Happy Reading.
Kendra masuk ke ruangannya dengan langkah cepat, rasa kesal masih membekas di wajahnya. Pikirannya terus berputar pada pemandangan yang baru saja dia lihat. Maureen dan Rafka berbicara begitu akrab. Sejak kapan? Bukankah selama ini Rafka berada di luar negeri, seharusnya Maureen tidak bisa langsung dekat seperti tadi, kan?
"Apa yang sebenarnya telah aku lewatkan? Kenapa aku tidak tahu sama sekali dengan kepulangan Rafka dan kenapa Maureen tidak menceritakan perihal kepulangan Rafka ke Indonesia?"
Kendra masih ingat dengan jelas bagaimana lima tahun lalu Maureen menangis di hadapannya dan mengatakan jika dia tidak mau dijodohkan dengan Rafka. Seandainya Maureen tahu siapa Rafka sebenarnya, situasi ini akan jauh lebih sulit. Padahal dia baru saja akan mulai mengambil hati Maureen demi Nita.
"Ck, kenapa jadi seperti ini? Bukankah seharusnya Maureen membenci pria itu. Tapi kenapa Maureen bersikap biasa saja bahkan tidak risih mengajak ngobrol Rafka," gumam Kendra. Pria itu menyugar rambutnya ke belakang dan menghembuskan napas kasar.
Rafka bukan hanya pria biasa, dia adalah Presiden Direktur dari perusahaan terkenal RF Grup yang memiliki pengaruh besar di aisa tenggara. Jika Maureen tahu hal itu, dia mungkin akan semakin menjauhkan diri dari Kendra. Dan itu bukan hal terakhir yang Kendra inginkan. Dia tidak suka melihat Maureen berinteraksi dengan Rafka, pria yang memiliki pengaruh besar itu.
Kendra menghempaskan diri di kursinya, berusaha meredam amarah yang mulai menggelegak. Waktu masih menunjukkan pukul setengah satu, masih ada setengah jam lagi sebelum jam kerja dimulai, meskipun sudah tidak ada pasien, tetapi Kendra akan pindah ke IGD menggantikan salah seorang temannya karena dia seorang dokter umum.
Kendra harus bisa menghasut Maureen mengenai Rafka, sepertinya Maureen belum tahu siapa Rafka sebenarnya. Tetapi perasaan cemas terus menghantui benaknya.
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan di ruangannya. Layar ponsel menunjukkan nama Nita, membuat perasaan Kendra semakin berat. Dia mengangkat panggilan itu dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
“Halo, Nita. Ada apa?” Kendra berusaha terdengar tenang, meskipun dia tahu pasti apa yang akan dibicarakan Nita.
Di seberang telepon, terdengar suara Nita yang lemah.
“Kendra … aku merasa sakit lagi. Rasanya semakin buruk. Mual-mual dan sering muntah. Pinggangku nyeri sekali, aku semakin lemah Ken. Aku butuh bantuan. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi, tidak ada siapa-siapa di apartemen, aku benar-benar butuh kamu.”
Kendra menghela napas panjang. Situasi Nita semakin mendesak, dan Kendra tahu dia tidak bisa menunda lebih lama lagi. Dia harus mempercepat rencananya agar Maureen mau menolong Nita.
“Nita, tenang. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu. Aku sudah mulai mengatur semuanya. Kita hanya perlu sedikit waktu lagi.”
“Tapi aku tidak punya banyak waktu lagi, Kendra. Tolong, lakukan sesuatu. Aku tidak bisa terus menahan rasa sakit ini,” keluh Nita, suaranya terdengar putus asa.
Kendra menggenggam ponselnya dengan lebih erat, merasa tekanan semakin besar di pundaknya.
"Baiklah. Aku akan mempercepat semuanya. Kau tidak perlu khawatir. Maureen akan segera menanganimu. Dan soal donor ginjal ... kita akan segera mendapatkannya."
"Tolong, secepatnya, Kendra. Aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi," ujar Nita dengan nada penuh permohonan.
Setelah menutup telepon, Kendra duduk termenung. Wajah Nita yang semakin melemah terlintas di pikirannya. Dia tahu bahwa Nita butuh donor ginjal secepatnya. Dan Maureen, sebagai dokter ahli nefrologi yang kompeten dan juga target rencananya, harus segera dilibatkan dalam situasi ini.
Rencananya harus segera berjalan, dan langkah berikutnya adalah memastikan Maureen bertemu dengan Nita. Tanpa Maureen, semuanya bisa berantakan.
Kendra berdiri dari kursinya dan menatap jam di dinding. Waktunya untuk mulai bekerja. Dia harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit hingga shift sore selesai, sebelum melanjutkan rencananya dengan Maureen.
***
Maureen menatap Andien dengan memutar bola matanya jengah, wanita itu memang pandai sekali bersilat lidah dengan wajah polosnya. Jika dia tidak kembali ke masa lalu, tentunya Maureen tidak akan menyadari sama sekali jika Andien ini musuh dalam selimut.
"Aku nanti akan jadi asisten direktur utama rumah sakit ini karena pak Wira menaikkan jabatanku. Dia sudah mempercayakan aku sebagai asisten pribadi kepala rumah sakit yang baru. Aaahh, aku benar-benar penasaran dengan direktur kepala rumah sakit yang baru itu. Ada selentingan kabar jika dia itu masih muda dan tampan!" ujar Andien antusias.
Sebenarnya Maureen merasa sedikit aneh dengan kehidupannya saat ini. Jika dulu Andien menjadi asisten pribadi Rafka yang dia ketahui hanya seorang dokter penyakit dalam, tetapi kenapa sekarang Andine diangkat sebagai asisten pribadi direktur rumah sakit?
"Jadi, kamu juga belum tahu rupa direktur utama kita?" tanya Maureen.
Andien langsung menggeleng. "Dia kan belum resmi bekerja, tapi aku udah punya nomor teleponnya. Nanti deh, aku pasti kasih tau kamu. Ya udah, aku balik ke tempat ku. Bye Maureen." Andien langsung berdiri dan meninggalkan Maureen di meja kerjanya.
"Huh, aku tahu kalau kamu merayu pak Wira untuk naik jabatan sebagai asisten pribadi kepala rumah sakit, tapi bukankah dulu dia jadi asisten pribadi Rafka, ya? Apa alurnya sudah berubah? Ataukah direktur utama rumah sakit itu memang Rafka dan Maureen enggan memberitahukan semuanya padaku?" gumam Maureen.
"Mudah-mudahan saja buka Rafka karena aku nggak sudi dia jadi asisten pribadi Rafka lagi. Huh, dia tuh licik sama seperti Kendra yang suka memanipulasi orang!"
***
Sementara itu, Rafka tengah berada di ruang pribadinya bersama salah satu dokter senior.
"Jadi, beberapa hari ke depan Anda harus memperkenalkan diri Anda sebagai direktur utama rumah sakit ini Pak Rafka. Jangan bersembunyi lagi, bukankah Anda sudah melihat sendiri bagaimana kinerja rumah sakit yang di bangun oleh Pak Rama?"
Rafka membalikkan tubuhnya, menatap dokter senior yang sebenarnya adalah orang kepercayaan sang ayah.
"Belum saatnya, masih ada sesuatu yang harus aku lakukan dan Pak Adam seharusnya tetap menjaga rahasia ini. Nanti kalau sudah saatnya, pasti aku akan mengungkapkan identitasku," jawab Rafka datar dan dingin.
"Baiklah, Pak. Saya hanya menurut saja, jadi kita akan mengalihkan semuanya pada dokter Reno?"
"Hem, masih sesuai dengan rencana."
Setelah itu Rafka memutuskan untuk keluar dari dalam ruangan itu dan melepaskan jas kedokterannya. Banyak para perawat dan dokter wanita yang menatap kagum dengan Rafka. Pria itu memang memiliki sejuta pesona, bukan hanya tampan tetapi dia memiliki wibawa yang tidak terbantahkan.
Rafka melihat Kendra berjalan menuju IGD, mata pria itu tiba-tiba menggelap melihat sosok kekasih Maureen tersebut. Tangannya mengepal kuat dan sekelebat bayangan masa lalu tiba-tiba terlintas di pikirannya.
"Aku akan membuat Maureen tahu siapa kau sebenarnya. Pria yang menyebabkan dua nyawa melayang sia-sia tanpa membuatmu di penjara. Seharusnya Maureen tahu sejak dulu jika adik kesayangannya meninggal karena orang itu, begitu pun dengan Cynthia. Pria itu membunuh dua orang tanpa menyentuh. Sekarang aku sudah kembali dan aku akan membuat Maureen tahu sebenarnya!" batin Rafka.
Bersambung