Taman kanak-kanak

2392 Kata
Gavin membuka kedua matanya. Ia langsung bangun dari tidurnya. Menggerakkan kedua tangannya untuk mengusap wajahnya yang penuh dengan peluh. Malam ini ia kembali bermimpi tentang kejadian naas itu. Entah sudah untuk keberapa kali mimpi itu terus muncul. Sudah hampir empat tahun berlalu sejak kejadian itu, tapi bagi Gavin, kejadian itu selalu menjadi mimpi buruk untuknya. “Sayang... maafkan aku. Kalau saja waktu itu aku mencegahmu, mungkin semua gak akan menjadi seperti ini. Apa ini hukuman untukku?” Gavin mengambil figura yang ada diatas nangkas yang ada di dekat ranjang. Dimana dalam figura itu terdapat foto dirinya, Zayn, dan juga Yasmin. “Sayang, tenanglah di Sisi-Nya. Aku janji, aku akan menjaga Zayn dengan sangat baik. Aku akan membesarkannya penuh dengan cinta. Tak akan aku biarkan Zayn kekurangan kasih sayang. Aku janji,” ucap Gavin lalu mengecup foto keluarga kecilnya itu. Gavin meletakkan pigura itu kembali ke atas nangkas. Ia lalu melihat jam di dinding kamarnya yang menunjukkan pukul dua dini hari. “Lebih baik aku tidur lagi. Semoga mimpi itu tak datang lagi.” Gavin lalu kembali merebahkan tubuhnya. Menarik selimut untuk menutup tubuhnya sampai diatas perut, dengan kedua tangan yang masih terlihat. Dengan perlahan, Gavin kembali memejamkan kedua matanya. Sayang, aku janji. Aku gak akan pernah melupakan kamu. Gavin yang sudah bersiap-siap berangkat ke kantor, melangkah menuju pintu untuk keluar dari kamarnya. Menuruni anak tangga satu persatu-satu. Gavin melihat mamanya yang sedang menyuapi Zayn. Makanya dia tadi gak ada di kamarnya. “Pagi, Ma. Pagi, Sayang,” sapa Gavin sambil mencium kedua pipi putranya. “Papa... nanti Nenek mau mengajak Zayn jalan-jalan,” ucap Zayn dengan senyuman di wajahnya. Gavin mengernyitkan dahinya. Ia lalu menatap mamanya yang tengah menyuapi putranya. “Benarkah itu, Ma? Memangnya Mama mau mengajak Zayn jalan-jalan kemana?” “Iya, Sayang. Mungkin ke taman. Sepertinya Zayn bosan di rumah terus. Apalagi akhir-akhir ini kamu sangat sibuk di kantor, hingga gak ada waktu buat ngajak Zayn jalan-jalan.” Gavin memindahkan Zayn ke dalam pangkuannya, “Sayang, maafkan Papa ya. Saat libur nanti, Papa janji akan mengajak kamu jalan-jalan sama Oma.” Zayn menganggukkan kepalanya, “baik, Pa.” Gavin mengusap puncak kepala Zayn, “ini baru anak Papa,” ucapnya lalu mengecup kening Zayn. “Pa... apa Mama juga sayang sama Zayn seperti Papa sama Nenek sayang sama Zayn?” Gavin menganggukkan kepalanya, “tentu saja, Sayang. Bahkan mama lebih sayang sama Zayn. Kenapa kamu menanyakan itu? apa kamu merindukan mama?” Gavin sekuat tenaga menahan diri untuk tak menangis. Ia harus kuat di depan putranya. Ia tak boleh lemah. Zayn memang sering menanyakan soal kenapa mamanya pergi meninggalkannya. Gavin dan mamanya juga sudah menjelaskan kepada Zayn apa yang telah terjadi dengan mamanya. Tapi, saat ini, Zayn belum mengerti dengan apa yang papa dan neneknya katakan padanya. Yang ia tau, mamanya sudah tega meninggalkannya sendirian. “Mama gak sayang sama Zayn. Kalau Mama memang sayang sama Zayn, kenapa Mama pergi meninggalkan Zayn? Kenapa Zayn gak diajak?” Kedua mata Zayn sudah mengalirkan cairan bening, “kata Papa, Mama pergi ke tempat yang indah. Tapi... kenapa Zayn gak diajak? Kenapa, Pa?” Gavin memeluk anaknya dengan sangat erat, “Sayang, jangan bicara seperti itu lagi. Papa gak akan membiarkan kamu pergi. Suatu saat kamu pasti akan mengerti, Sayang, kalau mama kamu sangat menyayangi kamu,” ucapnya sambil mengeratkan pelukannya. Sarah bahkan tak bisa menahan laju buliran-buliran cairan bening yang sudah memenuhi kedua matanya. Ya Allah, kuatkan anak dan cucu hamba. Hamba hanya ingin melihat keluarga hamba bahagia. Sarah sudah berulang kali meminta Gavin untuk menikah lagi, agar Zayn tak kekurangan kasih sayang seorang ibu. Tapi, putranya itu begitu keras kepala. Gavin tak akan pernah menikah, karena ia masih sangat mencintai mendiang istrinya. Kalau sampai ia menikah lagi, itu sama aja dirinya telah mengkhianati mendiang istrinya. Bagi Gavin, kasih sayangnya sudah cukup untuk anak semata wayangnya. Sarah menghapus air mata yang mengalir dari kedua sudut mata cucunya, “Sayang, biarkan papa kamu sarapan dulu. Nanti papa kamu akan terlambat ke kantor.” Zayn menganggukkan kepalanya. Ia lalu turun dari pangkuan papanya dan kembali duduk di kursinya. “Vin, cepatlah sarapan. Bukannya hari ini kamu ada meeting penting?” Gavin menghapus kedua sudut matanya. Ia lalu mengambil makanan dan mulai memakannya. “O ya, Vin. Mama rencananya ingin memasukkan Zayn ke sekolah taman kanak-kanak, biar dia punya teman main. Bagaimana menurut kamu?” berbicara sambil menyuapi cucu semata wayangnya. “Gavin selalu mendukung keputusan Mama. Apalagi itu menyangkut masa depan Zayn,” ucap Gavin sambil mengusap puncak kepala putranya. Setelah selesai makan, Gavin lalu berangkat ke kantor. Bagaimanapun meeting pagi ini sangat penting untuk kemajuan perusahaannya. “Sayang, kamu harus patuh dengan apapun yang nenek katakan. Jangan membuat nenek marah. Ok.” Zayn menganggukkan kepalanya, “baik, Pa. Zayn akan menjadi anak yang baik.” Gavin mengusap puncak kepala Zayn, “itu baru anak Papa.” Zayn mencium punggung tangan papanya. Gavin pun melakukan hal yang sama pada mamanya. “Gavin berangkat dulu ya, Ma. Gavin titip Zayn.” Sarah menganggukkan kepalanya, “hati-hati di jalan, Sayang.” “Iya, Ma.” Gavin kembali berjongkok didepan Zayn, mengecup keningnya, “Papa berangkat dulu ya, Sayang,” pamitnya. “Iya, Pa.” Gavin beranjak berdiri. Ia lalu melangkah menuju mobilnya. Membuka pintu mobil, dan melangkah masuk ke dalam mobil. Gavin melambaikan tangannya kepada mama dan putranya sebelum melajukan mobilnya. Setelah mobil Gavin keluar dari pintu gerbang, Sarah mengajak cucunya untuk masuk ke dalam rumah. Tentu saja untuk bersiap-siap, karena hari ini rencananya ia akan mendaftarkan Zayn sekolah di taman kanak-kanak. Setelah selesai bersiap-siap, Sarah meminta supir pribadinya untuk mengantarnya, karena ia tak mungkin membawa mobil sendiri. Sarah ingin mendaftarkan cucunya di sekolah taman-taman kanak-kanak terfavorit. Baginya biaya tak akan jadi masalah, karena yang terpenting cucunya bisa belajar dan mempunyai banyak teman nantinya. Mobil yang dinaiki Sarah dan Zayn, sudah berhenti di depan sebuah bangunan dengan lantai dua. Di depan bangunan itu terdapat begitu banyak aneka permainan. “Nenek, apa Zayn akan bersekolah disini?” tanya Zayn sambil menatap nenek ‘nya yang duduk di sampingnya. “Iya, Sayang. Apa kamu suka? Disini banyak sekali permainan, dan kamu akan mempunyai banyak teman nantinya.” Sarah lalu mengajak Zayn untuk keluar dari mobil. Melangkah menuju bangunan dengan lantai dua. Bahkan cat dindingnya berwarna sangat cerah, yaitu biru muda. Dindingnya pun didesain dengan aneka gambar. Ada bunga dan juga binatang. “Selamat pagi,” sapa Sarah saat berpapasan dengan seorang wanita yang mungkin salah satu pengajar di sekolah itu. “Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu. “Saya ingin mendaftarkan cucu saya untuk bersekolah disini. Kalau boleh tau, dimana ya ruang kepala sekolahnya?” “Kebetulan saya guru pengajar disini,” ucap wanita itu dengan senyuman di wajahnya. “Apa anak yang tampan ini yang akan sekolah disini? Apa Bunda boleh tahu siapa nama kamu, Sayang?” tanya wanita itu sambil berjongkok di depan Zayn. Zayn yang baru pertama kali berinteraksi dengan orang lain selain keluarganya, merasa takut. Ia lalu bersembunyi di belakang oma nya. “Sayang, kenapa kamu bersembunyi? Kasih salam sama Bunda....” Sarah menggantungkan ucapannya. Wanita itu lalu beranjak berdiri, “nama saya Shanum. Anak-anak memanggil saya dengan sebutan Bunda Shanum.” “Sayang, kasih salam sama Bunda Shanum?” Zayn menggelengkan kepalanya. Ia tetap bergeming di tempat. “Maafkan cucu saya. Dia memang pemalu, karena selama ini dia tak pernah berinteraksi dengan orang lain selain sama saya dan papanya,” ucap Sarah yang tak enak hati. Shanum menggangguk mengerti, “tak apa, Bu. Nanti lama kelamaan dia akan terbiasa. Kalau begitu, mari saya antar ke ruang kepala sekolah,” ucapnya dengan ramah. Sarah menganggukkan kepalanya. Sedangkan Shanum kembali mendekati Zayn, lalu duduk berjongkok di depan Zayn. “Bunda Shanum boleh tau dong siapa nama kamu, Sayang?” tanyanya lagi. Zayn menatap neneknya. Lalu kembali menatap Shanum. “Zayn.” Shanum tersenyum, “apa Zayn mau main sama Bunda Shanum?” Zayn diam. Tapi kedua matanya masih betah menatap wanita yang akan menjadi guru pengajarnya. “Ok. Kita bisa main nanti. Sekarang kita antar nenek dulu untuk menemui kepala sekolah. Ok.” Shanum mengepalkan tangan kanannya dan menjulurkan ke arah Zayn, “kita tos dulu dong,” lanjutnya. Zayn mengangkat tangan kanannya, dan mengepalkan nya sama seperti Shanum, lalu melakukan tos. “Pintar. Apa Zayn masih takut sama Bunda Shanum?” Zayn menggelengkan kepalanya. “Ini baru anak yang pintar,” ucap Shanum sambil mengusap puncak kepala Zayn. Shanum lalu beranjak berdiri, “mari, Bu,” ajaknya dengan sopan. Shanum menggandeng tangan Zayn saat menuju ruang kepala sekolah. Setelah mengantar Sarah ke ruang kepala Sekolah, ia meminta izin untuk mengajak Zayn masuk ke dalam kelas. Sarah begitu terkejut, saat Zayn setuju untuk ikut bersama dengan Shanum. Padahal selama ini, cucunya itu sangat sulit untuk dekat dengan orang lain. Shanum membawa Zayn ke dalam kelas yang di dalam kelas itu dihuni oleh anak-anak dengan usia yang sama dengan Zayn—yaitu antara usia 4 sampai 5 tahun. Tapi, rata-rata usia anak yang ada di kelas itu seusia dengan Zayn. “Selamat pagi anak-anak Bunda yang cantik dan tampan,” sapa Shanum kepada anak-anak didiknya. “Selamat pagi, Bunda.” Semua anak-anak bersamaan membalas sapaan Shanum. “O’ ya. Hari ini kita kedatangan teman baru. Apa kalian mau berkenalan dengan teman baru kalian?” Semua anak menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Bunda akan memperkenalkan teman baru kalian. Namanya Zayn. Bunda harap, kalian mau berteman dengan Zayn ya. Ajak dia main. Ok.” “Baik, Bunda,” jawab semua anak-anak itu. Seorang anak laki-laki beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah maju ke depan. “Nama aku Rino,” ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Zayn menatap Shanum. Shanum menganggukkan kepalanya. Zayn menjabat tangan Rino, “Zayn,” ucapnya pelan. Melihat sahabatnya sudah mulai berkenalan dengan Zayn, anak-anak yang lain pun ikut berdiri dan melangkah ke depan. Shanum tersenyum melihat anak-anak didiknya langsung tanggap sebelum ia memintanya. “Karena kalian semua sudah berkenalan dengan Zayn. Bagaimana kalau sekarang kalian ajak Zayn main?” “Baik, Bunda Shanum,” jawab semua anak-anak itu. Sarah yang melihat dari jendela ruang kelas itu, begitu terharu melihat cucunya yang sekarang sudah mempunyai banyak teman. Ia pun langsung merekam kegiatan Zayn di dalam kelas itu dan langsung mengirimkannya kepada Gavin. Sarah ingin membagi kebahagiaan dengan putranya, karena bagaimanapun, Gavin berhak tau, bagaimana putranya mau berbaur dengan teman-teman barunya. Gavin yang baru saja selesai meeting, merasakan getaran di saku celananya. Ia lalu mengambil ponselnya, dan melihat ada pesan masuk dari mamanya. Tanpa pikir panjang, Gavin langsung membuka pesan itu. Ternyata itu adalah sebuah video yang dikirim oleh mamanya. Gavin langsung memutar video itu. Kedua matanya langsung membulat seketika saat melihat isi video itu. Ada rasa haru yang dirasakannya saat ini, saat melihat putra semata wayangnya sedang bermain dengan teman-teman barunya. Fernandes yang ada di samping Gavin pun merasa sangat penasaran saat melihat raut wajah sahabatnya yang seketika berubah sendu setelah menatap layar benda pipih yang ada di tangannya. “Vin, ada apa?” tanyanya cemas. “Mama mengirimkan video Zayn yang sedang bermain dengan teman-teman barunya. Ini pertama kalinya Zayn mau berbaur dengan orang asing. Kamu ‘kan tau, Zayn begitu sulit dekat dengan orang lain selain orang disekitarnya. Apalagi selama ini, dia hanya dekat sama aku dan mama.” Fernandes lalu menatap layar ponsel Gavin, “jadi Zayn sudah mulai masuk sekolah?” Gavin menganggukkan kepalanya, “Mama ingin Zayn bisa mempunyai teman, agar Zayn tak bosan juga di rumah terus.” Fernandes menatap wanita yang tengah memangku Zayn, ‘siapa wanita itu? apa itu guru pengajar Zayn? Cantik juga,’ gumamnya dalam hati. Gavin yang sudah selesai melihat video yang berdurasi lima belas menit itu, langsung kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. “Semalam aku kembali bermimpi kejadian naas itu,” ucapnya lalu menghela nafas. “Fer, apa Yasmin gak tenang ya disana?” tanyanya kemudian. Fernandes menepuk bahu Gavin, “itu hanya pikiran kamu aja. Kamu bisa bermimpi itu lagi, mungkin karena kamu selalu memikirkan Yasmin. Sudah hampir empat tahun berlalu, apa kamu juga belum merelakan kepergian Yasmin?” “Aku sudah merelakannya. Tapi, aku belum bisa melupakan kejadian naas yang sudah merenggut nyama Yasmin. Apalagi saat Zayn yang selalu bertanya tentang mamanya.” Gavin mengusap dadanya, “sakit, Fer. Sakit banget.” “Kenapa kamu gak menikah lagi? mungkin setelah kamu menikah, kamu dengan perlahan bisa melupakan semua mimpi burukmu itu. Zayn juga bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang tak didapatkannya selama ini.” Gavin menggelengkan kepalanya, “aku gak bisa. Bagaimana aku bisa menikah, saat di hati ini masih penuh dengan cinta untuk Yasmin. Aku gak mungkin mengkhianatinya.” “Tapi Yasmin sudah tenang disana, Vin. Kamu juga harus melanjutkan hidupmu. Zayn juga membutuhkan sosok seorang ibu. Kasih sayang yang bahkan tak bisa kamu berikan.” “Gak semudah itu juga, Fer. Justru aku akan merasa kasihan sama wanita yang akan menikah denganku, karena aku gak akan mungkin bisa mencintainya seperti aku mencintai Yasmin. Gak akan ada seorangpun yang bisa menggantikan posisi Yasmin di hatiku.” “Aku tau dengan apa yang kamu rasakan. Tapi, aku tetap berharap, suatu saat nanti, kamu bisa melanjutkan hidupmu. Kamu masih muda, kamu berhak untuk bahagia. Apalagi begitu banyak wanita yang tergila-gila sama kamu.” Meski saat ini usia Gavin sudah hampir tiga puluh tahun. Tapi, wajahnya masih terlihat awet muda. Kedua bola mata yang kecoklatan dengan bulu mata yang lentik, hidung mancung, bibir sedikit agak tebal, menambah daya tarik tersendiri. Belum lagi rahangnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, semakin membuat wajahnya lebih terlihat perfect. Apalagi sikap Gavin yang begitu ramah dengan semua karyawan-karyawannya, membuat nilai plus di hati para kaum hawa. “Kamu itu suami idaman para wanita,” lanjut Fernandes. Gavin menghela nafas panjang, “daripada kamu memikirkan masa depan aku, mendingan kamu pikirkan masa depan kamu. Masih mending aku, di usiaku yang hampir kepala tiga, aku sudah pernah menikah dan aku mempunyai seorang anak.” “Sedangkan kamu, sampai sekarang kamu belum menikah juga. Kenapa kamu gak menikah lebih dulu?” Fernandes berdecak, “aku belum siap untuk berkomitmen.” “Lalu bagaimana dengan Lilis? Apa kamu juga gak akan menikahinya?” “Aku sudah putus dengannya. Semua cewek sama saja. Mereka semua matre.” Kedua mata Gavin membulat dengan sempurna, “apa?” Astaga! Baru juga dua bulan pacaran. Sudah putus aja. Gavin hanya geleng-geleng kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN