinya untuk memberitahu. Esti segera paham dan melirik Papanya dari sudut mata. Memberinya jalan agar segera mengikuti sang dokter. “Ini demi kebaikan Bagus, Om.” Pelupuk mata Esti sudah penuh, hampir tumpah. Bahkan hidungnya bak ceri merah yang ranum. Pak Darma memejam, mengangguk-anggukkan kepala berkali- kali, menundukkan kepala di hadapan Esti. Perlahan melepas cengkeraman tangan calon menantunya itu, lalu menjatuhkan tubuh pada kursi panjang kembali. Ia duduk tertunduk memegang kepala dengan kedua tangan, mengacak rambutnya sendiri. Penuh canggung, kedua manusia itu duduk berjarak. Diam dalam balutan canggung. Membiarkan Pak Darma melepaskan segala kesah. Ia yang dikenal dengan kegarangan dan kelelakiannya, kini kalah. Jatuh dalam lubang tangis. Sesenggukan. *** Papa Esti sedikit kewalahan mengikuti langkah cepat dokter yang berjalan mendahuluinya. Berbelok di beberapa kali tikungan, terus mengarahkan tanpa memberi jeda berhenti sedetik pun. Dokter itu hanya sesekali melirik ke belakang, saat dirasa langkah pria di belakangnya tertinggal. Tetapi, terus berjalan tanpa obrolan. Berharap menuntaskan pekerjaannya dengan segera. Wajah Pak Andri semakin cemas, seolah penuh tanya. Separah inikah keadaan Bagus? Ia bagai pengikut yang patuh pada perintah tuannya. Tanpa sangkal, terus melaju di belakang lelaki berpostur tinggi besar itu. Hingga pada sebuah ruang dengan tulisan kotak hijau di atasnya. Dokter itu berhenti tepat di depan pintu, membuka kenop pintu, mempersilakan masuk. Dokter kembali menutup pintu bercat cokelat, ketika Pak Andri sudah berada di dalam. Aroma obat dan segala hal tentang rumah sakit, seketika tercium. Pak Andri mengusap ujung hidungnya sekali, lalu duduk di kursi yang telah disediakan. Tepat di depan sebuah meja kotak besar. Berbagai peralatan kecil dokter tertata rapi di sana. Di atas meja itu terdapat kotak tulisan nama. Pak Andri tampak membaca dan sedikit bergumam, Dr. dr. Rendra Prayoga, Sp.B. Ia melirik lelaki berkacamata yang mungkin lebih tua beberapa tahun darinya, tetapi masih terlihat sangat sehat dibanding dirinya sendiri. Lelaki berseragam putih itu mulai membuka beberapa berkas di atas meja. Menatanya rapi. Dihadapkan langsung pada Pak Andri. Lantas, duduk dan bersikap setenang mungkin untuk menjelaskan. “Begini, Pak. Cedera yang dialami Bagus mengakibatkan trauma serius pada pergelangan kakinya. Dan akibat benturan serta jepitan dari beberapa mobil yang menindih kakinya. Tulang bagian jari dan telapak kakinya remuk total. Tepatnya bagian kaki kanan. Yang kiri baik-baik saja. Untuk itu, perlu segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan. Sebab sakit ini akan terus menjalar jika tak segera diamputasi.” Pak Andri masih begitu serius menatap sang dokter tanpa berani berkata apa pun. Membiarkan lelaki itu menjelaskan detail agar ia tak salah kata jika saja nanti keluarga menanyainya. “Bagaimana, Pak?” Dokter itu menunggu keputusan. Pak Andri masih diam dalam kebingungan, mulutnya seakan kelu. Ia tak tahu harus menjawab apa, sementara ia tak punya kewenangan atas Bagus. “Pak?” Sekali lagi dokter itu bertanya dengan sedikit menundukkan kepala, mencari wajah Pak Andri yang terus ditekuk. Pak Andri mulai mengangkat kedua lengannya ke atas meja. Mengembuskan napas dan mengangkat kepala. “Saya tak punya kewenangan khusus atas Bagus. Sebab dia hanya calon menantu saya. Harusnya Pak Darma yang Anda bawa ke sini. Bukan saya.” Ia menggeleng pelan. Kian cemas. “Saya tahu, tapi Anda lihat sendiri tadi. Pak Darma shock berat, jika diberi penjelasan pun, ia akan terus emosi. Dan saya tak bisa berbicara dengan orang seperti itu.” “Lanjutkan dulu, dokter ...” Ia melirik nama di atas meja. “Rendra.” “Sebenarnya, meski tanpa persetujuan pun. Kami punya kewenangan untuk melakukan tindakan ini. Sebab ini kondisi darurat. Prosedur semua rumah sakit memang begini. Hanya saja, kami tak tega jika harus bertindak tanpa permisi.” Dokter itu menunjukkan foto rontgen kaki Bagus. Menuding gambar itu dan mendekatkan padanya. “Hanya pada bagian ini.” Dokter itu melingkari bagian telapak sampai mata kaki. “Kalian orang kaya, bukan? Harusnya tak masalah jika memberikan kaki palsu untuknya.” Dokter Rendra terus berusaha meyakinkan, meski ia tahu ada keraguan pada pria di hadapannya. Sekali lagi Pak Andri mendengus. Hatinya mungkin mencelus, dibimbangkan keadaan. Tubuhnya kini melemas, menjatuhkan punggung pada kursi. “Aku tak tahu, Pak. Apa putriku bisa menerima ini setelah semua ini? Aku takut semuanya menjadi kacau. Aku ... emh ....” Ia merentangkan kedua jemari ke samping, bingung. “Tolong berpikir logis, Pak. Ini tentang nyawa. Bukan lagi hati. Bagus bakal terus tersiksa seumur hidup jika tak segera dilakukan operasi!” Pak Andri menatap dokter Rendra penuh tegang, benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Pintu ruang terdengar dibuka paksa, disusul suara bas seseorang setelahnya. “Lakukan! Apa pun, untuk nyawa Bagus!” Pak Andri tahu itu suara calon besannya. Ia hanya diam tanpa berani menoleh. Dokter Rendra melirik sosok yang kini berjalan masuk, berdiri di belakang Pak Andri. Ia mengangguk. Segera berdiri dan membenarkan gagang kacamatanya. Bergegas meninggalkan menuju ruangan Bagus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN