Dua belas
Athar mengelus sayang puncak kepala Sabira yang tengah bersandar dengan lemas di depan d**a bidangnya.
Kedua manik hitam pekatnya menatap khawatir pada Sabira tanpa membuang tatapannya sedikit'pun di wajah pucat Sabira. Berbanding terbalik dengan perlakuannya pada Inne tadi.
Tidak ada raut lembut, hanya raut dingin, dan datar. Yang sengaja Athar pasang agar Inne takut, dan menurut padanya untuk tutup mulut tentang anak mereka. Demi Tuhan, walau mereka tidak menikah, dan bersatu, seluruh tanggungan hidup Inne, dan anaknya akan Athar tanggung. Itu sumpah, dan janji Athar.
Aku sungguh b******k! Umpat hati Athar di dalam sana.
Tapi, cukupkah hanya dengan uang? Huh! Tapi, Sabira adalah temanku yang saat ini sedang mengandung anakku. Wanita yang disukai oleh kedua orang tuaku. Bisik hati Athar bingung, dan bimbang di dalam sana.
Inne juga terlihat tidak muntah-muntah tadi. Sedangkan Sabira muntah, semua makanan yang di makan Sabira, Papa, dan mamanya pada saat jalan- jalan tadi sudah di muntahkan semua oleh Sabira, membuat Athar bergidik melihatnya.
"Athar...elus perutku."Ucap Sabira manja, membuat lamunan Athar tentang kelakuannya pada Inne buyar.
Dengan senyum hangat, Athar menaikkan sedikit baju kaos kebesaran yang di pakai Sabira, menampakkan perut Sabira yang sudah terlihat buncit, lebih buncit perut Sabira sedikit di banding Inne.
Ah, hati Athar langsung terasa hangat di dalam sana. Mulus, dan lembut. Itu yang dirasa Athar saat telapak tangan kekarnya menyentuh permukaan perut Sabira.
"Enakkan? Udah nggak mual lagi anak papi?"Ucap Athar, dan kedua tangannya sudah mengelus gemas perut Sabira.
Kepala, dan punggung Sabira sudah dibaringkan Sabira diatas paha Athar. Sabira tersenyum mendengar pertanyaan lembut Athar untuk calon anak mereka.
"Enak, Papi!"jawab Sabira lemah dengan meniru suara anak kecil.
Sabira tergolek lemah, membuat Athar cemas, dan kahwatir. Sabira yang mengidam, bukan dirinya.
"Inne..."bisik Athar pelan.
Ia tidak merasakan apa-apa? Apakah Inne yang mengidam. Athar memejamkan kedua matanya gusar, senyum hangat yang terbit di kedua bibir tebal kecoklatannya dalam sekejap telah lenyap.
Apakah Inne kapayahan seperti Sabira saat ini?
Mual, muntah, dan tak nafsu makan?
"Gimana dengan Inne? Aku takut untuk sekedar berpapasan dengannya lagi?"Sabira membuka suara.
Sekali lagi, lamunan Athar buyar tentang Inne.
"Kami sudah putus."jawab Athar dengan nada sedangnya.
"Kamu masih mencintainya."Ucap sabira dengan senyum masamnya.
Athar diam tidak menjawab.
Jelas, Athar masih mencintai Inne. Inne adalah gadis yang sudah menemaninya dalam suka, dan duka selama delapan tahun berlalu.
"Batalkan saja pernikahan kita, Athar. Kamu masih mencintainya. Aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak mencintaiku. Itu sangat menyakitkan. "Ucap Sabira dengan nada seriusnya.
"Aku memang masih mencintainya, dan saat ini aku akan belajar melupakannya, dan akan belajar mencintaimu. Mencintaimu sebagai kekasih, mencintaimu sebagai isteriku, mulai detik ini."Ucap Athar cepat.
Dengan tatapan yang menatap tajam kearah wajah cantik Sabira.
Shit! Ternyata Sabira sangat cantik. Lebih cantik dari Inne.
Kedua bibirnya tebal menggoda, dan tersapu oleh lipstik merah muda, kapan Sabira mengoles lipstik di bibirnya? Kan Sabira sudah membilas, dan mencuci wajahnya tadi.
Athar dengan pelan tapi pasti mendekatkan wajah pada wajah Sabira.
Berbisik lirih, tepat diatas kedua bibir Sabira yang terlihat membeku.
"Kamu cantik, kenapa aku tidak melihat hal ini sedari dulu? Inne manis. Tapi, kamu lebih cantik, dan menggoda."
"Aku ingin menciummu, bolehkan?"Bisik Athar parau.
Melupakan keberadaan Inne, dan anak yang di kandung Inne dalam sekejap.
Tanpa menjawab, Sabira langsung mencium bibir Athar.
Mama Athar yang mengintip di balik pilar besar dalam ruang keluarga rumahnya, tersenyum lebar dengan hati yang membuncah bahagia, dan mengabadikan moment itu dengan memofotonya berkali-kali. Romantis sekali anak dan calon menantunya!
Tbc
Dobel up mau? komen sini... hehehe