Sebelas

1510 Kata
Sudah seminggu sejak interview pertama Darren dan Angel. Meskipun saat ini mereka masih bekerja di kantor lamanya, namun Angel selalu pulang lebih dahulu dibandingkan Darren. Sehingga gadis manis itu kini menunggu Darren pulang, berdiri di gerbang depan rumahnya yang juga merupakan tempat kost. Tidak jauh dari rumah keluarga Angel memang ada kampus, ya kampus tempat mereka berdua bertemu. Sehingga banyak mahasiswa dan juga karyawan yang kost disana. Rumah Angel menyatu dengan rumah kost. Kediamannya di lantai satu, sementara kost ada tiga kamar di lantai satu dan juga sepuluh kamar di lantai atas. Untuk lantai atas, kamar mandinya room in dengan kamar. Sedangkan tiga di lantai bawah hanya ada satu kamar mandi dipakai bersama karena ukurannya pun lebih kecil dan harganya lebih murah. Di sanalah Darren tinggal selama ini. Angel mengabaikan godaan dari para penghuni kost sebelah yang sedang makan bakso langganan mereka. “Neng Angel, sini makan bakso!” “Neng, abang bayarin deh, ayo sini.” “Angel cantik, nunggu siapa sih?” berikut suara-suara sumbang yang terkadang membuat Angel sebal. Hingga Darren menghampiri mereka. “Hei macem-macem ya!” ujarnya seraya memberi tatapan tajam, namun para pria yang asik menikmati bakso itu hanya tertawa, karena tahu Darren tak serius dengan ucapannya. “Ah bodyguardnya dateng,” goda mereka, Angel hanya tertawa melihat pemandangan itu. Darren tersenyum melihat tawa renyah Angel yang semakin membuatnya tampak cantik. Memang bisa dibilang Angel seperti primadona di kawasan ini, kecantikannya sangat natural dan tak ada mahasiswi yang mampu menandinginya. Atau memang hanya di mata Darren saja yang seperti itu? Entahlah. “Mas, kok malam banget pulangnya?” ujar Angel yang masih berpegangan pada pagar gerbang rumahnya. Darren menghampiri Angel dan berdiri di sampingnya, berjalan menuju kamar kost bersama Angel. “Tadi di lantai tiga kan ada acara makan-makan, jadi aku bantu beres-beres sebelum pulang. Ada apa? Sampai nungguin gitu?” ujar Darren yang kini sudah membuka kunci kamar kostnya dan membuka pintunya. Dia duduk di depan pintu dan membuka sepatu pantofelnya, sepatu yang berbeda dengan yang dia kenakan kemarin, karena kali ini tampak usang dan ada beberapa bagian yang robek. “Sepatu kemarin kemana? Kenapa pakai yang lama lagi sih?” cebik Angel. “Sayang-sayang, barangkali nanti kepakai di kantor baru,” ucap Darren. Angel hanya mendengus. “Oiya Mas, dapet email dari Zephyr corp nggak?” “Malam ini pengumumannya ya?” tanya Darren. Angel mengangguk antusias, sementara Darren melirik jam dinding di kamarnya, sudah lewat dua jam dari pengumuman, seharusnya emailnya sudah masuk jika memang dia lolos ke tahap selanjutnya. “Kamu dapat?” tanya Darren. Angel pun mengangguk meski sedetik kemudian dia tampak sedih. “Kenapa? Kok kelihatan sedih?” “Habisnya, aku di lempar ke bagian kesekretariatan, padahal kita kan fokus kuliah di jurusan managemen sumber daya manusia. Aku mana ngerti Mas tentang pekerjaan sekretaris, ah sama aja disuruh nyerah ini sih,” rutuk Angel. Darren hanya tertawa dan menggeleng geli. “Jangan suka berburuk sangka, nggak baik. Coba saja dulu, siapa tahu rejeki kamu justru di sana,” ucap Darren. “Iya sih,” kekeh Angel, “coba mas lihat emailnya,” pintanya sedetik kemudian. Darren sebenarnya tak yakin lolos ke babak berikutnya, karena itu dia tak terlalu antusias, jawabannya kemarin benar-benar membuatnya menyesal. Dia membuka aplikasi email di ponsel miliknya yang sebenarnya bukan keluaran terbaru namun masih bisa dia gunakan. Matanya membulat ketika merefresh laman itu dan mendapati sebuah email dari perusahaan Zephyr itu. “Gel, aku ... lolos ke tahap selanjutnya,” ucap Darren tak percaya. “Benar mas? Coba aku lihat.” Darren menyerahkan ponsel ke Angel. “Mas lolos, selamat Mas, interview tahap dua katanya lebih mudah karena sekitaran nego gaji dan pemilihan penempatan,” ucap Angel. “Apa itu berarti kita udah fixed di terima?” tanya Darren tak dapat menyembunyikan raut bahagianya. Namun Angel justru tampak murung. “Ya bagi Mas diterima, tapi bagi aku ... belum tentu, soalnya aku kan harus ikut seleksi lagi,” ucap Angel. “Jangan patah semangat dong Gel, kamu pasti lolos. Nanti aku bantu doa, ya? Sudah malam, kamu tidur sana, besok kan masih masuk kerja,” ucap Darren seraya tersenyum, Angel pun mengangguk. “Good night Mas, have a nice dream,” ucap Angel membuat Darren meleleh, lalu menyembunyikan dengan tertawa kemudian. “Makan masih pakai oncom saja sudah nice dream nice dream,” goda Darren membuat Angel tertawa, lalu dia pun meninggalkan Darren, yang tentu merasa malamnya terlihat indah. Padahal ... di tempat kerjanya tadi dia habis dimarahi hanya karena ingin memisahkan makanan yang masih layak makan. Dibilang dia menyembunyikan makanan oleh atasannya. Meskipun yang terjadi tidak demikian, karena dia memisahkan makanan dari piring sisa karyawan yang tidak habis. Malam ini, biarlah Darren merogoh kantongnya untuk makan bakso, toh dia mempunyai harapan bekerja di Zephyr corp yang dia harapkan bisa menggajinya dengan lebih manusiawi. Darren pun memutuskan ikut bergabung dengan penghuni kost sebelah dan menikmati semangkuk bakso sebelum tidur. *** Suara dentum musik yang kencang, tak membuat Enzi tampak terganggu, dia menikmati sebatang rokoknya di ruangan khusus, sementara di kanannya sudah menempel wanita seksi nan cantik yang sedari tadi mengusap daadanya. Di hadapannya, ada temannya yang asik mencumbu wanita penghibur dan membiarkan tangannya bergerilya tanpa rasa malu. Sedangkan sang wanita tampak sangat senang dengan mempertontonkan bagian terindah tubuhnya. Enzi tak peduli, karena pandangannya mengarah ke pria di kejauhan yang bertubuh tinggi besar dengan rambut panjang bergelombang yang dikuncir. Tatonya terlihat banyak dan wajahnya sangar. “Itu siapa? Kemarin aku nggak liat,” tanya Enzi kepada wanita yang tampak sudah berhasrat namun Enzi mengabaikannya. Wanita seksi itu menoleh ke arah yang ditunjuk Enzi. “Anak buah si bos, sebelumnya dia di bar satunya, karena bar itu ada masalah dan di tutup, jadinya diangkut kesini. Namanya Anto,” ucap wanita itu. Enzi memperhatikan wajah Anto dari kejauhan, meski lampu bar ini remang-remang namun sorot dari lampu tembak yang memutar dan ketika mengarah ke wajahnya membuatnya berpikir. Apakah dia pernah bertemu Anto sebelumnya? Mengapa wajahnya tampak tidak asing? Atau hanya perasaannya saja? Anto memasang wajah sangarnya ke arah pria mabuk yang mulai berbuat ulah, pekerjaanya yang sebagai petugas keamanan bar memang mewajibkannya melerai jika ada yang berbuat gaduh. Yang entah mengapa membuat Enzi kesal dan ingin memukulnya. Enzi meremas batang rokok dengan tangannya, mengabaikan rasa panas dan membantingnya ke meja. Wanita seksi itu terlihat pucat, tak biasanya pelanggaannya seperti ini? “Ada apa, sayang?” tanya wanita itu. Bahkan teman di hadapannya yang kepemilikannya sedang dikulum wanita penghibur itu ikut menoleh ke arah Enzi. “What’s up Bro?” tanyanya. Enzi hanya menggeleng, lalu mengambil jaket kulitnya dan berdiri. “Cabut duluan, Bro. Nggak mood,” jawab Enzi. “Lho sayang, mau kemana?” tanya wanita seksi itu. Enzi mengambil beberapa uang lembaran di dompetnya dan meletakan di meja. “Tip untuk kamu,” ucap Enzi, lalu mengecup pipi sang wanita itu, meski rasanya hambar seolah hanya merupakan formalitas saja. Enzi membuka pintu kaca yang sebenarnya tak terlihat dari luar itu. Namun dari dalam ruang kaca tersebut bisa jelas melihat ke adaan luar. “Sssst, sini bantu keluarin,” panggil teman Enzi tadi kepada wanita yang ditinggalkan Enzi. Wanita seksi itu langsung mengambil posisi di sisi yang kosong dari pria itu dan mulai melancarkan pekerjaannya untuk membuat kliennya puas. “Euhmmm sudah basah ya,” ucap teman Enzi itu seraya menelusupkan jarinya ke balik g-string milik wanita tadi. “Bos Enzi lagi nggak mood padahal akunya sudah tinggi, euhmmm terus, di situ betul,” ucap wanita yang sudah tersiram gairah itu seraya mendesah, menikmati permainan jemari dari pria yang berada di sampingnya kini sementara milik sang pria kembali di service oleh wanita lain. Enzi melewati Anto dan melihatnya dari dekat, pria itu sepertinya rutin olahraga sehingga otot-ototnya tampak kencang. Anto yang tak menyadari bahwa Enzi lama menatapnya pun dibisikkan oleh temannya yang mengenalkan Enzi kepadanya. Anto menoleh dan membungkuk sopan kepada Enzi. “Malam bos,” sapa Anto. Enzi mengangguk, dengan rahang mengeras lalu dia memukul lengan Anto dengan keras hingga Anto terkejut, namun dia tentu tak bisa melawannya karena dia tahu Enzi adalah anak dari sahabat pemilik bar ini yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri. “Saya hanya mau test saja kekerasan lengan kamu,” ucap Enzi tanpa tersenyum sedikit pun. Anto hanya mengangguk dan menunduk sambil merasakan sakit di lengan atasnya. Dengan tanpa rasa bersalah Enzi meninggalkan Anto lalu dia membalik tubuhnya dan memanggil Anto. “Hei!” panggil Enzi. Anto dan temannya menoleh ke arahnya. “Kapan-kapan kita sparing tinju,” ucap Enzi. “Siap, Bos,” jawab Anto. Enzi benar-benar meninggalkan Anto kini, dengan rasa yang ingin meledak. Dia merasa ada yang tidak beres dengannya sejak beberapa hari belakangan ini. Dan entah mengapa dia sungguh membenci wajah Anto? Ya dialah Anto anak dari Bagus yang pergi dan tak pernah kembali. Membawa banyak uang milik Darren. Enzi tak tahu, bahwa karena Anto-lah, Darren selama ini menjadi bulan-bulanan ibu Anto dan harus mengalami masa kecil yang menyedihkan. Mungkin memang ikatan batin itu masih kuat dan tak pernah terputus sehingga Enzi bisa merasakan kesedihan Darren melaluinya meski tak pernah mengetahuinya. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN