Sembilan

1435 Kata
Lorong lantai delapan menjadi tempat berkumpulnya para kandidat karyawan Zephyr Corp. perusahaan yang berbasis di Singapura itu melayani bagian ekspor impor barang. Semua tampak serempak mengenakan kemeja putih dengan bawahan hitam, sepatu yang telah di semir hingga tampak mengkilap. Darren bahkan membeli sepatu baru kemarin, bukan yang mahal karena dia membelinya di toko yang terletak di pasar. Namun sepatu itu tampak berkilap dan sangat baik dikenakannya. Mereka mengenakan id card khusus pelamar kerja dengan nomor urut yang juga tertempel di id card sementara tersebut. Angel menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, sebentar lagi tiba gilirannya bersama Darren masuk ke dalam ruang wawancara. Para kandidat akan masuk lima orang sekaligus dan di tanyai oleh tim yang bertugas merekrut di dalam. “Nomor 0406 sampai 0410 silakan masuk,” ucap wanita berambut pendek yang keluar dari ruang interview dan memang bertugas sebagai moderator. Meski pekerjaannya sedikit melelahkan namun dia masih tersenyum ramah. Darren dan Anggel saling lirik dan beranjak dari kursi, kini tiba giliran mereka, detak jantung nyaris terdengar sampai ke telinga karena suaranya yang terlampau keras atau mungkin hanya perasaan mereka saja? Kelima kandidat karyawan baru itu berjalan beriringan satu persatu memasuki ruangan yang dihadapannya telah terdapat lima pewawancara dengan job desk masing-masing tentunya. Ravin melihat pelamar itu satu persatu, mereka yang mengenakan kemeja putih memang membuat penampilannya tak ada yang mencolok, itulah tujuan utamanya, agar tidak ada kesenjangan bahkan sejak pertama melamar. Mata Ravin tak lepas dari pria yang selalu menunduk, warna kulitnya yang sedikit gelap. Hingga staff meminta mereka duduk. Dan mata Ravin bertatapan dengan mata pria itu yang entah mengapa membuat tangan Ravin bergetar, dia tak menyadari bahwa dia menjatuhkan pulpennya yang menggelinding sampai ke depan peserta wawancara. Semua mata menatap Ravin yang masih terpaku, kebetulan pulpen itu berada paling dekat dengan kaki Angel, hingga Angel mengambilnya dengan membungkuk lalu menyerahkan ke Ravin seraya tersenyum manis. Ravin membalas tatapan Angel, dia berhasil menguasai dirinya dan tersenyum sambil mengucap terima kasih. Namun sedetik kemudian, Ravin kembali melihat ke arah pria tinggi berkulit gelap dan bernomor urut 0407 itu dengan pikiran yang bercabang. Aneh namun nyata, dia seolah merasakan rindu pada pria itu. Dia merasa pernah bertemu dengannya namun dia tidak tahu bertemu dimana? Ravin pun melihat biodatanya, sementara mereka masih memperkenalkan diri sebelum sesi tanya jawab. Ravin tertegun ketika melihat tanggal lahirnya yang sama, namun ... jutaan orang di dunia bahkan lahir di tanggal dan tahun yang sama. Lalu Ravin melihat riwayat pendidikan dan juga pekerjaan sebelumnya. Tak ada yang sama dengannya, membuatnya yakin bahwa mereka tak bertemu di dunia pendidikan. Namun Ravin masih penasaran, mengapa dia merasa sangat sedih dan ingin berlari memeluk pria itu? Apakah dia sudah tidak normal? Tidak! Ravin menggeleng keras, dia bahkan masih menyukai wanita meskipun saat ini belum ada yang mengisi hatinya. “Ada apa pak Ravin?” tanya moderator hari ini, Ravin terkesiap dan tersenyum lebar. “Tidak, silakan lanjutkan,” ucap Ravin menatap Darren yang langsung menunduk saat ditatapnya. “Pertanyaan pertama saya ajukan kepada saudara Darren,” ucap salah satu rekan Ravin. Ravin memasang wajah serius memperhatikan Darren. “Anda baru lulus kuliah tahun lalu? Sedangkan usia anda sudah dua puluh delapan. Apakah anda terkendala saat proses kuliah sehingga sangat molor?” Darren mengangkat wajahnya, teringat pesan Angel untuk tak melulu menunduk. “T- ehm ... tidak Pak, saya memang mendaftar kuliah ketika berusia dua puluh tiga. Sebelumnya saya bekerja di minimarket dengan jadwal kerja yang shifting sampai tiga shift karena minimarket tempat saya bekerja buka dua puluh empat jam penuh sehingga saya tidak mendapat kesempatan kuliah,” ucap Darren yang sempat tergagap di awal. “Melihat riwayat bekerja anda, anda bekerja selama lima tahun sebagai office boy di perusahaan media. Apakah ketika menjadi office boy, anda menjalani perkuliahan?” tanya staff lainnya. “Iya betul, Pak. Saya bekerja office hour senin sampai jumat sehingga hari sabtu minggu saya bisa menempuh perkuliahan. Dan saya menyelesaikannya dalam waktu normal, empat tahun,” ucap Darren. “Itu berarti pengalaman anda menjadi office boy cukup baik. Bagaimana jika kami menawarkan anda jabatan office boy juga di perusahaan ini?” tanya pewawancara yang pertama. Darren menunduk, dia merasa ragu perlu menjawab apa. Angel melirik dari sudut matanya. Ingin rasanya dia yang menjawab namun dia tentu tak diperkenankan menjawab pertanyaan yang tidak di tujukkan kepadanya. Ravin menunggu jawaban Darren, dia sangat penaran dengan jawabannya. Ravin tahu pertanyaan ini bukan pertanyaan sesungguhnya, pewawancara hanya ingin tahu sudut pandang dari Darren tentang pekerjaan sebelumnya. “Saya ingin mencari pengalaman baru, mengembangkan diri saya, karena itu di sinilah saya berada,” ucap Darren yang sepertinya tampak linglung dengan pertanyaan itu. Bahkan dia tak pernah membaca pertanyaan seperti ini di modul yang dikirim Angel untuk dipelajarinya. “Baiklah terima kasih Darren, pak Ravin apakah mau bertanya?” tanya moderator. Ravin menggeleng dan memisahkan berkas Darren. Lalu pewawancara bertanya pada peserta lain. Darren bisa melihat sorot mata kecewa dari para pewawancara, membuat dia sedih, seharusnya dia bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Sepertinya mereka tidak puas dengan jawabannya karena Darren pun mengakui bahwa dia tidak puas dengan jawaban sendiri yang terlampau klise. *** Setiap kandidat karyawan baru yang telah selesai melakukan wawancara kerja, mereka diperbolehkan langsung pulang dan akan diberitahu jika lolos ke tahap selanjutnya. Angel, Darren dan satu orang teman yang mereka temui di tempat wawancara tadi berjalan bersisian. Hingga tiba-tiba terdengar suara gaduh yang berasal dari petugas keamanan, meminta mereka memberikan jalan. Darren juga Angel mundur beberapa langkah, melihat iringan seorang pria berjas rapih hampir melewati mereka yang saat ini berada di lobi perusahaan. “Nunduk,” tukas teman mereka tadi. “Kenapa?” tanya Angel. “Itu pak Enzi Zephyr, pemilik perusahaan ini,” ucap pria itu. Angel dan Darren pun ikut menunduk serta sedikit membungkuk seperti karyawan lainnya. Enzi melewati Angel dan karena rasa penasaran yang tinggi, Angel mengangkat sedikit wajahnya untuk melihat dari dekat pemilik perusahaan tempatnya melamar kerja itu. Hal yang tak di duganya karena Enzi juga melihat ke arahnya. Hingga tatapan mereka bersirobok dan cepat-cepat Angel membungkuk. Enzi menghentikan langkahnya dan berbalik badan, berdiri tepat di depan Angel. “Kamu, angkat wajah kamu!” perintah Enzi. Dengan kaki gemetar, Angel yang tahu bahwa dirinya yang dimaksud itu pun mengangkat wajahnya dengan takut. Darren yang berada di sampingnya ikut mengangkat wajahnya dan berdiri, bersiap membela jika Angel terkena masalah. “Siapa nama kamu?” tanya Enzi. Angel merasa kesulitan bernapas, dia bahkan sedang berhadapan dengan orang nomor satu di perusahaan ini dan sialnya, orang itu sangat tampan dan masih terlihat muda. “A-Angel, pak,” ucap Angel tergagap. Enzy melihat id yang tergantung di leher Angel, sebuah id card khusus pelamar kerja. Dia memegang id itu dan melihat nomor yang tertera juga nama lengkap Angel. Lalu Enzi menoleh ke asisten pribadinya yang bersiap mendapatkan titah dari atasannya. Enzi melepas id card dari tangannya itu dan melirik ke arah Darren. Darren tak siap dengan tatapan Enzi yang terasa dingin menusuk, hingga dia kembali menunduk, memilih melihat sepatu pria yang sepertinya seusia dengannya itu. Sepatunya mengkilap dan jelas terlihat sangat mahal. Bahkan mungkin tak ada sedikitpun debu yang menempel di sana. Enzi mengernyitkan kening, dia merasakan sesuatu yang aneh saat melihat Darren. Matanya seolah mengingatkan akan sesuatu, namun dia tak tahu apa? Enzi pun memilih meninggalkan mereka berdua karena ada keperluan lainnya, dia memang sangat sibuk saat ini. Enzi berdiri di sisi mobilnya, dan dia berbalik tubuh, menoleh ke arah para calon karyawan baru itu. Lalu menggeleng dan masuk ke dalam mobil mewah itu. Sang asisten melihat ke arah bosnya dan kembali menatap kerumunan calon karyawan baru yang seperti menarik perhatian sang atasan. “Apa ada yang mengganggu, Pak?” tanya asisten itu. “Hmmm tidak ada. Oiya bilang ke tim perekrutan untuk memasukkan Angel ke dalam kandidat sekretaris saya,” ucap Enzi, kembali menoleh ke lobi bahkan ketika mobil itu telah melaju perlahan. Dia memegang daadanya yang entah mengapa terasa sakit? Dia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Dan dia tahu yang membuatnya sakit bukan Angel, melainkan pria yang disampingnya, yang membuatnya merasa seolah ingin menangis. Hal yang hampir tak pernah dilakukannya sejak dia berusia lima tahun. Enzi pernah menangis mengiba, mengharap perhatian dari sang ibu yang sangat jarang di dapatnya. Namun bukan perhatian yang di dapat, namun ibunya justru memarahinya. Enzi kecil tak tahu apakah ibunya kala itu sedang mempunyai masalah sehingga tampak kusut setiap hari? Terlebih sang ayah yang tidak pulang selama beberapa minggu. Mungkin bisnis mereka mengalami kendala kala itu. Setelah memarahi Enzi, sang ibu pun pergi meninggalkannya, tak kembali selama beberapa hari. Membuat Enzi menjadi pribadi yang lebih tertutup. Tak mau lagi menangis, dan kini entah mengapa matanya berkaca-kaca dengan sesuatu yang dia pun tak mengerti?   ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN