Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, tetapi sayangnya awan mendung mulai menghalangi sinar matahari, hingga gelap mulai menyapa kota. Dyra yang tengah fokus pada pekerjaannya sesekali menoleh ke belakang untuk melihat suasana langit dari balik jendela ruangannya, lalu menghela napas perlahan-lahan.
Shika yang sudah lebih dulu selesai segera menggeser kursinya hingga mendekat pada kubikel Dyra, kemudian mencondongkan tubuhnya ke sisi kiri.
“Jadi gak?” tanya Shika.
Dyra menoleh sesaat lalu menghembuskan napas lelah. “Gue mau ambil hape dulu. Lo duluan aja!” sahut gadis itu dengan malas.
“Awas lo iya, kalau gak nyusul!” ancam Shika seraya menggeser kembali kursi yang di dudukinya ke tempat semula.
Wanita itu beranjak dari posisinya untuk menyusul Rayyan, Mutia, dan Putri yang sudah menunggu di pintu keluar, lalu melambaikan tangannya pada Dyra.
“Kita duluan iya, Dyr?” pamit Rayyan.
Dyra membalas lambaian tangan teman-temannya itu, diikuti seulas senyum hangat di wajahnya.
“Hati-hati.”
Seperginya Shika dan ketiga teman satu kantornya yang lain, Dyra segera menekan tombol control+s untuk menyimpan laporan yang baru ia selesaikan pada komputernya, lalu bergegas keluar dari ruang divisinya menuju pintu lift. Gadis itu menekan tombol panah ke atas dan menunggu beberapa saat, hingga akhirnya pintu lift pun terbuka.
Dyra menghela napas lega, saat melihat kapsul lift tersebut kosong, karena para karyawan lain sudah pergi untuk makan siang. Gadis itu segera memasukinya dan menekan tombol angka tujuh, menuju lantai di mana ruang manager berada.
Ting.
Dentingan yang menandakan lift sudah tiba di lantai yang dituju pun, berbunyi. Dyra yang sedang bergelut dengan pikirannya seketika terperanjat. Gadis itu menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat angka penunjuk lantai yang menyala, lalu kembali menatap ke depan tepat saat pintu lift terbuka. Entah kenapa, saat gadis itu akan melangkah keluar dari lift tiba-tiba jantungnya berpacu dengan cepat. Dyra mencoba mengontrol tarikan napasnya agar lebih tenang, lalu meyakinkan diri untuk mulai melangkah keluar, menuju ruang Manager yang berada tepat di ujung sisi kanan lorong yang terlihat begitu menyeramkan bagi Dyra.
Hingga tak begitu lama, gadis itu akhirnya tiba di depan ruangan tersebut. Dyra menghela napas dalam-dalam, sembari mengusap dadanya untuk menenangkan diri, lalu mulai mengetuk pintu yang menjulang tinggi di hadapannya.
“Masuk!” Perintah suara bariton yang terdengar sangat dingin, datar, dan menusuk, dari dalam ruangannya.
Dyra memutar kenop pintu tersebut, hingga pintu terbuka otomatis secara perlahan, dengan harapan segalanya tak akan dibuat sulit oleh Azeil. Gadis itu menatap sekeliling dan tak mendapati siapapun selain pria tampan dengan raut wajah yang datar, sedang duduk di kursi putarnya sembari menatap pada Dyra dengan tatapan tajam.
Dyra berusaha bersikap biasa dan membungkukkan tubuhnya, selayaknya seorang bawahan pada atasannya.
“Lo terlambat dua jam lebih lima menit, dari waktu yang udah gue tentuin!” ucap Azeil dengan penuh penekanan.
“Maaf, Pak Azeil. Pak Yoga meminta saya menyelesaikan laporan bulan ini secepatnya, dan harus saya serahkan paling lambat setelah makan siang,” sahut Dyra berusaha bersikap sopan kepada atasannya.
Pria itu beranjak dari posisinya lalu meraih ponsel dengan case bunga teratai yang ia taruh di atas mejanya. Azeil berjalan menghampiri Dyra yang masih menundukkan kepalanya, kemudian berdiri di depannya.
Drrrttt … Drrrttt ….
Suara getaran berulang dari ponsel yang berada di tangan Azeil, mengalihkan fokus Dyra. Gadis itu mengangkat wajahnya, dan malah membuat iris matanya dan mata Azeil saling bertemu. Tatapan tajam dan dingin yang Azeil berikan pada Dyra, persis seperti tatapan yang pria itu berikan saat meninggalkannya di tengah para siswa yang membully, membuat ia kembali teringat perlakuan Azeil dan teman-teman saat itu.
Dyra mencoba menahan sebisa mungkin, tetapi … perasaan yang menyakitkan itu terlalu membekas dalam hati dan pikirannya, hingga membuat Dyra seketika menutup kedua telinganya, dengan mata terpejam rapat.
“Hentikan! Aku mohon … jangan menatap aku seperti itu, Aze. Aku mohon,” gumamnya tak jelas.
Suara siswa-siswi yang membullynya kembali terngiang di telinganya, dan membuat gadis itu semakin ketakutan.
“Gak usah akting!” ucap Azeil, ketus.
Perlahan … gadis itu berjalan mundur untuk menjauh dari Azeil dengan posisi tangan yang masih tetap menutupi telinganya. Berulang kali kepalanya menggeleng, seperti sedang menolak sesuatu yang sedang bergelut dalam dirinya, hingga punggung gadis itu menabrak pada dinding ruangan tersebut dan tiba-tiba jatuh pingsan.
Azeil membelalakkan matanya dan segera berlari menghampiri mantan kekasihnya itu. Ia raih kepalanya lalu menggendongnya untuk ia baringkan di atas sofa ruangannya. Pria itu berusaha bersikap setenang mungkin dan mencoba menghubungi dokter jaga yang disediakan di unit kesehatan ShadowTech.
“Di ruang manager lantai tujuh, seorang karyawan wanita pingsan di ruanganku. Cepat ke mari!” Titah Azeil seraya memutuskan panggilannya.
Pria itu kembali menghampiri Dyra dan setengah berlutut di samping sofa tersebut. Ia tatap wajah gadis yang pernah ia cintai itu dalam-dalam, dengan rasa khawatir yang semakin menyeruak dari dalam dirinya. Hanya berselang beberapa menit, terdengar suara ketukan dari arah pintu ruangan tersebut. Pria itu segera bangkit dari posisinya dan mempersilahkan seseorang itu masuk.
Pria bersneli, dengan sebuah tas kecil berbentuk kotak di tangannya, berjalan masuk dengan tergesa-gesa, lalu berdiri di samping tubuh Dyra yang belum sadarkan diri. Pria itu adalah seorang Dokter umum, yang sengaja di tempatkan di unit kesehatan perusahaan, untuk keadaan darurat.
“Dyra?” gumam pria itu.
Azeil yang tak sengaja mendengar ucapan pria bersneli, bernama Lutfi itu, segera mendekat dan menatap wajahnya dengan tatapan menyelidik.
“Dokter mengenalnya?” tanya Azeil.
Lutfi melirik sesaat lalu mulai memeriksa keadaan Dyra dengan stetoskopnya, pria itu pun menyenter kedua mata gadis itu, mengecek tekanan darahnya, lalu menyuntikkan sebuah obat melalui intravenanya.
“Obat apa itu?” tanya Azeil.
“Obat penenang dengan dosis yang rendah,” sahut Lutfi.
“Kenapa Dokter memberinya obat penenang?” tanya Azeil lagi semakin penasaran.
“Karena bukan kali pertamanya, Dyra pingsan seperti ini di perusahaan,”
“Bisa Dokter jelaskan pada saya?” tanya Azeil menuntut.
“Menurut cerita dari Dhana, sudah tiga belas tahun ia mengidap gangguan psikosomatis. Keadaan tersebut bisa kembali terjadi ketika ada hal yang memicu pengaruhi emosi dan pikiran pengidapnya,” jelas Lutfi.
Aze yang mendengar penjelasan dari pria bersneli itu seketika terdiam. Segala pertanyaan dari dalam benaknya mulai menyeruak satu persatu ke dalam pikirannya.
‘Tiga belas tahun? Gangguan mental?’ tanyanya membatin.
“Gangguan psikis? Bagaimana bisa?” tanya Azeil mencoba mengorek sebuah informasi yang tidak ia ketahu tentang Dyra selama ini.
Lutfi menganggukkan kepalanya. “Iya, gangguan psikis atau gangguan mental, Menurut kabar yang saya dengar dari sahabatnya, keadaan ini terjadi ketika Dyra mendapat bullyan dari para perundung saat ia sekolah dahulu. Saya kurang tahu betul bagaimana itu bisa terjadi, yang jelas … ia akan seperti ini jika tekanan dalam batin dan pikirannya saling beradu,” tutur Lutfi.
Mata Azeil membulat sempurna mendengar penjelasan dari Lutfi. Ia sangat ingat betul kejadian yang menimpa Dyra ketika masih bersekolah dahulu, saat para teman-teman gadis itu dan juga teman-teman Azeil, melakukan hal-hal yang sangat kejam pada Dyra. Dari mulai perkataan yang mengejek hingga melemparkan sampah juga telur busuk pada gadis itu.
Azeil menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Pria itu bahkan tak menyangka, jika bullyan yang dialami Dyra saat masih sekolah dulu, akan membekas dan menjadi gangguan psikis untuk gadis itu hingga sekarang.
“Dyra ….” Gumamnya tertahan.
***