Satu Sosok Sahabat ~~

1146 Kata
Guyuran hujan yang cukup deras sore ini, membuat Dyra yang baru saja tiba di lobby gedung tersebut menghentikan langkahnya dan memilih duduk di kursi yang tersedia di sana. Mau tidak mau, gadis itu harus lebih lama lagi berdiam di kantor ShadowTech, menunggu hujan reda. Kilatan-kilatan cahaya yang diikuti suara petir yang saling bersahutan, membuat gadis itu cukup terkejut dan secara refleks menutup kedua telinganya. Tak begitu lama, seorang pria tampan berbadan tegap, mengenakan kemeja berwarna biru muda berpadu dasi putih dengan motif garis menyamping, baru saja keluar dari dalam lift dan berlari menghampiri Dyra dengan seulas senyum mengembang di wajahnya. “Gak usah maksain pulang! Di luar hujannya masih deras banget,” ujar pria tersebut seraya mengacak puncak kepala Dyra. “Gue mau tunggu sampe reda kok. Kerjaan lo udah selesai?” tanya Dyra. Pria itu duduk di samping Dyra seraya memberikan sekotak s**u strawberry kesukaan gadis itu. “Kerjaan gue masih numpuk. Kayanya … bakal lembur lagi hari ini,” jawabnya. Lelaki tampan itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, lalu meneguk minuman kaleng bersoda di tangannya. Dyra menganggukkan kepalanya. “Kak … gue ketemu Aze hari ini,” ujar Dyra tiba-tiba, sembari menusukkan sebuah sedotan pada kotak s**u yang diberikan sahabatnya. “Azeil? Ha,” tanya pria itu, mendengkus sebal. Dyra menganggukkan kepala lalu menyedot minumannya. “Di mana lo ketemu dia?” tanyanya lagi. “Di ruang Direktur Utama,” jawab Dyra melirih. Gadis itu menundukkan kepalanya. Tanpa sadar, air mata yang sejak tadi ia bendung, akhirnya luruh sudah di atas wajahnya. Tangan yang memegang kotak s**u itu seketika bergetar, seiring isakan tangis yang semakin pecah. “Kak Dhana, apa yang harus gue lakuin? Selama ini gue udah berhasil menghindar dari dia, selama ini gue juga udah berhasil mengubur segala kenangan menyakitkan tentang dia. Tapi kenapa … kenapa gue harus bertemu lagi sama dia? Gue merasa takdir benar-benar mempermainkan hidup gue, Kak!” cecar Dyra di sela isak tangisnya. Dhana yang mendengar keluh kesah sahabatnya itu hanya bisa menarik tubuh Dyra lalu memeluknya dengan erat. Sejak pertama kali mengenal Dyra tiga belas tahun yang lalu, Dhana sangat tahu bagaimana perjuangan gadis itu untuk melepaskan diri dari masalalu yang sangat menyakitkan. Bullyan dari teman-temannya saat itu, bahkan sangat membekas dalam hidup Dyra. Dhana pun tahu, bagaimana usaha Dyra untuk bangkit dan kembali ceria seperti biasa. Sosok Dhana lah, yang selalu hadir untuk membela Dyra di mana pun dan kapan pun gadis itu berada. Sejak putus dengan Azeil, Dyra menjauhi segala bentuk hubungan dengan lawan jenis, yang menyangkut dengan sebuah perasaan. Gadis itu memilih kebahagiaan dengan caranya sendiri, tanpa adanya sosok lelaki mana pun di sampingnya, kecuali Sadhana, seorang sahabat yang selalu ada untuknya, mendengarkan segala keluh kesahnya dan menjadi teman untuk membagi segala kisah hidupnya. Seperti sekarang, hanya pada bahu Dhana saja Dyra bisa melepas segala rasa sedih yang sejak pagi ia tahan. “Gue benci perasaan ini kembali, Kak. Gue benci banget sama Aze! Dan gue benci karena gue harus mencintai Aze! Gue benci segala hal tentang Aze,” gumam Dyra semakin melirih. *** Tetesan sisa air hujan terlihat masih berjatuhan di atas tanah. Seorang gadis yang mengenakan kaus oblong kebesaran berwarna putih, dan celana pendek hitam, kini tengah duduk di kursi kecil depan kamar sewanya, menyandarkan punggung dan kepalanya pada dinding, sembari menatap bunga teratai cantik, yang tumbuh dalam sebuah kolam ikan kecil di tengah-tengah taman. Angin dingin malam berhembus cukup kencang, menerpa wajah Dyra. Gadis itu menghela napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya untuk menikmati semilir segar dan menyejukkan. Bayangan wajah Azeil tiba-tiba kembali hadir dalam gelapnya pejaman mata, hingga setetes air mata tiba-tiba saja terjatuh dari kedua sudut mata Dyra. Trek. Suara pintu terbuka seketika mengalihkan pikiran Dyra. Gadis itu segera menghapus sisa-sisa air mata di sisi wajahnya, lalu menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita dengan pakaian tidur satin berjalan keluar menghampiri Dyra. “Lo belum tidur?” tanya wanita, bernama Adinda itu. “Belum,” sahut Dyra. Adinda tiba-tiba membungkukkan tubuhnya lalu tersenyum menatap Dyra. “Dari pada bengong, mending anter gue beli makanan di minimarket,” ajaknya. Dyra seketika tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Gue siap-siap dulu.” Gadis itu beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam kamar untuk mengambil sebuah sweater hoodie kebesaran berwarna ungu muda dan juga sebuah dompet kecil, beserta ponsel. Setelah selesai bersiap, Dyra kembali berjalan keluar dan mengaitkan lengannya pada lengan Adinda yang sudah menunggu di depan pintu kamar Dyra, mengenakan jaket kulit berwarna hitam. “Kalau Kak Dhana nanyain, bilang aja gue udah tidur!” bisik Dyra. Adinda menganggukkan kepalanya. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit berjalan kaki, keduanya sudah tiba di sebuah minimarket yang letaknya tepat di pinggiran jalan utama, yang saat itu sudah nampak lengang. Dyra mendorong pintu minimarket tersebut lalu mengambil keranjang belanjaan. Sedangkan Adinda, berjalan mengambil beberapa kaleng minuman soda, beberapa cemilan snack ringan juga roti keju dan memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan yang di bawa Dyra. “Dyr, snack kentang?” tanya Adinda. Dyra yang sedang mengambil beberapa rumput laut kering, seketika menoleh ke belakang lalu menganggukkan kepalanya. “Tiga!” ujarnya. Adinda pun mengambil tiga bungkus snack kentang berukuran besar dan memasukkannya ke dalam keranjang. Wanita itu berjalan menghampiri Dyra yang sedang memasukkan beberapa kotak s**u strawberry ke dalam keranjang lalu menggelengkan kepalanya. “s**u strawberry lagi?” tanya Adinda. Dyra menoleh lalu tersenyum lebar. “Stok di kulkas gue menipis, Nda!” Keduanya pun bergegas membawa barang belanjaan mereka menuju kasir, lalu menaruh keranjang yang dipenuhi makanan tersebut di atas meja, untuk di scan dan dihitung. Drrtt, Drrrtt. Terdengar suara getaran dari ponsel Dyra dalam saku sweater hoodienya. Gadis itu segera mengambilnya dan membuka notifikasi pesan masuk pada layar ponsel. Ketika sedang asyik membaca pesan masuk pada grup chat divisi analis, seorang pria tinggi mengenakan kaus polos hitam berpadu celana skinny berwarna putih tulang, tengah berdiri di samping Dyra, membawa lima kaleng bir dan tiga bungkus snack kentang yang ia taruh di atas meja kasir. “Dyr, lo ada uang receh gak?” tanya Adinda. Dyra menoleh sesaat pada Adinda lalu menganggukkan kepalanya. Gadis itu menaruh ponsel yang sedari tadi ia pegang di atas meja untuk sementara, lalu mengambil beberapa uang koin kemudian ia berikan pada Adinda. Dan tepat saat menoleh ke sisi lainnya, mata Dyra seketika membelalak. Sosok pria yang sangat tidak ingin Dyra temui, kini sedang berdiri di samping gadis itu dan menatap padanya dengan tatapan tajam. Saat itu juga kakinya terasa lemas, napasnya tertahan dengan kedua tangan terkepal erat. Tanpa banyak berbicara lagi, Dyra segera berjalan keluar dari minimarket terlebih dulu, disusul Adinda yang membawa dua plastik belanjaan besar di tangannya, dengan wajah merengut. “Dyra!! Lo tega iya ninggalin gue sendirian bawa belanjaan sebanyak ini!” gerutu Adinda. Dyra yang tak ingin menoleh ke belakang terus berjalan dan tak memperdulikan ocehan temannya itu. Sedangkan di lain tempat, Azeil seketika menyeringai melihat sikap Dyra yang sangat kentara untuk menghindar dari dirinya. Kasir minimarket tersebut memberikan satu kantung plastik belanjaan pada Azeil lalu mengambil sebuah kartu debit dari tangan pria tampan itu. Tatapan Azeil tiba-tiba jatuh pada sebuah ponsel dengan casing belakang bergambar bunga teratai, lalu mengambilnya. ‘Takdir kita belum berakhir, Dyra!’ gumamnya membatin. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN