“Andai kau tahu, aku ingin kembali ke masa di mana aku berada di sampingmu, tanpa merasakan beban apapun.”
~♥~♥~♥~
Liburan semester ganjil sudah ditunggu-tunggu hampir seluruh siswa yang ada di Indonesia. Siapapun itu pasti akan senang kala liburan tiba. Entah liburan itu diisi dengan hal yang penting seperti belajar kelompok, sampai yang tidak penting seperti menonton televisi di rumah hingga petang menjelang. Bagi yang liburannya hanya di rumah saja mereka akan menjalani rutinitas makan lalu tidur berulang kali selama dua minggu lamanya. Sedangkan mereka yang menghabiskan masa liburannya di rumah sanak saudara seperti yang Adel lakukan saat ini, pasti ada sedikit kesenangan tersendiri.
Adel sudah menghabiskan dua jam lamanya dalam perjalanan menuju rumah kakeknya yang terletak di Gunungkidul dari Malioboro. Dan entah mengapa matanya sangat berat begitu sampai ke rumah kakek. Ditambah lagi sang kakek yang tengah memberi wejangan pada anak-cucunya yang bagaikan pidato kenegaraan saat ini, sungguh membuat Adel sukses hampir kehilangan kesadarannya. Adel terus menguap sepanjang acara pertemuan rutin keluarga besar Djamil. Gadis itu tampak bosan mendengar wejangan demi wejangan dari sang kakek yang menurutnya terus diulang sejak ia sampai satu jam yang lalu.
Pertemuan rutin keluarga besar Djamil diadakan setiap sebulan sekali selama dua hari, yaitu hari Sabtu dan Minggu. Acara ini bukan pertemuan makan besar atau hajatan sekeluarga yang melibatkan keluarganya Adel saja. Tetapi acara ini sengaja dibuat oleh kakek kesayangan Adel, Retno, agar keluarga mereka tidak terpecah-belah dan menimbulkan kubu tersendiri hingga terjadi perang saudara. Kali ini keluarganya Adel dan dua keluarga lain yang kebagian jatah untuk menginap di rumah mendiang Buyut Djamil di Gunungkidul. Dua keluarga lain itu adalah keluarga Pandjaitan dan keluarga Syahilan. Mereka merupakan keluarga jauh Adel, karena mereka tidak memiliki hubungan darah dengan kakek Retno, melainkan mereka ini adalah cucu dari adiknya kakek Retno yaitu Rinto.
Itu saja yang Adel tahu. Adel malas mengingat silsilah keluarga besar Djamil yang panjang. Maklum, itu wajar bukan untuk keluarga zaman dulu yang anaknya masih banyak hingga belasan jumlahnya. Karena keluarga besar Djamil mempunyai banyak cucu dan cicit, kadang Adel sampai lupa mengingat nama mereka satu per satu. Hanya beberapa saja yang diingatnya. Adel juga terlalu masa bodoh dengan mereka semua, karena mereka tidak seumuran dengannya. Ada yang sudah menikah dan yang masih bayipun juga ada. Jadi sudah jelas Adel enggan bersusah payah mengakrabkan diri dengan para cicit Buyut Djamil lainnya.
Adel memandang lurus-lurus pada Rudi, kepala keluarga Pandjaitan. Adel biasa memanggilnya dengan sebutan Om. Rudi merupakan keturunan asli Medan, terlihat dari nama belakangnya yaitu Pandjaitan, ia mempersunting Mutia Djamil, yang merupakan cucu dari kakek Rinto, adiknya kakek Retno. Om Rudi ini satu-satunya anggota keluarga Djamil yang sedang menjabat di salah satu komisi DPR-RI. Sehingga ia paling dibanggakan dari sekian anggota keluarga yang ada. Anaknya yang pertama bernama Beni Pandjaitan dan yang bontot namanya M. Fadil Pandjaitan.
Adel mengabsen satu persatu wajah keluarga Pandjaitan itu. Tatapannya kini jatuh pada Beni. Cowok yang duduk di sebrangnya itu berwajah tampan seperti Om Rudi. Mungkin jika kedua orang itu disandingkan, mereka tidak terlihat seperti ayah dan anak, melainkan bagai pinang dibelah dua. Jadi simplenya, kalau ingin melihat wajah Beni ketika berusia 40 tahunan, tinggal lihat saja wajah Om Rudi sekarang. Ia saat ini berusia 23 tahun, terlampau jauh dengan adiknya, Fadil, yang masih berusia 7 tahun. Ia baru menyelesaikan program sarjananya di sebuah universitas negeri di Jakarta, Prodi Pendidikan Matematika, dua bulan lalu. Dan sekarang masih menganggur.
Adel tersenyum samar. Ia benci mengakui ini, tetapi memang benar mungkin tidak seorang pun yang menyangka ada pengangguran seganteng Beni. Pasti orang mengira Beni itu model. Dan Adel benci pengangguran yang wajahnya secakep Beni.
Bikin Adel pengen aja sih.
Pengin kawinin maksudnya... Eh?
Seingatnya, Adel dulu pernah sekali melihat Beni ketika cowok itu berlibur ke rumah kakeknya yang masih bertetangga dengan kakek Retno. Itupun saat Adel kecil, sewaktu ia kelas empat SD. Tujuh tahun lalu. Semenjak itu, ia tidak pernah melihat Beni lagi, dan hanya sekadar tahu kabar kalau keberadaannya di Jakarta. Sebenarnya dulu Adel kecil sudah menyukai Beni. Kemudian hanya menganggapnya sebuah angin lalu, dan mengabaikan perasaannya. Berasumsi jika itu cuma rasa kagum sesaat. Di dalam ingatannya, Adel tidak pernah terlibat percakapan santai dengan Beni. Ia hanya akan bicara ketika perlu saja. Seperti tadi, ketika ia dan keluarga baru sampai, Beni tersenyum kecil, dan berlalu begitu saja. Padahal Adel pikir akan sangat menyenangkan jika ia terlibat dalam obrolan ringan dengan Beni. Membicarakan pelajaran Matematika mungkin?
Pandangan Adel kini beralih ke keluarga satunya, yaitu Keluarga Syahilan. Keluarga kecil itu berisikan Om Ilham Syahilan dan Tante Lestari yang sampai sekarang hanya memiliki satu anak bernama Maretia Syahilan. Adel selalu senang dengan Maret dan iseng menjodohkan Fadil dengan bocah cilik itu suatu saat.
Toh, mereka kan saudara jauh, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali hubungan darahnya.
~♥~♥~♥~
Adel mengantuk. Ia melirik jam dinding yang tergantung di ruang keluarga, lalu menyenggol lengan bundanya yang kini prihatin melihat wajah mengantuk Adel. Sekarang pukul 23.00 WIB. Biasanya jam segini ia sudah terlelap jauh ke alam mimpi. Ini mungkin efek perjalanan tadi. Atau kalau dipikir-pikir lagi ... enggak juga sih, mungkin ini juga karena semalam Adel begadang maraton nonton drama korea dan baru tidur jam tiga pagi tadi.
"Kamu tidur aja, Del," ujar Meiti, bundanya.
Adel mengangguk dan tersenyum malu pada keluarga besar di hadapannya.
Apalagi waktu Adel menatap Beni yang juga melihat ke arahnya yang awut-awutan. Adel semakin malu dan langsung ngacir ke lantai dua menuju kamar yang biasa digunakan olehnya setelah pamit pada anggota keluarga lain. Adel memasuki kamar itu dalam keadaan mengantuk berat. Tali rambutnya ia lepas paksa dan dilemparnya ke sembarang arah. Setelah menyalakan kipas angin, Adel bergegas merebahkan tubuhnya tanpa ingat untuk menutup pintu kamarnya yang sekarang terbuka lebar. Yang ada di pikirannya sekarang hanya menjumpai Suga BTS di alam mimpi.
~♥~♥~♥~
Pukul 24.00 WIB Beni baru mengantuk dan segera meninggalkan acara obrolan para orang tua dengan kakek Retno. Sedangkan anak-anak kecil sudah tidur setelah makan malam tadi. Beni mengambil kamar di lantai atas tepatnya di samping kamar Adel. Entahlah, Beni bilang pada Kakek agar ia bisa lebih akrab lagi dengan gadis itu.
Saat Beni hendak membuka kamarnya, ia dikejutkan oleh pintu kamar Adel yang masih terbuka lebar, hingga menampilkan pemandangan tidak mengenakkan sang pemilik kamar. Beni hampir saja mengumpat melihat bagaimana Adel tidur.
Adel tidur menelungkup. Kepalanya menghadap ke arah pintu dengan mulut yang sedikit terbuka. Rambutnya yang acak-acakan menambah kesan seksi gadis itu.
Eh? Seksi dari mananya? Aish... Apa yang sedang kupikirkan, sih?!
Beni mencoba membuang pikiran kotor dari otaknya dan segera bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Tetapi sayangnya, Beni tidak sejahat itu. Jadi, setelah cowok itu membolak-balikan tubuhnya di atas tempat tidur, dan tidak berhasil juga mengusir bayangan Adel yang tertidur tadi, akhirnya Beni keluar dari kamarnya dan memasuki kamar Adel. Setelah meyakinkan diri sendiri bahwa ia tidak akan bertindak macam-macam pada gadis itu tentunya.
Wangi bedak bayi yang digunakan Adel langsung menguar begitu Beni masuk kamar. Cowok itu mengambil tali rambut yang ia yakin dibuang Adel begitu saja di dekat pintu, lalu meletakkannya di nakas samping tempat tidur. Beni segera membenahi posisi gadis itu. Menarik tangan Adel, memposisikan kepala Adel agar besok gadis itu tidak mengeluh ketindihan, lalu menyelimuti gadis itu dengan selimut yang tadi Beni lihat teronggok di dekat lemari. Lumayan. Setidaknya kini Adel tidur dengan posisi nyaman, telentang dengan kepala menghadap ke langit-langit kamar dan selimut lebar yang menutupi tubuh gadis itu. Tidak tertelungkup seperti tadi.
Fyuhh.
Beni mengembuskan napasnya. Ia sendiri lupa kapan tepatnya terakhir kali ia ambil. Ternyata berdekatan dengan Adel yang tertidur sangat berbahaya. Beni beranjak dari tempatnya dan hendak keluar dari kamar Adel.
Itu yang ingin dilakukannya, sebelum sebuah tangan menarik tangannya disusul dengan tangan lainnya yang bergerak memeluk pinggangnya. Adel meracau tidak jelas dalam tidurnya. Gadis itu semakin menyurukkan kepalanya ke d**a bidang Beni. Membuat si empunya tidak dapat bergerak kemana pun. Oh, jangan lupakan wajah Beni yang tampak seperti orang tersengat listrik saat menerima perlakuan Adel ini.
Bernapas, Ben!
Sayangnya pikiran itu hanya keinginan yang terlintas di otaknya saja. Karena kenyataannya Beni semakin menahan napasnya ketika Adel kini mengigau, menyebutkan sesuatu.
"Ben ...."
Dan Beni berdoa agar ia tidak kehabisan napas ketika berlama-lama dengan Adel. Otaknya menyuruh Beni agar bergegas menyingkirkan tangan Adel, berjalan keluar kamar, lalu menutup pintu itu rapat-rapat. Tetapi tubuhnya tidak mau diajak kompromi kali ini. Beni malah semakin membeku di tempatnya. Beni memandangi wajah kelelahan Adel yang tertidur. Adel terlihat damai dalam tidurnya.
Cowok itu bertaruh kalau sekarang Adel sedang mimpi indah, karena memimpikan dirinya mungkin? Kini senyuman Beni semakin melebar ketika mengingat bagaimana namanya meluncur dengan indah dari bibir mungil Adel.
Beni menatap Adel tak berkedip.
Oh, bencana!
Beni juga lelaki normal. Dan pancingan Adel telah berhasil membangunkan sisi terliar dalam dirinya yang kini menyuruh untuk ikut membaringkan tubuhnya di samping Adel. Beni memasukkan tubuhnya ke dalam selimut, bergabung dengan Adel yang seolah ikut menyeretnya agar tenggelam bersama. Beni memastikan tubuhnya agar tidak berbuat lebih selain ini. Ia masih sayang dengan nyawanya. Bisa gawat kalau sampai ia berbuat kelewat batas. Jadi setelah yakin, ia ikut memejamkan kedua matanya dan semakin menenggelamkan Adel ke pelukannya.
Tunggu dulu! Satu ciuman tidak apa-apa kali ya?
Kini tubuh Beni segera merespon dengan baik apa yang baru saja melintas di otaknya.
Dan ....
Salahkan Beni yang lupa menutup pintu kamar Adel barusan, karena sebuah tangan yang sedari tadi memperhatikan tingkah Beni, kini tersenyum setelah menutup pintu dengan rapat.
~♥~♥~♥~