5. Friends' Day Out

3309 Kata
Dalam sehari secara resmi berteman dengan Langit, Lanitra sudah dibuat sangat senang karena ia jadi mendapatkan beberapa hal yang berhubungan dengan laki-laki itu. Apa saja? Yang pertama, seloyang cinammon cheesecake yang dibuat langsung oleh Langit dan diberikan laki-laki itu padanya secara cuma-cuma untuk Lanitra bawa pulang. Kedua, mereka bertukar nomor ponsel dan bisa saling menghubungi kapan pun. Dan ketiga, mereka berencana untuk bertemu lagi dalam rangka Lanitra akan mentraktir Langit makan sebagai wujud rasa terima kasihnya terhadap laki-laki itu. Oh, jangan lupakan pula, keduanya sudah tidak canggung lagi. Lanitra sudah bisa bersikap biasa saja kepada Langit karena hal yang mengganjal di antara mereka telah terselesaikan. Yah walaupun dirinya masih suka salah tingkah saat Langit terlalu lama menatapnya atau memberikannya senyuman manis yang berkemungkinan bisa membuatnya diabetes. Dan semua itu tentunya membuat Lanitra sangat senang. Hingga yang pertama kali dilakukannya ketika sampai di apartemen setelah sarapan dengan Langit pagi itu adalah menelepon Sierra dan menceritakan semuanya. Lanitra bahkan melupakan niatnya untuk mandi dan lupa juga kalau sebelumnya ia sudah kegerahan, semua karena tidak sabar untuk menyalurkan rasa excited-nya kepada sang teman. "HA GILIRAN SEKARANG AJA SENANG, KEMARIN MARAH-MARAH!" Sierra berseru setelah Lanitra menyelesaikan ceritanya. "Kamu beneran harus berterima kasih sama aku, loh!" Lanitra terkekeh sendiri. "Iya, iya. Makasih ya Sierra Aneska Yuan yang paling kusayang! You're indeed the best bestfriend deh." "Giliran gini aja baru ngasih pujian. Sialan." "Hehehe." Lanitra bisa membayangkan, pasti Sierra sedang memutar bola mata karena sebal sekarang. Tapi di sisi lain Lanitra juga tahu kalau Sierra senang. Temannya itu kan paling semangat agar Lanitra memberanikan diri untuk berkenalan dengan Langit dan tidak hanya memerhatikan laki-laki itu sedari jauh saja. "Pokoknya setelah acara kencan kamu sama dia, kamu harus traktir aku makan di Kintan Buffet. Nggak mau tau." "Tapi kan aku sama dia bukan mau pergi kencan, Si," koreksi Lanitra. Ia tidak setuju Sierra menyebut agenda perginya dengan Langit besok sebagai kencan karena memang mereka belum sampai ke tahap itu. Kan mereka baru saja berteman. Catat ya, berteman. "Baru friends' day out doang." Terdengar Sierra mencibir di seberang sana. "Idih, baru friends' day out aja tapi senangnya kayak abis dilamar." "Bodo amat hehehe. Yang penting aku happy." "IYA TAUUU YANG HAPPY IYAAA," ledek Sierra. Lanitra hanya tertawa. Terserah Sierra mau meledeknya seperti apa toh memang Lanitra sedang senang bukan kepalang, sekaligus tidak sabar menanti friends' day out-nya bersama Langit besok. *** Ketika kemarin Lanitra berkata akan mentraktir Langit sebagai rasa terima kasihnya, ia sedikit tidak menyangka kalau Langit akan langsung menyetujuinya dan memilih hari esok untuk melaksanakan agenda mereka tersebut. Sehingga mereka pun kembali memiliki rencana untuk bertemu dan menghabiskan waktu berdua dalam kurun waktu yang sangat cepat. Untuk waktu bertemu dan kemana mereka akan pergi, Lanitra memberi Langit kuasa untuk menentukan. Langit pun tidak menolak, laki-laki itu bilang kalau ia akan berpikir dulu mau kemana dan akan memberitahu Lanitra malam harinya. Dan semalam, Langit sudah memberitahu Lanitra pukul berapa dan akan kemana mereka. Jawaban yang sejujurnya cukup mengejutkan. Langit Dawana : Besok saya mau blusukan bareng sama kamu. Terus traktir makannya di tempat yang kita lewatin aja. Lanitra Ellena : Eh, serius? Langit Dawana :  Iya. Habisnya saya udah lama pengin blusukan gitu tapi nggak ada temennya hahaha. Nggak apa-apa kan? Tidak mungkin juga Lanitra menolak. Ia tetap merasa senang-senang saja, bahkan kalau pun Langit ingin mengajaknya blusukan sampai Bantar Gebang sekalipun, sepertinya Lanitra akan tetap senang. Keduanya berjanji untuk bertemu di Cielo Cafe jam empat sore. Karena tema kali ini blusukan, bukannya jalan pagi untuk olahraga, maka mereka memilih sore hari agar jalan-jalan yang akan mereka lewati ramai oleh orang-orang sehingga banyak yang bisa mereka lihat. Lanitra hampir saja terlambat datang sesuai dengan jam janjian mereka bertemu karena dirinya sempat kebingungan mau memakai outfit seperti apa. Padahal, agenda mereka hanyalah friends' day out semata, namun Lanitra sudah heboh sendiri seakan ingin pergi kencan. Dan pada akhirnya, setelah mencoba hampir setengah isi lemarinya, Lanitra memilih memakai setelan simpel yang tidak kelihatan terlalu niat, tapi juga masih oke. Ia mengenakan jeans biru muda, t-shirt abu-abu, dan bucket hat yang senada dengan warna celananya. Ketika tiba di Cielo, Langit sudah menunggu Lanitra di depan. Laki-laki itu langsung tersenyum begitu Lanitra sampai di hadapannya. And well, Langit terlihat sangat tampan dan segar dengan penampilan kasualnya. Jika sebelum-sebelum ini Lanitra hanya pernah melihat Langit memakai kemeja, maka hari ini Langit memakai t-shirt putih yang dilapisi jaket jeans hitam dan celana jeans hitam. Rambut laki-laki itu yang biasanya ditata rapi ke atas pun kali ini sengaja dibiarkan jatuh hingga menutupi dahi. He looks...cute. Omg. "Udah lama nunggu?" Tanya Lanitra. "Enggak kok, baru aja saya keluar," jawab Langit. Laki-laki itu melirik bucket hat Lanitra. "You look cute wearing that hat." Lanitra tersipu. "Thanks," gumamnya sembari membetulkan bucket hat di kepalanya meskipun bucket hat tersebut tidak miring sama sekali. Lanitra hanya salah tingkah. Ia ingin memberitahu Langit kalau laki-laki itu juga terlihat keren, namun tidak bisa karena malu. "Mau jalan sekarang?" "Oke." Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba saja langkah tersebut terhenti karena ada sebuah seruan yang berasal dari Cielo Cafe. "MAS LANGITTT, SUKSES YA NGE-DATE-NYA! SEMOGA YANG KALI INI BENERAN JADI!" Langit dan Lanitra spontan menoleh, hanya untuk melihat Sarah dan beberapa karyawan Cielo Cafe lain sedang cekikikan di luar kafe setelah menyerukan itu. Mereka semua melambaikan tangan kepada dua orang yang jadi berpandangan dengan wajah memerah. "Sorry," kata Langit diiringi sebuah ringisan. "Saya udah bilang kalau ini bukan kencan, tapi mereka tetap bersikeras dan semangat begitu. Habisnya mereka emang jarang lihat saya jalan sama perempuan, jadi ya lihat saya sama kamu...mereka...gitu." Lanitra tertawa kecil. Senang karena ternyata bukan hanya dirinya yang bisa salah tingkah, Langit pun juga bisa. "It's okay, Langit," kata Lanitra. "It's okay." *** Sinar Mentari adalah sebuah toko yang menjual buku-buku bekas yang waktu itu tidak sengaja ditemukan oleh Lanitra di salah satu sudut yang ada di daerah perumahan belakang kompleks apartemennya. Toko buku itu kecil, hanya sepetak seperti sebuah warung. Kalau orang-orang tidak terlalu memerhatikan ketika melewati jalan itu, mereka tidak akan mengetahui tentang toko buku ini yang terselip di antara ruko-ruko dan warung makan di sekitarnya. Lanitra pertama kali menemukan Sinar Mentari beberapa bulan lalu ketiga dirinya sedang jalan-jalan pagi, seperti biasa. Waktu itu Sinar Mentari baru buka dan Lanitra iseng mampir kesana hanya untuk sekedar lihat-lihat. Siapa sangka, ia justru mendapati kalau toko buku bekas yang lebih mirip warung itu justru menyimpan banyak harta karun. Ada banyak buku-buku lama disana, mulai dari n****+ karya nama-nama terkenal seperti Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan, buku-buku puisi karya Sapardi Djoko Damono, biografi tokoh-tokoh penting di Indonesia, hingga buku terjemahan seperti cetakan pertama n****+ Harry Potter pun ada. Di kunjungan pertamanya, Lanitra sampai memborong satu kantong buku bekas dan merasa senang bukan kepalang. Terlebih lagi, karena itu semua buku bekas, harga yang didapatnya pun sangat murah, bahkan satu buku ada yang hanya seharga lima ribu rupiah. Diceritakan Lanitra tentang Sinar Mentari, Langit langsung tertarik. Ia pun minta diajak kesana dan dengan senang hati Lanitra menyetujuinya. Maka, tujuan pertama mereka hari itu adalah Sinar Mentari. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai disana, meskipun mereka hanya jalan santai. Mungkin karena keduanya sibuk mengobrol di sepanjang jalan, atau mungkin juga karena udara yang sudah mulai sejuk, sehingga perjalanan yang harus mereka tempuh tidak terasa sama sekali. "Wow..." Sama seperti ekspresi Lanitra waktu itu, Langit juga menunjukkan ekspresi yang sama ketika melihat tumpukan buku-buku lama yang ada di Sinar Mentari. Lanitra jadi tersenyum bangga pada diri sendiri, senang karena bisa menemukan tempat ini dan memperkenalkannya kepada Langit. "Kok kamu bisa nemu aja tempat kayak gini sih, Lani?" "Nggak sengaja." Langit berdecak kagum. "Keren banget." "Lebay deh." Langit tertawa kecil, Lanitra juga. Lalu, laki-laki itu mulai melihat-lihat ke sekitar, mencari buku yang menarik minatnya. Lanitra mengekori Langit dan tersenyum sendiri melihat semangat laki-laki itu dan binar di matanya ketika memilih-milih buku di antara tumpukan buku yang berdebu dan warna kertasnya mulai menguning. Ketika Langit berjongkok di depan tumpukan buku, Lanitra pun ikut berjongkok di sebelahnya. Diperhatikannya tangan Langit yang mengambil satu buku, melihatnya, kemudian mengembalikannya dan mengambil buku yang lain. Hanya saja, hingga beberapa buku berikutnya, Langit tak kunjung menemukan satu pun yang pas. Laki-laki itu pun menggaruk kepala, menyerah, dan menoleh pada Lanitra sambil meringis. "Lanitra jujur, saya baru suka baca buku belum setahun ini. Dan biasanya buku-buku yang sering saya baca itu buku terjemahan, kayak novelnya Dan Brown atau Agatha Christie. n****+ kamu itu n****+ Indonesia pertama yang saya baca dan saya pun nggak banyak tahu sama penulis Indonesia. Cuma kamu yang saya tahu, sama Tere Liye, karena sering lihat novelnya di toko buku." Lanitra mengerjapkan mata, agak sedikit tidak menyangka mendengar penuturan jujur Langit. "Tapi saya betulan excited kesini karena mau cari n****+-n****+ Indonesia yang bisa saya baca, cuma...saya bingung. Kamu mau bantu pilihin?" Astaga. Astaga. Astaga. Lanitra jadi gemas sendiri karena Langit terlihat sangat lugu sekarang. Kalau saja mereka sudah lama berteman, pasti Lanitra sudah mencubit kedua pipinya. Tapi kan mereka baru sehari berteman dan alangkah kurang ajarnya kalau tiba-tiba Lanitra mencubit pipi Langit. Jadi, Lanitra harus bisa menelan kegemasan itu untuk dirinya sendiri. "Pasti mau lah, Langit," ujar Lanitra. "Kamu kenapa bilangnya kayak takut saya mau marahin kami?" Langit meringis. "Habisnya saya kelihatan payah banget, orang Indonesia tapi sukanya baca karya orang luar." "Nggak apa-apa kok, kan kamu juga masih dibilang baru pindah lagi ke Indonesia," ujar Lanitra sebelum dirinya mulai memilih-milih buku untuk Langit. Omong-omong, yang dikatakan Lanitra tadi memang benar. Langit baru pindah ke Indonesia kurang lebih dua tahun yang lalu, dan Cielo Cafe baru dirintisnya selama setahun belakangan ini. Sebelumnya, Langit tinggal di California dari umur sepuluh tahun. Hingga saat ini pun, semua keluarga Langit masih tinggal di California, hanya laki-laki itu yang memutuskan untuk pindah sendirian ke Indonesia karena katanya rindu dengan negara kelahiran dan ingin mencari pengalaman baru dengan tinggal disini sendiri. Langit menceritakan itu semua ke Lanitra saat mereka dalam perjalanan menuju Sinar Mentari. Tadi mereka memang membahas sedikit tentang keluarga dan tempat tinggal. Lanitra pun memberitahu Langit kalau ia tinggal sendirian di Jakarta untuk memudahkan pekerjaannya, sementara semua keluarganya tinggal di Lampung. Namun, cerita dari Langit tentunya cukup menakjubkan bagi Lanitra. Ia jadi menyadari kalau Langit sepertinya tidak berasal dari kalangan keluarga biasa. Buktinya keluarga mereka bisa pindah ke California, Amerika sana sejak usia Langit sepuluh tahun. Dan begitu pulang ke Indonesia empat belas tahun kemudian, Langit langsung merintis sebuah kafe yang bisa dibilang bagus dan tentunya membutuhkan modal tidak sedikit. Langit pun tinggal di rumah sendiri dan rumahnya ada di daerah Menteng, meskipun Langit tidak menyebutkan secara spesifik lokasi rumahnya, tapi Lanitra bisa menebak kalau rumah Langit pasti tidak lah biasa saja. "Itu semua jangan nggak selesai kamu baca aja ya," ujar Lanitra pada Langit setelah mereka keluar dari Sinar Mentari membawa seplastik penuh buku-buku. Bagaimana tidak sampai seplastik, Langit mengiyakan semua rekomendasi buku yang dipilihkan oleh Lanitra. Mulai dari buku puisi Hujan di Bulan Juni, beberapa n****+ teenlit yang pernah dibaca oleh Lanitra saat SMP, hingga biografi presiden Soekarno, dan buku-buku yang lainnya. Tadinya Lanitra hendak membayari semua buku yang Langit beli. Karena hari ini kan niatnya Lanitra ingin mentraktir Langit sebagai ucapan terima kasih. Namun, Langit bersikeras menolak dan bilang kalau Lanitra bilang hanya ingin mentraktirnya makanan. Begitu Langit membuka dompetnya, tidak sengaja Lanitra melihat sebuah black card yang ada di slot kartu. Nyaris saja Lanitra menganga melihatnya, ia pun hanya bisa menelan ludah dan otomatis mengerti kenapa Langit tidak mau ditraktir buku-buku bekas itu yang tentu harganya tidak seberapa baginya. Laki-laki itu pasti kaya raya, mungkin setara dengan Sierra yang keluarganya punya perusahaan multinasional. Gila! "Pasti saya baca kok, Lanitra. Kalau udah selesai semuanya, saya langsung kasih tahu kamu," balas Langit. "Beneran ya? Nanti saya kasih hadiah kalau kamu udah selesai baca semuanya." "Hadiah apa?" "Belum tahu, lihat nanti deh." Langit terkekeh. "Oke." "Oh ya, Langit, kamu mau makan apa?" Tanya Lanitra. Sekarang memang tujuan mereka ke tempat makan. Namun, Langit belum bilang mau makan apa dan Lanitra jadi bingung sendiri. "Makanan khas Indonesia yang belum pernah saya coba," jawab Langit tanpa berpikir dua kali. "Hah? Emang kamu belum pernah makan apa?" "Banyak, Lani. Selama ini saya nggak pernah kulineran, soalnya nggak ada yang nemenin. Sehari-hari makan masakan sendiri, delivery, atau makan makanan di kafe dan itu semua makanan western. Saya bosan." "Nggak ada yang nemenin? Emangnya kamu nggak punya teman atau...pacar mungkin?" Langit menggelengkan kepala. "Teman-teman saya disini cuma sekedar rekan bisnis dan karyawan kafe. Bisa dibilang kamu teman betulan saya yang pertama setelah saya pindah ke Indonesia," jelasnya. "Terus boro-boro saya punya pacar, teman aja nggak ada. Selama disini yang baru pergi kencan sekali, beberapa minggu lalu waktu kamu nyariin saya, sama orang dari Tinder dan itu pun karena dikerjain sama anak-anak di Cielo, tapi sekarang saya udah nggak kontakan lagi sama orang itu. Dari awal pindah sampai sekarang, saya masih terlalu sibuk sama pekerjaan dan beradaptasi lagi sama Indonesia sampai-sampai belum sempat bersosialisasi dengan benar." "Ah, I see." Lanitra mengangguk paham. Betul-betul paham hingga ia harus menahan cengiran sendiri karena salah fokus pada sesuatu yang dikatakan Langit tadi. Sebuah penjelasan atas apa yang dilihatnya beberapa minggu lalu di depan lift mall. Lanitra jadi tidak sabar ingin memberitahu Sierra kalau ternyata Langit tidak punya pacar! "Kamu bisa makan pedas nggak, Langit?" Langit menganggukkan kepala guna menjawab pertanyaan Lanitra itu. "Makan seblak mau? Itu makanan favorit saya," kata Lanitra diiringi sebuah cengiran lebar yang menunjukkan deretan gigi rapinya hingga membuat matanya menyipit membentuk lengkungan seperti bulan sabit. Cengiran tersebut menular pada Langit. Laki-laki itu kembali mengangguk, kali ini lebih semangat. "Boleh," katanya. "Saya belum pernah makan seblak dan penasaran gimana rasanya makanan yang bisa difavoritin sama Lanitra Ellena." Padahal Langit berbohong. Laki-laki itu pernah makan seblak dan tidak menyukainya sama sekali. *** Matahari sudah hampir tenggelam ketika acara makan Lanitra dan Langit selesai. Semburat warna jingga, magenta, dan biru tua bercampur menjadi satu di langit sana, mencipta sebuah pemandangan langit senja yang indah. Lanitra bahkan sempat memotretnya dengan ponsel, mengabadikan langit yang terlihat lebih menakjubkan dari biasanya di hari dirinya dan Langit pergi berdua untuk pertama kali. Mereka berdua berjalan perlahan, menikmati pemandangan jalanan yang ramai oleh orang-orang yang lewat dengan kendaraannya atau mereka yang sedang sibuk membeli makanan karena sebentar lagi jam makan malam. Momen sekarang ini rasanya benar-benar menakjubkan dan masih tidak bisa dipercaya oleh Lanitra. Dirinya dan Langit berjalan berdua, diterangi oleh lampu jalanan yang mulai menyala, dan baru saja selesai makan seblak. Kombinasi yang benar-benar aneh dan tidak terduga tapi sekaligus juga mampu membuat hati Lanitra berbunga-bunga. Selama mereka menghabiskan waktu berdua sore ini, berkali-kali Lanitra harus mengingatkan diri sendiri kalau mereka tidak sedang pergi berkencan, melainkan hanya sebatas friends' day out alias jalan bareng teman. Namun, pikiran Lanitra sering oleng karena dia sendiri juga sering dibuat salah tingkah oleh Langit. Entah itu saat Langit sengaja menukar posisi mereka saat berjalan sehingga Langit yang berada dekat dengan jalanan yang dilalui oleh kendaraan, Langit yang menatapnya terlalu lama saat mereka bicara, atau bahkan ketika Langit tersenyum atau tertawa. Jika dengan teman, Lanitra tidak mungkin merasa salah tingkah hanya karena hal-hal remeh begitu kan? Tapi mau bagaimana lagi, Lanitra tidak bisa mengontrol perasaannya sendiri. Walaupun memang otaknya terus menerus mengingatkan kalau Lanitra harus teguh pada prinsipnya, tidak boleh mengekspektasikan apa-apa. "Lanitra," panggil Langit ketika mereka sudah sampai di setengah perjalanan menuju kompleks apartemen Lanitra. Langit memang meminta supaya mereka melewati jalan yang bisa membuat Lanitra sampai ke apartemennya duluan supaya perempuan itu bisa pulang lebih cepat. Lanitra menoleh pada Langit di sebelahnya, memandang laki-laki itu dengan tatapan penuh tanya. "Thank you," ujar Langit. "Buat seblaknya? It's not a big deal, really. Harganya aja semangkok nggak sampai dua puluh ribu. Nanti saya harus traktir kamu lagi secara proper, Langit. Dan kamu nggak boleh nolak, oke?" Langit tertawa dan menggelengkan kepala. "Bukan makasih buat seblaknya, maksud saya." "Terus?" "Makasih buat hari ini. Saya senang bisa jalan-jalan begini sama kamu." "Oh..." Lanitra agak kaget mendengar penuturan itu. "Padahal kan kita cuma jalan kaki ke Sinar Mentari sama makan seblak doang." "Tapi saya tetap senang. Seru ternyata bisa jalan-jalan begini, ke tempat yang mungkin nggak akan bisa saya temuin kalau nggak sama kamu, ngelewatin taman, rumah orang, warung, dan lain-lain. Ini benar-benar pengalaman pertama saya selama tiba di Indonesia dan rasanya pasti nggak akan jadi begini kalau bukan karena kamu. So, thank you so much." Lanitra tidak tahu harus berkata apa karena tiba-tiba saja otaknya jadi blank mendengar penuturan Langit serta senyumannya yang betul-betul terlihat tulus. Yang bisa dilakukan Lanitra hanyalah tersenyum dan mengangguk, "Um, okay. You're welcome." Selama beberapa saat tidak ada yang bicara di antara mereka karena tiba-tiba saja keduanya bungkam. Lalu, di tengah keheningan mereka itulah Lanitra jadi teringat sesuatu. "Langit, saya boleh tanya sesuatu nggak?" "Mau tanya apa?" "Kemarin kamu bilang kalau n****+ Cielo bikin kamu ingat sama diri sendiri tapi bukan karena judulnya Cielo. Kok bisa?" Ada jeda di antara pembicaraan mereka karena Langit nampak sedang berpikir. Lanitra menatap Langit penasaran, menunggu jawabannya. Ketika Langit bilang bahwa karakter Cielo membuatnya teringat pada diri sendiri, Lanitra jadi bertanya-tanya, kenapa bisa? Memang karakter CIelo terinspirasi dari Langit, namun tidak semua yang ada pada diri Langit ada pada Cielo, kan? Lanitra belum mengenal Langit sebaik itu sehingga bisa menciptakan sebuah karakter yang sama persis dengannya. Novel Cielo sendiri merupakan sebuah n****+ semi fantasi, menceritakan tentang seorang pemilik kafe bernama Cielo yang humble, sama seperti Langit. Hanya saja yang membedakan mereka berdua, Cielo memiliki kemampuan untuk melihat potongan masa depan seseorang ketika dirinya menatap mata seseorang itu selama tiga detik. Kemampuan yang dimiliki oleh Cielo itu merupakan sebuah anugerah sekaligus kutukan baginya. Sebab, bukan hanya masa depan menyenangkan yang sering dia lihat. Tak jarang, ia juga melihat masa depan yang menyedihkan, bahkan mengerikan hingga bisa memberinya mimpi buruk. Potongan-potongan masa depan yang dilihat oleh Cielo berbentuk seperti sebuah adegan film yang diputar di otaknya. Dan Cielo tidak tahu kapan adegan yang dia lihat itu akan terjadi, bisa saja akan terjadi dalam waktu dekat atau dalam waktu yang sangat lama ke depannya. Kepada orang-orang yang masa depannya dia lihat, Cielo akan mengucapkan selamat jika yang dilihatnya adalah sesuatu yang baik. Namun, jika dilihatnya adalah sesuatu yang buruk, ia akan mengucapkan hati-hati. Hanya sebatas itu. Cielo tidak memberitahu apapun tentang apa yang terjadi, apalagi berusaha mengubah jalan takdir masa depan seseorang meskipun masa depan yang dilihatnya buruk. Suatu hari, Cielo bertemu dengan salah satu pelanggan di kafenya, seorang perempuan bernama Skyla. Ketika mereka bertatapan, potongan masa depan yang dilihatnya lewat sepasang mata berbinar Skyla yang cantik adalah dirinya sendiri dan perempuan itu, sebagai seorang pasangan yang saling mencintai, dan berbahagia. Cielo merasa terkejut waktu itu, merasa sedikit sangsi atas apa yang dilihatnya. Tapi kemudian masa depan itu terbukti, Cielo dan Skyla dengan mudahnya saling jatuh cinta dan menjalin suatu hubungan yang serius. Mereka benar-benar saling mencintai dan Cielo pun ingin menikahi Skyla. Namun, di hari ketika Cielo hendak melamar Skyla, tepatnya sebelum ia pergi untuk menemui gadis pujaannya itu, ia melihat sebuah potongan masa depannya sendiri saat sedang bercermin. Dan potongan masa depan yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, melainkan sesuatu yang sangat mengerikan. Karena di dalam potongan masa depan tersebut, Cielo melihat dirinya sendiri kehilangan Skyla untuk selamanya dengan cara yang bahkan membayangkannya saja membuat sekujur tubuhnya nyeri. Karena potongan masa depan yang dilihatnya itu, Cielo yang semula tidak ingin ikut campur dan tidak ingin melawan takdir, jadi melakukan sebaliknya. Itu semua semata karena ia tidak ingin kehilangan Skyla. Dan untuk mengubah takdir tersebut, Cielo rela melakukan apapun dan menyingkirkan siapapun yang terlibat atas terancamnya Skyla. Demi Skyla, Cielo berubah. But little did he know, he was actually the reason why he lost her. Jadi, dengan karakter Cielo yang seperti itu, bagian dari Cielo yang manakah yang membuat Langit teringat pada dirinya sendiri? "Menurut kamu?" Langit justru balas bertanya kepada Lanitra ketika pada akhirnya ia kembali membuka suara. "Karena Cielo owner kafe dan deskripsi fisiknya mengambarkan kamu?" Langit tertawa. "Deskripsi fisiknya yang tinggi berbahu tegap, tampan, dan punya senyum yang menawan?" "Hng..." Sial. Lanitra jadi salah tingkah lagi entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. "Do I look like that in your eyes, Lanitra?" Tanya Langit dengan senyum yang tertahan di bibir. Lanitra mengalihkan pandangan ketika menjawab cepat, "Nggak munafik, iya." Langit kembali tertawa. "Tapi bukan karena deskripsi fisik Cielo kok," ujarnya. "Karena hal lain." "Karena kamu juga punya rahasia?" Tebak Lanitra sekali lagi. Melihat ekspresi Langit yang sedikit berubah setelahnya, Lanitra yakin kalau tebakannya tadi benar. Namun, perubahan ekspresi Langit itu hanya sesaat. Kalau saja Lanitra tidak sedang memerhatikannya, mungkin ia akan melewatkan itu. "Everyone have their own secrets, Lanitra." Hanya itu jawaban yang diberikan oleh Langit kemudian. Laki-laki itu tidak mengiyakan namun tidak pula menyangkal. Lanitra paham kalau Langit tidak ingin bercerita lebih jauh dan Lanitra pun sadar diri kalau ia tidak punya kuasa apa-apa untuk mengetahuinya. Mereka kan baru kenal, memang belum waktunya saling berbagi kisah yang terlalu pribadi. Meskipun begitu, tetap saja Lanitra tidak bisa untuk tidak merasa penasaran. Di dalam kepalanya ia jadi bertanya-tanya, rahasia apa yang disimpan oleh Langit Dawana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN