Ibu kota dengan segala permasalahannya, terutama kemacetan yang selalu menjadi masalah setiap orang, termasuk Zeline. Meskipun sudah mengetahui tentang semuanya, tetapi dia tak menyangka ternyata macetnya bisa sampai separah ini. Berbagai macam kendaraan seakan tumpah ruah di jalan yang sedang dia lewati.
Zeline yang mengenakan pakaian bebas, terjebak di antara ratusan kendaraan lainnya. Padahal dia menggunakan motor, bukan mobil seperti Pras, tetapi tetap saja dia terjebak macet. Sudah setengah jam, jika masih terus saja seperti ini dalam beberapa menit lagi maka pupuslah sudah harapannya untuk bisa memeriksa TKP untuk pertama kali tepat waktu.
Memang sudah beberapa tahun yang lalu, hanya saja terkadang para penyidik kecolongan. Bisa saja mereka ketinggalan beberapa barang yang tidak mereka anggap penting, padahal sebaliknya. Menurut pengalamannya bekerja selama ini, barang sekecil apa pun bisa dijadikan petunjuk.
Dia tidak meragukan keprofesionalan para petugas yang bekerja di kantor pusat, hanya saja mereka terkadang menyepelekannya. Beranggapan jika hal itu bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai barang bukti.
Zeline mendesah, kembali mengecek jam tangannya yang semakin bergulir ke arah kanan.. Haruskah dia menyalahkan para petugas yang mengatur laku lintas karena kinerja mereka yang kurang dipatuhi oleh para pengendara? Ataukah dia harus menyalahkan para pengendara yang tidak pernah patuh terhadap peraturan di jalan raya?
Jika semua mematuhi dan saling menghormati, tidak akan ada kemacetan yang sangat patah seperti ini. Masalahnya, para pengendara yang kebanyakan menggunakan kendaraan pribadi lebih seperti berlomba tanpa peduli dengan rambu lalu lintas dan t***k bengeknya. Sangat disayangkan memang, tetapi begitulah potret kehidupan nyaris seluruh ibu kota di dunia.
Sepuluh menit berlalu, dan kendaraannya masih di tempat semula. Zeline ingin menangis rasanya. Di tempat asalnya, tidak pernah dia terjebak macet seperti sekarang ini, dalam kurun waktu selama ini. Selang beberapa menit kemudian, motornya sudah dapat bergerak. Pelan, pelan, pelan, sampai akhirnya melaju dalam kecepatan normal berkendara.
Sebab sudah terlalu siang, Zeline mengurungkan niat untuk menuju TKP, dan memutuskan untuk mempelajari kasus dari berkas laporan tentang penculikan itu saja. Jika dia beruntung, dia akan mendapatkan sedikit barang bukti. Tak apa sedikit, asal dapat saja dan itu sudah cukup. Dia akan berusaha mengembangkannya perlahan, berdasarkan hasil yang ada.
Ketika tiba di markas, hari sudah sore. Zeline memarkirkan motornya di tempat parkir khusus roda dua para petugas, memasuki kantor dengan cepat. Dia akan meminta izin untuk pulang saja, dan mengerjakan semuanya di rumah. Sungguh, hari pertama bekerja di lapangan menjadi hari yang buruk karena kemacetan yang sangat merajalela.
"Capek banget!" keluh Zeline begitu memasuki ruangannya. Dia mendudukkan bokongnya di kursi kebesarannya yang berseberangan dengan kursi Buana. Kursi itu kosong. Apakah Buana masih belum kembali ke kantor juga?
Hari ini mereka berbagi tugas mendatangi dua buah tempat TKP yang berbeda. Zeline mendatangi lokasi penculikan dengan korban seorang perempuan, dan Buana dengan korban anak laki-laki. Sebenarnya, tugas itu adalah tugas Zeline, tetapi Buana mengatakan akan mengambil alih karena tempatnya yang lebih jauh dari tempat yang lainnya. Sementara Zeline ke tempat yang lebih dekat.
Dengan ramah Buana menawarkan, dengan senang hati Zeline menerimanya. Lagipula, selain lebih dekat, Zeline juga masih belum terlalu hafal jalan-jalan di ibu kota, dia takut tersesat. Meskipun menggunakan peta elektronik, tak jarang juga hasilnya salah. Dia tiba di kantor kembali dengan selamat merupakan sebuah keberuntungan yang sangat langka.
"Buana mana?" tanya Zeline pada satu-satunya manusia yang ada di ruangan itu, Prasetya.
Seingat Zeline, Prasetya tadi pagi juga keluar seperti dirinya dan Buana. Namun, pria itu sudah berada di ruangan mereka sekarang, duduk di balik mejanya sedang mengerjakan sesuatu.
Zeline nyaris membanting bolpen di atas mejanya melihat Pras yang mengabaikan pertanyaannya. Pria papan tripleks itu seolah tidak menganggap kehadirannya. Satu lagi, seharusnya Zeline tidak perlu heran kenapa Prasetya sudah duduk manis di kursinya lebih dulu dari mereka karena Pras adalah penduduk asli ini kota. Sudah pasti pria itu tahu di mana saja jalanan yang tidak macet.
"Kejebak macet kayaknya."
Zeline berjengit kaget mendengar suara datar itu. Ditatapnya Prasetya yang masih menatap layar PC yang menyala di depannya. Zeline tersenyum masam, Prasetya tadi menjawab pertanyaannya, 'kan, bukan berbicara pada layar PC-nya, 'kan?
Zeline menarik napas, mengembuskannya dengan sedikit kuat melalui rongga hidungnya. "Jadi, Buana juga belum balik?" Dia memutuskan untuk kembali bertanya setelah memaksa otaknya untuk berpikir bahwa Prasetya tadi memang menjawab pertanyaannya, bukan berbicara pada PC di atas meja kerjanya.
Prasetya melirik Zeline sekilas. Sungguh, rasanya sedikit aneh melihat ada orang lain di ruangannya setelah beberapa tahun lamanya ia selalu sendiri. Ia tak terbiasa mengobrol atau hanya sekedar berbicara untuk menjawab pertanyaan. Ia sudah terbiasa sendiri, dan rasanya sedikit aneh saja jika ada yang mengajaknya bicara.
Prasetya memundurkan kursi, bibirnya berkerut menatap Zeline. Ia bingung harus menjawab apa pertanyaan perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Padahal pertanyaan dan jawabannya sangat mudah, masalahnya adalah dirinya yang tidak terbiasa berinteraksi dengan rekan kerja di kantor. Ah, tidak, bukan rekan kerja, melainkan sesama petugas. Ia tidak memiliki rekan dalam bekerja, Zeline dan Buana adalah rekan kerjanya yang pertama.
Selama ini Prasetya sellau sendiri. Atasannya dan yang lain menganggapnya kuat untuk bekerja tanpa adanya seorang pun rekan. Sampai kasus penculikan massal yang sudah mengendap selama setahun lalu, dibuka kembali. Tiba-tiba saja ia diminta oleh atasan untuk menanganinya, dan untuk pertama kali ia diberikan dua orang rekan kerja membentuk satu tim.
Kasus penculikan massal setahun yang lalu tergolong rumit, sehingga sempat ditutup. Tak ada barang bukti membuat para petugas yang menangani kasus keteteran. Mereka menyerah, menurut mereka pelaku terlalu licin sampai-sampai tidak meninggalkan bukti sedikit pun.
Sebab kesulitan kasus, ia diberi dua orang rekan untuk membantu. Awalnya Prasetya sempat pesimis, tak yakin jika ia dapat berbaur dengan kedua rekannya. Namun, kemarin mereka mengobrol dan bercanda seperti layaknya orang-orang yang sudah lama saling mengenal. Meskipun obrolan mereka selalu didominasi oleh kedua rekan barunya yang benar-benar merupakan orang baru di kantornya.
Salah satu rekannya berasal dari.kesatuan yang berbeda, dipindahtugaskan ke kantor pusat di ibu kota karena kinerjanya yang sangat brilian. Sementara yang seorang lagi adalah petugas junior alias seorang tamtama yang belum memiliki pengalaman apa pun. Bahkan sepertinya untuk menembak pun, Buana masih belum sanggup.
"Saya nggak ngurusin Buana, Zeline." Prasetya berdeham sebelum melanjutkan. Ia memperbaiki duduknya agar tidak terlihat kaku. "Dia udah besar, lagian juga berasal dari sini, nggak mungkin lah kalo dia tersesat."
Zeline mengerutkan alisnya, kemudian mengangguk tak kentara. Prasetya benar, buana juga berasal dari ibu kota, tak mungkin pria itu tersesat. Dia terlalu mengkhawatirkannya saja, sampai-sampai menganggap Buana sama sepertinya yang berasal dari luar kota.
"Kamu nggak perlu khawatir sama dia. Daripada Buana, mending kamu khawatir diri kamu sendiri. 'Kan, yang dari luar kota itu kamu." Prasetya menasihati.
Zeline mengembuskan napas sekali lagi, lantas mengangguk. Apa yang dikatakan Prasetya memang benar, tetapi tetap saja dia khawatir karena Buana belum juga kembali, padahal sudah benar-benar sore. Dia saja sudah bersiap-siap untuk pulang.
"Kamu kalo mau pulang, ya, pulang aja, Ze. Biar saya aja yang nunggu Buana," kata Prasetya melihat Zeline sudah siap dengan tas ransel yang tergantung di bahu kanannya. Meja perempuan itu juga sudah rapi.
Sebenarnya, Prasetya juga khawatir pada Buana karena pria muda itu tidak menjawab saat dihubungi. Pesannya juga tidak dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Apakah benar Buana tersesat? Rasanya tidak mungkin, Buana pasti sudah mengenal rute yang ditempuhnya untuk pergi ke lokasi. Tidak mungkin TKP berubah banyak, apalagi itu adalah tempat umum.
"Beneran nggak apa-apa aku pulang sekarang, Pak?" tanya Zeline ragu. Alisnya berkerut kebingungan. Ingin pulang sekarang, tak enak dengan rekan kerjanya yang masih belum memberi kabar. Ingin menunggu, bagaimana jika Buana sampai malam baru tiba? Tempat kost tinggalnya berjarak lumayan jauh dari sini, dia khawatir jika bertemu orang jahat di jalan.
Meskipun petugas kepolisian, tetap saja dia merasa takut karena kalah jumlah. Menurut selentingan kabar yang terdengar, daerah tempat kost tinggalnya merupakan daerah yang lumayan rawan bahaya bila malam hari.
"Nggak apa-apa," jawab Prasetya. Ia juga membereskan mejanya. Hari ini mereka tidak kena tugas piket, hanya sampai sore saja. Berkas kasus yang belum selesai dipelajari akan dilanjutkan di rumah. "Besok kita lanjut lagi. Kalo nggak mau kena macet, kamu harus ngambil rute berbeda, atau pake sirine aja biar orang-orang pada minggir."
Sebenarnya Zeline ingin tertawa, tetapi ditahannya mati-matian karena wajah Prasetya yang tetap saja datar saat mengucapkan kalimat yang berisi candaan itu. Dia tak ingin membuat Pras tersinggung.
Zeline berdeham satu kali sebelum menanggapi. Dia mengangguk. "Kalo gitu, aku duluan pulang, Pak. Besok pagi kayaknya aku bakalan langsung ke TKP aja, moga masih ada barang bukti yang tertinggal biar kita nggak susah menyelidikinnya."
Prasetya mengangguk, mengantar kepulangan Zeline dengan tatapan matanya. Tak salah atasan mereka menempatkan perempuan itu di timnya, Zeline memiliki insting yang kuat. Bahkan dia percaya jika masih ada barang bukti yang tertinggal di tempat lokasi kejadian penculikan, yang bisa mereka gunakan untuk melacak pelaku.
***
"Kamu yang tutup kafe, saya pulang duluan!" perintah Alby pada pria yang dipercayakannya sebagai manajer kafe.
Sejak dapat kembali berhadir di kafe, Alby selalu pulang setiap sore. Tak pernah lewat dari pukul lima sore, seperti para pekerja kantoran. Bukan karena ingin seperti mereka, tetapi ia memang ingin lebih disiplin lagi kepada dirinya. Seperti pesan Mama, ia harus lebih banyak beristirahat, jangan terlalu banyak bekerja. Ia ingin menurutinya, agar pikirannya lebih jernih lagi.
Satu tahun dari hilangnya Jovanka yang disebabkan oleh penculikan beruntun, kabarnya kasus itu akan dibuka kembali setelah ditutup lebih dari setengah tahun yang lalu. Mungkin ada seorang yang berpengaruh ingin kembali membukanya, atau ada orang tua korban yang memaksa pihak berwajib untuk kembali mengusut kasus yang kemarin dibiarkan mengendap.
Alby meninggalkan kafe setelah sang manajer mengangguk. Ia melangkah gontai menuju tempat parkir yang terletak di samping kanan kafe. Selalu seperti ini, hari-harinya terlalu monoton. Seandainya Jovanka tidak kenapa-kenapa, tentu semuanya akan berbeda. Tentu ia akan lebih bersemangat lagi menjalani hari-harinya yang sudah pasti berwarna.
Jalanan masih terlalu ramai, cenderung padat, kemacetan terlihat di mana-mana. Pemandangan yang sudah sangat biasa bagi Alby karena setiap harinya selalu seperti ini. Baik pergi maupun pulang dari kafe, selalu saja ia terjebak macet.
Sebuah motor matic berhenti tepat di samping mobil Alby, pendengarannya seorang perempuan. Dia menutup kaca helm-nya, sehingga wajahnya tidak terlihat. Alby hanya memperhatikannya sekilas, ia tidak pernah peduli pada siapa pun, pada perempuan mana pun. Tidak ada satu pun dari mereka yang membuatnya tertarik, hanya Jovanka yang bisa menggetarkan hatinya.
Perempuan itu menoleh ke belakang saat mendengar suara klakson yang dibunyikan oleh pengendara lainnya. Dia membuka kaca helm-nya, mungkin untuk mempertajam penglihatannya. Beberapa detik kepalanya masih berputar enam puluh derajat ke arah belakang melalui samping kiri di mana mobil Alby berada, sehingga ia dapat melihat wajah perempuan itu.
Cantik, pikir Alby. Wajahnya yang tampa polesan memancarkan kecantikan alami. Perempuan ini dan Jovanka, memiliki kecantikan yang berbeda. Jika Jovanka akan terlihat lebih cantik bila wajahnya dirias, sementara perempuan ini lebih bersinar dengan kecantikan alaminya. Namun, entahlah. Ia masih belum melihat secara keseluruhan, bagaimana jika dia melepaskan helm yang menutupi rambutnya.
Perempuan itu kembali melihat ke arah depan, setelah tadi menatap mobilnya selama satu detik. Beberapa detik kemudian lampu hijau menyala, perempuan itu melakukan motornya lebih dulu bersama dengan motor lainnya. Entah kenapa, Alby merasa kosong. Baru kali ini ia menyesali kenapa tidak naik motor saja, atau menurunkan kaca jendela mobil untuk menyapa.
Alby merutuki dirinya sendiri yang membiarkan perempuan itu pergi begitu saja. Ia mengembuskan napas melalui mulut dengan sedikit keras, kemudian melajukan mobilnya setelah mobil di depannya mulai bergerak.
Pukul tujuh, mobil Alby baru memasuki garasi rumahnya. Inilah salah satu alasan ia kenapa selalu pulang sore hari karena akan tiba di rumah sesaat sebelum makan malam. Ia hanya tunggal mandi, kemudian makan malam sudah tersedia di ruang makan.
Namun, kali ini Alby memilih untuk tidak mandi, ia memutuskan untuk makana malam terlebih dahulu, mandi nanti setelah makan malam selesai dan ia akan tidur. Memang bukan kebiasaan yang baik, ia hanya melakukannya sesekali.
"Papa belum pulang, Ma?" tanya Alby begitu tiba di ruang makan. Mama sudah duduk manis di kursinya, tanpa Papa yang selalu duduk di kursi utama.
"Udah pulang dari tadi," sahut Mama. "Cuman lagi mandi aja, gerah katanya."
"Terus Mama mau makan duluan tanpa Papa, gitu?" tanya Alby dengan nada menuduh.
"Ya, nggak lah. Mama, 'kan, emang lagi nunggu Papa kamu ini," sahut Mama santai. Dia meraih gelas berisi air putih yang berada tepat di depannya, meminumnya sampai seperempat gelas. "Papa katanya ada yang mau diomongin sama kamu, By."
Alby menatap Mama dengan tatapan bertanya. Apa yang ingin dibicarakan Papa? Alby berharap, semoga saja ada hubungannya dengan kasus penculikan Jovanka.