Sebuah Pesan Dari Sang Ibu ~~

1242 Kata
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dyra yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya, segera mematikan komputer dan ipad, lalu menaruhnya di atas meja. Ia pun memasukkan beberapa barang yang ia bawa ke dalam tas, beserta ponsel miliknya, kemudian bangkit dari atas tempat duduknya. Shika yang melihat sikap tergesa-gesa dari Dyra, tiba-tiba menarik pergelangan tangan gadis itu, hingga Dyra yang hendak melangkah kembali berbalik ke belakang. "Lo mau ke mana?" tanya Shika penasaran. "Gue mau jenguk ibu di panti. Ah ... kalau Kak Dhana ke sini, bilang gue udah pulang," ujar Dyra sembari mencondongkan tubuhnya ke depan. Bukannya menatap Dyra, Shika justru menatap seseorang yang kini berdiri di belakang Dyra. "Shika! Denger gak sih?" tanya Dyra dengan kesal. Belum sempat Shika menjawab pertanyaan, Dyra yang sedang terburu-buru segera berbalik, dan tepat saat itu, tubuhnya bertabrakan dengan Dhana yang tengah berdiri di belakangnya dengan tangan bersidekap dan mata menatap tajam pada gadis itu. "Mau kemana?" tanya Dhana. "Lo dari kapan di sini?" Dyra yang sudah salah tingkah karena tertangkap basah, hanya bisa balik bertanya pada sahabatnya itu. "Malah balik tanya! Lo mau kemana? Mau pergi ke panti sendirian? Gak bisa! Gue tetep anter lo sampe sana," tanya Dhana mencecar. "Lo kan mau dinner sama Kak Metha. Lo harusnya siap-siap, bukannya anter gue ke panti, Kak!" protes Dyra. "Gue gak perlu siap-siap atau ganti baju. Gue bisa pergi dengan setelan kantor, ngapain repot ganti baju? Gue cuma dinner doang sama Metha, bukan mau married!" sergah Dhana. "Pak Dhana, mau nikah?" tanya Shika memotong perdebatan kedua sahabat itu. "Enggak! Kalau gue married, siapa yang bakal jagain Dyra?" sahut Dhana. "Kenapa lo gak nikahin Dyra aja?" Kini giliran Yoga yang bertanya dari belakang Dhana. Pria tampan yang baru saja menghentikan langkahnya saat melihat teman kuliahnya sedang berdebat, kini berjalan menghampiri Dhana. "Gak mungkin lah, Pak!" Protes Dyra. "Lo mau nikah sama gue?" tanya Dhana dengan wajah menggoda. "Gila lo, Kak! Nanya kaya gitu lagi, gue bener-bener pergi sendiri nih!" Ancam Dyra dengan mata mendelik tajam. Dhana seketika tergelak mendapat reaksi menggemaskan dari sahabatnya itu. Ia rangkul pundak Dyra, lalu mengacak puncak kepalanya. "Otak lo bener-bener kurang satu garis, Kak!" gumam Dyra dengan kesal. "Dhan, minggu depan acara reuni kampus, lo dateng kan?" tanya Yoga. Bukannya menjawab, Dhana memilih menoleh dan menatap Dyra. "Lo mau temenin gue gak, Dyr?" "Kok ngajak gue sih? Kak Metha kan udah pulang ke Indo, sama Kak Metha aja! Minggu depan gue sibuk, ngurusin bunga teratai," sahut Dyra sekenanya. Dhana menganggukkan kepalanya, lalu kembali melihat pada Yoga. "Gue gak ikut. Dyranya gak mau nganter," jawab Dhana. "Kebangetan kamu, Dyra!" gumam Yoga. "Kok saya yang jadi disalahkan sih, Pak?" Dyra mendelik dengan tajam pada Dhana, lalu melepaskan rangkulan pria itu dari bahunya. "Tau ah!! Kesel gue. Rayyan, gue nebeng motor lo aja," lanjut Dyra seraya berjalan beriringan dengan teman satu divisinya, keluar dari ruang tersebut. Yoga, Shika dan beberapa teman satu kantor Dyra hanya bisa menggelengkan kepala, melihat kejadian itu. Mereka sudah terbiasa mendengar pertengkaran Dhana dan Dyra di ruang divisi analis, dan mereka juga tahu, kedua sahabat itu akan kembali berbaikan dalam waktu beberapa jam kemudian. "Susul sana! Ngambek kan jadinya!" ujar Yoga seraya melangkahkan kakinya untuk keluar dari kantor, diikuti Dhana dari belakang yang hendak menyusul Dyra. *** Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam itu, kini berhenti tepat di pelataran parkir sebuah panti jompo. Dyra yang akhirnya menerima tawaran Dhana untuk mengantarnya, segera melepas lock safety belt dirinya, lalu menoleh pada Dhana. "Gue nemuin ibu dulu iya, Kak? Hati-hati di jalan. Kalau udah sampai, kabarin gue!" ucap Dyra. Dhana menganggukkan kepalanya, kemudian mengacak puncak kepala Dyra lagi. "Kalau udah selesai, kabarin iya? Nanti gue jemput!" "Gak usah, Kak. Gue pulang sendiri aja. Dah sana pergi! Kasihan Kak Metha, pasti nunggu." "Pokoknya ...." Dhana menekan tombol central lock hingga pintu sisi penumpang terbuka kuncinya. "... gue jemput lo jam sembilan," lanjut Dhana. "Gak usah!" sahut Dyra ketus sembari membuka pintu dan keluar dari dalam mobil. "Jangan pulang duluan!!" teriak Dhana sambil berlalu melajukan kendaraannya. Dyra yang sudah mulai berjalan tak menghiraukan teriakan sahabatnya itu dan memilih terus berjalan, memasuki gedung panti jompo. Beberapa perawat yang sudah mengenal Dyra satu persatu menyapa gadis itu dengan hangat, hingga akhirnya ia menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita berusia empat puluh delapan tahunan, berpakaian perawat berwarna putih, dengan rambut tercepol rapi, sedang tersenyum menatap ke arahnya. Dyra kembali melangkahkan kakinya lalu memeluk tubuh wanita paruh baya itu dengan hangat. "Sus, udah sehat?" tanya Dyra setengah berbisik. Perawat itu melepas pelukan mereka, lalu mengusap bahu Dyra. "Sudah jauh lebih baik," sahutnya. "Syukurlah. Dyra kaget banget pas denger kabar suster masuk rumah sakit," balas Dyra. Perawat itu hanya tersenyum dan menatap penuh kasih sayang pada Dyra. "Mau jenguk ibu?" tanyanya. Dyra menganggukkan kepalanya. "Dyra kangen sama ibu. Ibu di mana sekarang, Suster Lili?" "Ibumu baru saja selesai mandi sore. sekarang sedang berbaring di kamarnya. Dyra, kapan jadwal kontrol ibu?" tanya Lili tiba-tiba dengan raut wajah serius. Dyra yang awalnya nampak bahagia, seketika terdiam. Pertanyaan dari perawat yang selama ini mengurus ibunya itu, selalu menjadi hal yang paling ditakuti oleh gadis itu. Pasalnya ... setiap Lili menanyakan hal tersebut, itu tandanya ada sesuatu yang sudah terjadi selama beberapa hari ke belakang. Dyra menghela napas secara perlahan, lalu mulai mempersiapkan diri mendengar sesuatu yang akan disampaikan oleh Lili padanya. "Jadwal kontrol ibu masih minggu depan. Ada apa, Sus?" tanya Dyra. "Sudah dua hari ini, setiap malam ibu kamu demam, terus kejang. Apa itu termasuk efek dari kemoterapi kankernya?" tanya Lili. Dyra menggelengkan kepalanya, tidak tahu. "Kayanya ... Dyra bakal bawa ibu ke rumah sakit, besok." "Ya, saya hanya khawatir keadaan itu malah memperburuk penyakitnya," timpal Lili. Gadis itu berusaha bersikap tenang, lalu tersenyum hangat pada perawat di hadapannya. "Terima kasih atas bantuannya, Sus." Setelah berpamitan, Dyra pun segera berjalan menuju kamar sang ibu dengan perasaan tak menentu. Setibanya di depan pintu kayu berwarna coklat, Dyra tiba-tiba terdiam. Gadis itu mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu seraya menghapus air mata yang tiba-tiba saja terjatuh di atas wajahnya. Setelah merasa lebih tenang, Dyra memutar kenop pintu dan mendorongnya hingga terbuka. Seorang wanita paruh baya, berusia enam puluh tahunan, sedang berbaring sambil menonton sebuah acara televisi di hadapannya. Wanita itu tersenyum, ketika melihat putri semata wayangnya tiba, lalu berusaha bangkit dari posisinya. "Anak ibu kenapa nangis?" tanyanya. "Nangis? Siapa yang nangis, Bu?" tanya Dyra berpura-pura tak ada sesuatu yang terjadi. Gadis itu segera duduk di atas kursi yang disediakan, lalu menidurkan kepalanya di atas pangkuan sang ibu. "Dari kecil ... kamu kalau habis nangis, itu pipi kamu pasti merah," ucapnya. Wanita paruh baya yang bernama Rara itu, tiba-tiba menepuk wajah putrinya lalu mengusapnya dengan lembut. "Dyra cuma capek aja, Bu," gumam gadis itu sembari memejamkan matanya. "Maafin ibu iya, Sayang. Jika saja ibu tidak sering sakit-sakitan seperti sekarang, mungkin ibu bisa membantu meringankan beban kamu. Kamu juga ...." "Apaan sih ibu? Kok ngomong gitu?" potong Dyra. Gadis itu bangun dan menatap wajah ibunya dengan kesal. Melihat raut wajah putrinya yang kesal, membuat Rara seketika mengulas senyuman hangat di wajahnya. "Jika suatu saat nanti ibu tiada, jangan pernah menangis lagi. Jika suatu saat nanti ibu tiada, hiduplah menjadi seorang gadis yang kuat hatinya, lembut lisannya, hangat tangannya, dan berbahagialah. Ganti semua hari menyakitkan yang sudah kamu lewati selama ini, dengan sebuah senyuman," pesan Rara seraya beranjak dan memeluk tubuh putri kecilnya yang semakin dewasa. "Dyra pulang aja kalau ibu ngomong gitu lagi!" Ancam Dyra, walau dalam hati kecilnya iya berusaha untuk tidak menitikkan air matanya kembali. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN