Rey dan Melody adalah orang yang bisa kutanyai tentang Alex selama dia tinggal di luar negeri. Kedua orang itu tidak terlalu dekat denganku terlebih Melody pernah menjadi pesaing untuk mendapatkan hati seorang Alex Vergel.
Tidak banyak informasi yang kuingat tentang mereka. Beberapa kali kucoba mengingatnya kepalaku terasa pecah. Sudah kuputuskan untuk pergi mencari tahu sendiri. Berdiam diri di rumah membuat aku suntuk, terlebih tetangga baru yang lumayan berisik. Jujur dari awal berkenalan aku tidak menyukai wanita itu. Aku sendiri tidak mengerti mengapa perasaanku selalu gelisah saat menatapnya.
Berbeda dengan anak perempuan yang tinggal bersamanya. Kira-kira usianya 5-6 tahunan. Dia sangat polos dan lebih sopan dari ibunya. Anak itu selalu menurut apa yang Kristin katakan. Sebelum pergi aku melihat anak itu sedang membersihkan dedaunan di halaman rumah. Ia memungut satu per satu dedaunan kering lalu membuangnya ke ember kecil.
Aku menyapanya dan dia tersenyum lebar. Sangat cantik, perpaduan wajah Asia dan Eropa. Rambutnya sedikit pirang dan kulitnya putih bersih.
"Bibi mau pergi?" tanya Erika, nama gadis itu. Kami akhirnya berkenalan.
"Ya, aku ingin pergi sebentar. Kamu sendirian? Di mana ibumu?"
Aku melihat ke dalam tidak ada orang. Gadis kecil itu juga menatap ke rumah besarnya dengan wajah tertekuk. Aku khawatir Erika ditinggal sendiri di rumah.
"Dia di dalam sedang bersih-bersih. Bibi hati-hati di jalan, sepertinya akan hujan."
Aku mengangguk pelan lalu menyuruhnya masuk. Aku khawatir jika Erika pergi keluar tanpa izin dan tersesat. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada anak itu.
Mobil yang kukendarai berhenti tepat di depan gedung perkantoran. Aku harap Aline masih bekerja dengan Alex. Aku tidak tahu bagaimana wajah sahabat sekaligus mantan atasanku itu. Bahkan saat aku di rawat pun Aline tidak datang menjenguk.
Cukup lama aku menunggu sampai jam makan siang, Aline tak kunjung keluar. Terpaksa aku harus bertanya pada seseorang kalau ingin mendapat jawaban.
"Maaf, Ibu Ana, Ibu Aline sudah tidak bekerja di perusahaan ini lagi. Setelah menikah ibu Aline resign. Terakhir yang saya dengar, sekarang ibu Aline pindah ke Kalimantan bersama suaminya," ujar salah satu receptionis. Aku kecewa mendengarnya. Bayanganku saat perjalanan tadi bisa bertemu dengan Aline dan berbincang panjang lebar sampai jam makan siang berakhir.
"Ana?"
Seseorang memanggilku. Aku berbalik dan seketika dia memelukku. Aku tidak mengingat dia, tapi sepertinya kami cukup dekat, melihat dari reaksinya.
"Ana, lo udah sembuh? Ini gue Desi teman lo. Inget dong?"
Aku hanya diam menatap lekat Desi yang mulai menangis.
"Aku ingat kamu, Desi," jawabku. Aku mengingat namanya, tapi lupa dengan wajahnya. Kami akhirnya pergi mencari tempat untuk berbincang. Desi tahu tentang keadaanku yang koma beberapa bulan, tapi dia tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tentang amnesia atau apapun itu, dia tidak tahu.
"Udah lama banget kita gak ketemu."
Kami sedang duduk di warung kecil dekat kantor. Tempat ini jarang dikunjungi teman-teman kantor sehingga lebih bebas untuk kami bicara. Warung sederhana yang menyediakan nasi bungkus, kopi dan kudapan seadanya. Banyak pekerja kasar yang singgah ke tempat ini atau tukang ojek yang sekadar berteduh dari panasnya matahari sambil ngopi. Kami terlihat mencolok dengan penampilan rapi khas anak kantoran.
"Maaf, ya, Des aku gak ingat sama wajah kamu. Aku rada-rada lupa setelah keluar dari rumah sakit. Udah tua mungkin ya," ucapku sedikit bergurau. Dia tertawa kecil sembari melahap keripik ayam.
"Gak apa, gue paham kok. Lo pasti sibuk ngurus keluarga dan kesehatan lo sendiri. Lagi pula setelah Aline pergi kita jadi jarang ngumpul. Lo tahu sendiri Aline itu suka banget ngumpulin kita cuma buat dengar curhatan dia. Waktu dia pergi rasanya sebagian hidup gue hilang." Desi menghela napas dalam.
"Kalau dia masih di sini mungkin kita bakalan sering ngumpul." Desi meminum kopi susunya.
"Iya, kamu benar. Aline cewek yang cerewet, aku jadi kangen sama dia."
Kami bernostalgia mengingat masa lalu yang menurut aku cukup berwarna. Hal-hal konyol yang dulu kami lakukan membuat percakapan mengalir.
"Cuma gue yang belum nikah," ucap Desi sembari bersandar pada kursi kayu yang penuh coretan pena dan pemutih.
"Semoga kamu dapat calon suami yang baik. Menikah gak selamanya menyenangkan, kamu sabar saja kalau sudah waktunya pasti diberikan jalan."
Aku merasa seperti memberi nasihat pada diri sendiri. Desi kembali menegakkan badannya. Ia menatapku lekat.
"Lo dan Pak Alex baik-baik saja,'kan?" tanya Desi tiba-tiba.
Aku mengangguk pelan. Setidaknya kami tidak bertengakar walau semalam ia bersikap dingin. Desi langsung mengalihkan perhatiannya.
"Desi, sebenarnya Pak Alex itu sifatnya bagaimana setelah balik dari luar negeri?"
Desi mengerutkan dahinya, tidak langsung menjawab pertanyaanku.
"Maksud lo apa? Pak Alex itu suami lo seharusnya lo lebih tahu dari gue." Desi menggeser kursinya lebih dekat padaku.
"Ada gosip yang beredar kalau lo minta cerai sama Pak Alex sebelum kecelakaan, tapi itu masih gosip makanya gue tanya apa lo dan Pak Alex baik-baik aja? Sorry, bukan maksud gue ikut campur urusan pribadi lo, tapi lo itu teman gue jadi gue gak mau lo pendam penderitaan seorang diri, " katanya.
Tanganku terasa lemas mendengar ucapan Desi. Jika aku adalah istri Alex berarti Anthony adalah anakku. Kenapa Alex tidak jujur sejak awal? Dan kenapa aku ingin bercerai? Apa terjadi sesuatu di pernikahan kami?
Percakapan dalam mimpi itu kembali terngiang di telingaku. Aku mulai sadar bahwa percakapan itu terjadi antara aku dan Alex. Kami bertengkar hebat hingga kata perpisahan berulang kali terucap.
"Semua baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir. Cuma aku lagi butuh bantuan untuk cari kontanya Melody atau Rey. Data di ponselku hilang, bahkan nomor ponsel Aline juga," ucapku.
"Kenap Gak minta ke suami lo? Melody adiknya Pak Alex,'kan?"
"Iya, tapi aku rasa Alex tidak akan memberikan nomor mereka dengan cuma-cuma. Sulit untuk dijelaskan," ucapku.
Desi memeriksa ponsel, sepertinya jam istirahat sudah selesai. Ia mengeluarkan pena dan mengambil sehelai tissue.
"Ini nomor telepon gue. Kalau ada apa-apa lo bisa hubungi gue. Kalau nomor telepon Rey dan Melody gue gak punya, tapi nomor telepon Bian gue punya," ujarnya sebelum pamit kembali ke kantor.
Setelah berpisah dengan Desi kuputuskan untuk menjemput Anthony. Alex memberiku alamatnya setelah berdebat panjang karena dia belum mengizinkan aku beraktivitas di luar rumah. Terlebih dia melarangku mengendarai mobil. Seperti sebelumnya, Alex mengalah.
Anthony sangat bahagia melihat aku menjemputnya. Dia bahkan langsung minta digendong setelah jam sekolah berakhir.
"Mama, tadi Al sempat ngasi makan ikan di aquarium, tapi gak dibolehin sama ibu guru," ucapnya setelah duduk di mobil. Aku segera mengaitkan sabuk pengaman untuknya. Anthony tampak kesal sampai-sampai curhat padaku.
"Kenapa gak boleh?"
"Iya, kata Bu Guru ikan gak makan brokoli," jawabnya membuat aku termangu.
"Kamu kasi brokoli ke ikan?" Anthony mengangguk antusias.
"Biar ikannya sehat, soalnya seharian berendam di air. Al kalau berendam di air seharian besoknya langsung sakit," jawabnya dengan mimik polos.
Anakku terlalu kecil untuk itu semua. Kuusap rambut hitam lebatnya.
"Nanti mama kasi tau makanan kesukaam ikan, ya, sekarang kita pulang." Anthony bersorak gembira.
Hatiku benar-benar bahagia ketika tahu Anthony adalah anakku. Masalah penyebab aku ingin cerai dengan Alex memang masih menjadi pertanyaan, tapi itu tidak penting lagi. Mungkin ini rencana Tuhan untuk mempertahankan rumah tangga kami.
Kecelakaan yang membuat sebagian ingatanku hilang. Tuhan sangat baik menghilangkan memori yang mungkin menyakitkan untukku ingat. Aku tidak boleh menyianyiakan kesempatan untuk memperbaiki hubunganku dengan Alex.
"Ikan hidup di air. Bagi mereka air adalah udara dan tempat tinggal, sama seperti Al dan mama yang tinggal di sini. Ikan dan manusia itu berbeda, mereka punya insang untuk bernapas di air jadi mereka tidak akan sesak napas. Makanan mereka juga tidak sama dengan yang Al makan," ujarku setelah kami sampai di rumah.
"Oh, Al paham, Ma. Tapi ikan ada yang makan daging dan sayur,'kan, Ma?" Rasa ingin tahu Anthony cukup besar, aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku dan Alex benar-benar berpisah.
"Al pintar, ya. Kalau ikan pemakan daging namanya karnivora kalau pemakan sayur atau tumbuhan namanya herbivora. Ikan pemakan sayur punya usus lebih panjang dari ukuran tubuhnya, kalau yang makan daging punya usus lebih pendek dari ukuran tubuhnya. Al pahamkan?"
Anthony anak yang cepat belajar dan paham dengan penjelasan rumit sekali pun. Dia mewarisi kepolosanku, beruntungnya ia sama pintarnya dengan Alex, tapi Anthony lebih baik dari papanya. Anak itu sangat manja dan cerewet, mungkin karena itu Anthony lebih dekat denganku.
"Coba Al sebutkan 5 nama-nama ikan," ucapku seraya melepaskan sepatu dan kaos kakinya.
"Si Joni, Babo, Jilo, Jehan, Kola dan masih banyak lagi nama ikan di aquarium sekolah," jawabnya cepat sambil menghitung dengan jari. Aku terdiam sesaat meresapi pertanyaan dan jawaban anakku. Sepertinya ada salah pemahaman di sini.
"Bukan nama itu maksud mama, Sayang. Contohnya ikan lele, hiu dan lainnya."
"Kalau Al bisa jawab dapat apa?"
"Dapat sepeda," jawabku cepat sembari membuka kancing seragam sekolahnya.
"Al gak mau sepeda. Al mau punya adik. Teman-teman Al banyak yang punya adik baru, kenapa Al gak bisa punya adik?"
Tanganku berhenti bergerak di kancing terakhir. Tatapan Anthony membuat aku ikut sedih. Dia pasti ingin punya teman main di rumah.
Deru mesin mobil membuat perhatian kami teralihkan. Aku yakin itu Alex. Gerimis mulai turun, langit sudah gelap dan tidak butuh waktu lama hujan akan mengguyur.
"Papa sudah pulang?" teriak Al ketika kubuka pintu depan.
"Iya, papa kangen sama Al. Tadi papa gak sempat jemput makanya papa sempatkan pulang setelah rapat," ucapnya. Al merentangkan tangannya minta digendong. Alex mengangkat tubuh kecil itu lalu berjalan ke dapur.
"Kamu sudah makan siang?" tanyaku sembari menuangkan segelas jus untuk Alex yang kini duduk di kursi.
"Terima kasih. Papa sudah makan," jawabnya seraya menerima segelas jus yang kuberikan.
"Security bilang mama ke kantor papa,ya? Kenapa gak naik?" tanya Alex sembari meminumkan sisa jusnya pada Anthony. Alex sepertinya lupa untuk tidak memanggilku dengan sebutan mama, tapi itu bukan masalah lagi. Dia berhak memanggilku seperti itu.
"Iya, untuk bertemu kawan lama. Aku tidak sempat naik, takutnya ganggu," sahutku.
"Enggak kok, kalau buat mama gak akan mengganggu," balasnya membuat wajahku memanas. Alex menatapku lekat membuat jantungku berdebar kencang. Anthony segera turun dari pangkuan papanya lalu pergi ke kamar. Sisa kami berdua di dapur dengan suasana canggung dan juga malu.
"Anthony minta adik," ucapku membuat Alex membulatkan mata.
"Apa?" tanya Alex yang terlihat kaget. Seharusnya aku tidak mengucapkan keinginan anak itu. Alex pasti memikirkan hal-hal aneh tentang diriku.
"Lupkan saja." Aku bergegas pergi, tapi Alex dengan cepat meraih tanganku lalu mengangkat tubuh hingga aku duduk di atas meja makan. Kedua tangannya mengurung tubuhku. Jarak kami bergitu dekat, bahkan napasnya bisa kurasakan.
"Papa punya waktu kurang lebih satu jam sebelum berangkat ke kantor," bisik Alex dekat telingaku.