Pencarian

1100 Kata
“Tariikk!!” Suara Bagus mengomando kami. Dalam tebalnya asap yang menggulung, terlihat Fara yang hampir terangkat ke atas. Sekuat mungkin kami terus berpegangan, sembari mencoba menarik tubuh Fara agar kembali menjejak ke tanah. “Aahh ...!!” Tanganku mulai terasa licin, menggenggam tangan Lucky di sebelah kanan, sedang yang kiri berpegang pada Bagus. Ketika menarik kuat tangan Bagus, kurasakan sesuatu terlepas dari tangan Bagus, seperti sebuah untaian tali. Sementara Lucky. Menguatkan pegangan pada sebuah tiang di hadapannya. Ia memeluk erat dengan tubuh dan kaki. Kami semua mengernyit. Menahan tubuh Fara yang terasa semakin berat. “Tarik lagii!!” Lagi-lagi Bagus berteriak. Dalam beberapa tarikan layaknya lomba tarik tambang. Akhirnya Fara bisa kembali berdiri di atas tanah. “Pegang apa pun yang ada di hadapanmu, yang kuat!!” Bagus berteriak pada Fara di bagian buncit kami. Mataku mulai terasa perih, tak bisa lagi melihat. Sedangkan tubuh ini mulai bergetar tak tentu. Menahan tarikan di kiri dan kanan. Apa yang harus kami lakukan sekarang? Aku menunduk dan menggelengkan kepala, berusaha menahan pedih debu yang masuk dalam mata. Mungkin, kini wajahku begitu berantakan. Air mata tak henti menetes, sebagai perlindungan dari kasarnya benda yang mengusik mata. Beberapa detik setelahnya. Keadaan kembali tenang. Kami langsung roboh bersamaan. Melepaskan pegangan masing-masing. Napas saling berburu, disertai batuk dan bersin yang tak kunjung henti dari semua orang yang ada. Kumulai membuka mata perlahan, mengucek sedikit, meski malah terasa kian perih. Kulihat keadaan sekitar yang tampak buram, perlahan normal dan jelas. Tampak semua juga sama, wajah penuh debu dan air mata membasahi pipi. Seperti bocah yang habis bermain tanah. Berlepotan dan kotor. “Kalian baik-baik saja?” tanyaku memastikan gerombolan yang bersamaku tak apa-apa. Keempatnya mengangguk bersamaan. Hanya Geisya yang tampak terisak, aku mendekatinya. “Kamu kenapa?” Ia menggeleng. Membersihkan wajahnya dari kotoran yang menempel dan berusaha menahan isakan dengan sesekali menarik ingus yang ingin jatuh. “Aku hanya terharu, tak percaya kita bisa selamat.” Kuusap punggungnya pelan, berusaha mendamaikan hatinya. Kini mataku beralih ke sekeliling, mendapati banyak wajah yang panik. Ada yang menangis, tak sedikit pula yang tertawa melihat keadaan temannya. Semua perasaan campur aduk menjadi satu di tempat ini. Bangunan kafe terlihat masih kokoh, hanya bagian atap dan isi ruang yang berantakan. Penuh pasir yang terbawa angin. Beberapa orang berteriak memanggil nama teman atau saudaranya. Sepertinya banyak yang terpisah dari kelompoknya. Termasuk Mbak Esti dari kami. Aku sampai lupa dengan dirinya. Segera kugerakkan tubuh berdiri dan memutar tubuh ke segala arah, mencari sosok Kakakku. Mataku terus menjelajah tiap wajah. Lantas, mulai melangkahkan kaki. “Mbak Esti!” Suaraku terasa serak. Aku berdehem untuk meredam gatal pada kerongkongan. Sembari terus memutar bola mata ke sembarang arah. Suara orang-orang kini bersahutan, saling panggil. Kulihat beberapa orang terluka, tertindih sesuatu. Aku turut membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Hingga sirine polisi terdengar mendekat, dibarengi dengan banyak orang yang tiba-tiba datang, sepertinya mereka adalah relawan untuk membantu. Orang-orang yang terluka mulai dipapah para relawan ke tempat yang sudah dibersihkan. Memberi obat dan menenangkan sebagian lainnya yang terus saja berteriak, seperti trauma. Rasanya sudah beberapa menit berlalu, tetapi wajah yang kucari tak kunjung kutemukan. Ke mana Mbak Esti? Apa ia baik-baik saja? Kucoba menghubungi ponselnya. Namun, hanya bunyi ‘tut’ panjang yang kudengar. Aku berdecak, mengulanginya terus menerus, meski tetap saja sama. Bagus mendekat padaku, wajahnya begitu cemas. “Al, Esti ke mana, Sejak kapan kita pisah? Kenapa aku baru sadar sekarang.” Jidatnya mengernyit sempurna. Lantas menjambak rambutnya sendiri sembari sebelah tangannya berkacak pinggang. Begitu panik. “Bodoh sekali aku!” Kini wajahnya mendongak, terus merapalkan kata yang sama. Meski aku tahu Mbak Esti berlari bersama Doni, tak ingin kuberitahu dirinya jika aku melihat mereka bersama, sebelum angin kencang itu memorak-porandakan semuanya. Aku tak ingin menyakiti hatinya, yang beberapa menit lalu terlihat berbunga. Kutepuk bahu kanannya, “Kita cari sama-sama, ya.” Kepalanya mengangguk, dengan wajah yang sedikit melemas, tak setegang sebelumnya. Kami mulai berpencar, mencari keberadaan Kakakku yang entah di mana. Rasanya sudah tiap sudut kulewati, tetap saja tak kutemukan wajah Chinese yang mencemaskan kami saat ini. Aku mulai lelah, apalagi waktu sudah menjelang sore. Apa yang bakal kukatakan pada Papa dan Mama jika mereka tahu kami tidak bersama? Baru saja terlintas di pikiran tentang mereka. Ponsel di saku celana terasa bergetar. Kurogoh saku, sembari mata terus awas pada tiap wajah yang lewat dan duduk di sudut-sudut tempat. Nama Mama tertera di layar ponsel. Kuseret ke atas menerima panggilan darinya. “Aldi! Kamu di mana? Mama baru dengar kabar ada bencana angin di pantai yang kalian kunjungi. Kalian tak apa-apa ‘kan, Nak? Mbak Esti di mana?” Kuhela napas sebentar, mencoba setenang mungkin berbicara agar Mama tak khawatir. “Iya, Ma. Kami baik-baik saja. Tak perlu cemas. Mm ... Mama tutup telponnya dulu, ya. Aldi mau bantuin beberapa korban di sini. Tenang saja. Nanti Aldi hubungi Mama lagi, ya. Bye ....” Tanpa menunggu sela jawaban, kututup telepon dan kembali mencari sosok Kakakku. Hampir tiap tempat, juga kerumunan orang kudatangi, tetapi belum juga kutemui wajah Mbak Esti. Ke mana kamu, Mbak? Saat membalik badan, aku hampir tertabrak dengan seorang gadis yang membawa peralatan P3K. Kotaknya jatuh, beruntung tidak terbuka dan berantakan. “Eh, maaf.” Refleks aku berjongkok mengambil kotaknya, berbarengan dengan dirinya yang langsung menurunkan tubuh. “Tidak apa-apa.” Ia memandang wajahku, seketika keningnya berkerut. Aku jadi salah tingkah. Apalagi kini wajahku kacau. Masih tercoreng debu dan kotoran yang terbawa angin. “Anda korban juga?” Aku mengangguk. Kami berdiri bersama. “Mari ikut saya ke pos sebelah sana.” Tangannya menunjuk ke sebuah tenda dadakan yang masih dalam proses dipasang beberapa lelaki. “Mm ... maaf, tapi saya lagi cari seseorang.” Ia mengangguk. “Maka dari itu, kami akan menuliskan semua data korban yang ada. Dengan begini, Anda akan lebih mudah mencari keberadaan orang yang dicari.” Kepalaku bergerak naik turun. Ia tersenyum tipis mendahuluiku berjalan. Kuikuti langkahnya dengan mata yang masih awas meneliti wajah tiap manusia di sekeliling. Tepat di tempat pos. Wajah teman-temanku sudah berjajar di sana. Ditanyai oleh beberapa orang yang mungkin relawan juga tenaga medis. Demi data yang valid. “Kak, maaf. Nanti kalo belum ketemu, apa aku boleh lihat daftar list-nya?” Perempuan di hadapanku menoleh, kembali tersenyum. “Silakan duduk dulu, pasti akan kami bantu cari.” Aku mendengus, mengambil tempat kosong di sebelah Fara. Menunggu giliran untuk didata. Kling! Notif pada ponsel terdengar masuk. Bergegas kurogoh saku dan melihat pesan yang dikirimkan. [Aku sudah di hotel, dan baik-baik saja. Tak usah khawatir] Kuembuskan napas lega, lalu bersandar pada dinding di belakang. Namun, seketika pikiran ini menjadi kotor. Apa yang ia lakukan bersama Doni di sana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN