“Well, guru baru dan hukumannya yang menyenangkan? Aku tidak ingin murid lain memiliki hukuman ini juga!”
~♥~♥~♥~
Adel memainkan sedotan dalam gelas jusnya dengan malas. Gadis itu juga berkali-kali mengembuskan napasnya lelah.
"Udahlah, Del, enggak usah dipikirin gitu banget. Lo kan baru pertama kalinya ada problem sama guru, lagian guru baru itu kayaknya juga biasa aja, kok."
Reina memberikan sentuhan lembut di pundak Adel guna menenangkan gadis itu. Tetapi gadis itu tetap saja memakan siomainya dengan gerakan lambat. Adel benar-benar seperti zombie sekarang. Reina prihatin menatap wajahnya. Pucat, suram, seperti tidak mempunyai masa depan. Hampir mirip sama anak-anak alay yang lagi galau karena diputusin pacarnya.
Adel menghela napasnya lalu berkata, "Lo sih gampang ngomong begitu, Re. Nah gue? Gue shock banget, tahu enggak, pas guru baru itu bilang kalimat telak kalau gue enggak boleh ikut pelajarannya lagi." Adel mencibir dalam diam. "Apalagi pas gue tahu kalau guru baru itu su ...."
Adel membekap mulutnya dan merutuki kebiasaan buruknya yang sering keceplosan. Lalu buru-buru melirik Reina dengan hati-hati. Beruntung kini Reina tengah cekikikan sendiri sambil menatap layar ponselnya.
Dasar! Pasti lagi chattingan sama Aldo, makanya gue dicuekin!
Adel hendak menyuapkan siomainya lagi ketika Reina tiba-tiba bertanya.
"Su, apa?"
Adel speechless, siomainya tidak jadi ia makan. Ia gelagapan, bingung mau jawab apa. Karena nyatanya Reina sejak tadi tidak hanya fokus pada ponselnya, tetapi juga pada obrolan mereka.
"Eumm ...." gumam Adel. "Guru baru itu ternyata SUWAG banget," selorohnya asal.
Adel menghela napas ketika melihat Reina mengangguk sambil membulatkan bibirnya.
"Del, kayaknya guru baru itu ada hubungan saudara deh, sama Kepsek. Soalnya kata Aldo, Pak Beni itu dibuatin ruangan khusus buat meja kerjanya. Enggak kayak guru lainnya yang meja kerjanya nyampur di ruang guru." Reina tiba-tiba berbicara padanya setelah meletakkan ponsel di atas meja.
Adel menggigit sendoknya sambil menatap Reina penuh tanya. "Masa, sih?"
"Ya, itu kata Bebeb gue," jawab Reina. Gadis itu menyantap kembali baksonya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kantin.
"Terus kalau bukan di ruang guru, ruangannya dimana? Emang ada ruangan kosong di sekolah ini?" tanyanya.
"Lo lupa, ya? Ada. Di samping ruang BK, ruangan yang tadinya ruang buat para tamu yang mau jenguk siswa SMA ini lho, yang ada ACnya."
Adel menerawang. "Oh, disitu? Paling juga sementara, masa sih dia diistimewain di sekolah ini? Enggak adil namanya!"
~♥~♥~♥~
From: Pranata
Del, pulang sekolah ada waktu?
To: Pranata
Kenapa, Nat? Ini aku masih di sekolah.
From: Pranata
Mau ngajak ketemu di taman, hehehe ....
Adel tersenyum kecil membaca pesan dari Nata. Ia bahkan sempat merasa bersalah pada cowok itu karena sering mengabaikannya, terlebih selama setahun belakangan, cowok itu sangat baik padanya.
Nata ini adik kelasnya. Beda jurusan dengannya, tetapi hal itu tidak pernah menjadi masalah. Mereka bahkan lebih dekat karena perbedaan itu. Adel dulu sangat menyukai Nata, dan memang ia akui, ia senang dengan kedekatannya dengan cowok itu. Yang Adel katakan pada bunda, tentang gebetan, bukan kebohongan yang ia karang. Iya, Adel menganggap kedekatan mereka sebagai awal hubungan mereka. Namun, entah mengapa setelah kedatangan Beni dalam hidupnya, ia mulai resah.
Grep
Adel tersentak merasakan pegangan tas gendongnya ditarik oleh seseorang. Ia memutar kepalanya dan mendapati Beni sedang menarik tas gendong Adel saat gadis itu mau ngacir seolah tidak melihat Beni. Kalau menariknya pakai perasaan sih enak, tetapi ini Beni menarik tas Adel udah kayak mengangkat kucing. Enggak ada perasaannya sama sekali.
"Eh mau kabur ke mana kamu?" tanya Beni. Adel nyengir.
Mereka kini ada di koridor depan ruangan Beni. Tempat ini sepi, karena tadi Adel baru saja mengumpulkan tugas remedi fisikanya seorang diri. Padahal teman-teman Adel lainnya sudah mengumpulkan sedari tadi, tetapi dasar Adelnya saja yang malas banget. Beni menarik lengan Adel, memaksa gadis itu memasuki ruangannya. Setelah menutup dan mengunci pintunya, ia menyuruh Adel duduk di kursi di depannya.
"Kamu mau kabur, Del?" tanyanya sarkastik.
Adel meremas rok selututnya. "Enggak. Aku tadi mau ke toilet. Enggak boleh?"
"Kamu enggak bisa kabur gitu aja, enggak sebelum kamu jelasin ini." Beni menyodorkan sebuah buku. Yang Adel tahu bahwa itu rapornya.
"Apa? Ini raporku. Kenapa emangnya?" tanya Adel polos.
"Kenapa kamu tanya? Aku dari tadi ngecek rapor kamu dan aku bener-bener enggak menyangka kalau nilai kamu separah ini." Beni menatap Adel prihatin."Gimana mungkin nilai kamu dari semester 1 ke semester 5 naik turun kayak roller coaster?" sambung Beni.
Adel menunduk, ia tahu kesalahannya."Maaf," gumamnya.
Beni memijat keningnya. "Ayah sama bunda tahu nilai kamu begini?"
Adel mengangguk. "Mereka tahu. Karena mereka enggak tahu kalau nilai raporku berpengaruh untuk SNMPTN."
Adel tersentak sadar, lalu ia mengingat bahwa sejak Beni berada di sekolah ini, Adel ingin menanyakan alasan Beni disini. Lalu Adel juga ingat perlakuan Beni tadi di kelasnya. "Hei! Yang seharusnya marah itu aku! Kenapa kamu ngomongnya kasar gitu di kelas? Kamu kan bisa negur aku baik-baik? Enggak usah pakai ngancem mau ngeluarin aku dari kelas!" sergah Adel. Gadis itu menatap sengit Beni.
Beni malah tertawa kecil. "Emangnya kamu mau aku perlakukan spesial di kelas? Karena kamu itu istriku?"
Pipi Adel merona. Karena kamu itu istriku? Adel mengulang kalimat Beni di pikirannya. "Ya... enggak usah spesial juga enggak apa-apa. Yang penting enggak usah galak-galak ke aku, juga ke semua murid," jawab Adel berani.
Kalau sedang berduaan dengan Beni, Adel berani. Berani nantangin. Tetapi kalau sedang di kelas, Adel jinak-jinak merpati gitu, deh. Jangan tiru perbuatan Adel, ya?
"Cara mengajarku memang seperti itu, Adel. Jadi kamu siap-siap aja, ya?" Beni tertawa melihat wajah cemberut Adel.
"Udah, jangan cemberut gitu, nanti cantiknya ilang, loh." Beni tersenyum mengejek. "Pokoknya kamu harus tingkatkan belajar kamu mulai sekarang, jadi kamu masih ada kesempatan naklukin SBMPTN!"
Adel mendesah frustasi. "Aku enggak janji, ya?"
"Kenapa?"
"Aku itu anaknya malesan kalau disuruh belajar," balas Adel jujur. Ia menguap kecil tanpa menutup mulutnya.
Beni mengusap dagunya. "Oke, mulai sekarang aku yang bakal jadi guru kamu di rumah. Kita bisa belajar dengan cara yang menyenangkan," ucap Beni menaik-turunkan alis.
Menyenangkan katanya? Adel mendengus. Haruskah dia menghadapi tingkah bossy Beni dua kali? Jika saat di sekolah saja Beni terkenal killer, lalu bagaimana jika harus belajar berdua dengan Beni?
"Aku bakal aduin kamu ke Bunda, kalau kamu enggak mau!" ancam Beni.
Adel megap-megap, mau membantah, tetapi bingung mau ngomong apa. Salahnya Adel juga sih, siapa suruh dia enggak pernah serius belajar? Malah serius banget kalau godain adik kelas.
Ia mengembuskan napas kasar. "Ya. Aku mau," katanya. "Curang kamu, mainnya ancam-ancam!"
Beni tersenyum. "Good girl."
Beni menyeringai lalu menggerakkan tangannya mengintruksi Adel agar berjalan ke arahnya. "Kemari, Del."
Adel yang polos hanya menuruti perintah Beni. Tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, ia beranjak malas menghampiri cowok itu. Lalu berhenti ketika sudah di samping Beni. Adel tidak tahu kapan tepatnya ketika tiba-tiba Beni menarik tangannya hingga membuatnya terduduk di pangkuan Beni. Gadis itu membelalakkan matanya saat tangan Beni mulai menyusup meraih pinggang rampingnya. Beni memeluk pinggangnya erat.
Waduh gawat! Beni udah mulai berani nih! Kira-kira apa yang akan Beni lakukan di ruangan yang hanya terdapat dirinya? Parahnya lagi ruangan ini dikunci.
Fantasi liar Adel mulai meraung-raung.
“Enggak, Beni baik kan, dia cowok baik! Dia enggak akan ngapa-ngapain aku, sesuai perintah kakek!” batinnya.
“Tetapi Beni kan cowok? Dia normal, Del. Please deh, masa dia enggak kegoda sama wajah cantik nan imut kamu?” Kali ini batinnya sedikit ngawur.
"Mengacuhkanku saat aku berkali-kali memanggil kamu tadi pagi, hem?" bisik Beni pada Adel.
Adel menelan ludahnya gugup. "Itu kan karena kamu nyebelin!"
Beni terkekeh membuat tubuh Adel ikut bergetar di tempatnya. "Dasar gadis nakal! Kamu harus dapat hukuman," ujar Beni.
Adel tidak membalas kalimat Beni dan kemudian terkejut menerima perlakuan Beni berikutnya. Adel membelalakkan matanya saat bibir Beni bersentuhan dengan bibirnya. Beni juga tidak tinggal diam, tangannya semakin erat mendekap Adel, bersamaan dengan bibirnya yang mulai melumat lembut bibir Adel.
Adel bingung, matanya masih terus memperhatikan Beni yang malah menutup matanya. Adel sudah pernah bilang kan, kalau Beni itu ganteng? Tetapi kini Adel makin mengagumi wajah ganteng Beni dari jarak sedekat ini. Aroma napas Beni membuat tenggorokannya tercekat. Kebingungan Adel bertambah ketika ia juga merasakan wangi parfum Beni yang terasa memabukkan. Adel tersentak dan hendak melepaskan tautan mereka ketika tiba-tiba Beni membuka matanya dan mengerling.
Cowok itu tersenyum di sela ciumannya. Lalu detik berikutnya mereka sama-sama memejamkan kedua kelopak mata mereka, mereka saling memutar kepala untuk mencari posisi yang nyaman. Ketika Adel membuka sedikit bibir mungilnya, kesempatan itu Beni gunakan untuk semakin memperdalam ciuman mereka.
Ini ciuman keduanya, tetapi Adel akan selalu mengingatnya sebagai ciuman termanis dan tertulus yang ia punya.
Well, hukuman? Setahu Adel tidak ada hukuman yang semanis ini?
Entahlah. Adel tidak tahu berapa lama lagi ciuman itu akan berlangsung, yang pasti saat ini ia masih mendekap kepala Beni, mencecap bibir cowok yang sebulan lalu resmi menjadi suaminya. Adel bahkan sudah yakin bahwa bibirnya mulai kebas. Tetapi tidak ada yang rela mengakhiri ciuman ini.
Adel akhirnya mengalah, gadis itu mendorong tubuh Beni dan menatap cowok itu dengan napas terengah.
Beni balas menatapnya lalu ia tersenyum. "Ardela Maharani, Je t' aime," bisiknya di depan bibir Adel.
~♥~♥~♥~