Bab 9

1986 Kata
"Makan siang." "Hah!" Cempaka terkaget saat suara bas magnetik terdengar di indera pendengarannya. Dia mendongak menatap ke arah pria yang berdiri di depannya. Cempaka tersenyum, dia berdiri. "Eh, Abang Akbar. Kebetulan atuh kita bertemu di sini." Akbar hanya mengangguk. Dia berbalik lalu masuk ke dalam mobil, Cempaka mengikuti, beberapa kali bertemu dengan 'Abang Akbar' membuat dia sudah mulai memahami kepribadian dari orang itu. Ah, setidaknya sudah hampir satu minggu mereka 'kebetulan bertemu'. Setelah Cempaka masuk ke dalam mobil, dia tersenyum ramah ke arah supir dan menyapa, "Halo, Pak Supir. Kita teh ketemu lagi, hehehe. Sering ketemu, yah?" Sang supir menyediakan senyum ramah profesional dan membalas, "Halo, Non Campak. Wah, iya, kita bertemu lagi." Sang supir menginjak gas dan mobil berjalan. "Sedang apa Non Campak di sini?" sang supir sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Cempaka yang beberapa kali satu mobil dengan sang majikan. "Campak teh baru abis antar makanan pesanan orang. Ah, mau promosi, restoran Campak namanya Amis Amis Asup," jawab Cempaka sekaligus promosi restoran miliknya. "Wah, saya kenal, kemarin Non Campak juga sudah promosi, restoran itu unik," sahut supir. "Hehehe, udah promosi ternyata." "Hu'um. Unik. Seunik orangnya-" ucapan antusias dari Cempaka terhenti karena didahului oleh bunyi kentutnya yang unik. Pruuk! "...." Sang supir meresleting bibirnya, jangan sampai suara tawanya keluar. Bertemu dengan Cempaka beberapa kali, dia sudah lumayan tahu kebiasaan Cempaka. Cempaka memandang kikuk ke arah supir dan Akbar yang hanya memandang lurus ke depan. Cempaka mengendus-endus bau di sekitarnya, bau kentut telur balado. Selain itu, tadi pagi dia juga minum s**u, jadi ada aroma s**u …. Busuk. Dia melirik ke arah Akbar yang sedang menekan layar ponsel. Lalu Akbar memasukkan ponselnya ke saku jas coklat mahal yang dipakai. "Bau harum, yah." Suara Cempaka terdengar setelah beberapa menit dia diam. "Hehehe, telur balado yang saya makan teh tidak ada bau, ehm!" Cempaka membersihkan tenggorokannya, dia melirik ke arah Akbar lalu terkekeh. "Abang Akbar teh tadi pagi makan apa?" tanya Cempaka, dia merasa bahwa sangat sulit untuk diam. Mulutnya yang sudah terbiasa mengunyah kata-kata itu tidak bisa puasa. "Roti bakar." "Wah, roti bakar teh enak itu. Sekali-sekali Campak teh mau coba makan roti bakar selai stroberi ah, ala-ala orang luar, hehehehe," balas Cempaka atas jawaban singkat dari Akbar. Sunyi. "Ehm, selainya apa, Bang?" tanya Cempaka lagi setelah beberapa detik sunyi. "Nutolla." Jawaban yang sangat singkat dari Akbar. "Oalah, Nutolla. Mahal itu, tapi enak hehehehe. Campak teh tidak bisa terlalu banyak makan coklat, gigi Campak berlubang, jadi sakit. Beberapa hari yang lalu Campak makan Bong-bong, rasanya coklat campur karamel, enak sih, tapi pas tidur lupa sikat gigi, nah sakit semalaman. Pas Campak senter dengan senter hp, coklatnya nempel di dalam lubang. Sakit euy." Cempaka terlihat ngeri dengan apa yang dialami beberapa hari yang lalu. "Abang Akbar teh tidak sakit gigi?" tanya Cempaka. "Tidak," jawab Akbar. "Oh, tidak ada gigi berlubang begitu?" Cempaka melirik antusias ke arah Akbar. "Tidak ada," jawab Akbar. "Wah, apa dari hasil perawatan gigi?" tanya Cempaka ingin tahu. "Tidak," jawab Akbar. "Oh? lalu kok bisa tidak ada gigi berlubang?" tanya Cempaka. "Rajin sikat gigi," jawab Akbar. "Wah, pantas saja, napas Abang Akbar teh mau mint. Hehehehe, enak dicium atuh, huumm." Cempaka malah menghirup bau napas di sekitar mulut Akbar. Supir, "...." Akbar, "...." Hanya Cempaka yang bercerita ini dan itu di sepanjang perjalanan. "Abang Akbar teh minum obat kumur-kumur apa sampai nafasnya bau harum?" tanya Cempaka. "Listrone." Jawaban Akbar yang sangat singkat. "Oalah, Listrone toh, Campak kira teh listrik. Eh? listrik? Abang Akbar kumur-kumur dengan listrik? hahahaha! bisa jadi lidahnya masak hitam-hitam terbakar arus listrik, hehehe." Cempaka malah terkekeh. Supir, "...." Nona, saya merasa bulu kuduk saya merinding. Akbar, "...." *** "Restoran Arcis test lagi, wah! restoran yang kemarin-kemarin." Cempaka tersenyum lebar ke arah pelayan yang sedang membawa makanan. Kali ini steak yang dibawa. "Ya ampun, eleuh-eleuh, enaknya daging yang dipanggang." Pelayan hanya memberi hormat dengan cara sedikit menunduk lalu pergi keluar dari bilik pribadi restoran. Akbar mulai memotong steak yang berada di depannya, sementara itu Cempaka mengambil ponsel lalu memotret bentuk indah steak itu lalu berkata, "Simpan sebagai referensi gambar, siapa tahu nanti Campak bisa buat makanan steak ini, enak dilihat, sepertinya enak dirasa juga." Setelah selesai mengambil gambar, dia mengambil garpu dan pisau, bersiap untuk memotong steak. Sret. Suara piring didorong. "Hum?" Cempaka melihat ke arah Akbar. Rupanya pria 34 tahun itu menukarkan piring steak yang telah dipotong dengan piring steak milik Cempaka yang masih utuh belum disentuh. Melihat apa yang dilakukan oleh Akbar, Cempaka mengerti, dia tersenyum. "Eleuh-eleuh, Abang Akbar teh baik banget. Terima kasih, tahu saja kalau Campak teh sudah lapar." Cempaka langsung menusuk steak itu lalu makan. "Hum, enak euy. Raos pisan." (Enak sekali, dalam bahasa Sunda halus.) Akbar selesai memotong steak, dia menusuk potongan daging lalu hendak dimasukkan ke dalam mulut. Boook bok bok! "Uh!" Cempaka mengeluh sakit tiba-tiba setelah tiga bunyi terdengar. Akbar yang terlanjur memasukkan potongan daging ke dalam mulut melihat ke arah Cempaka yang memegang perut. Wajah Cempaka terlihat menahan sakit sambil mengunyah. "Ada apa?" tanya Akbar, daging yang telah dia masukkan di dalam mulut masih ada. "Toilet di mana-" tanya Cempaka yang didahului oleh kentutnya. Prook! Wajah Akbar berubah serius setelah melihat butiran keringat yang keluar dari dahi dan pelipis Cempaka. "Di sebelah ujung kanan ruangan ini," jawab Akbar. Cempaka berdiri sambil memegangi perutnya. "Ke toilet dulu, yah." Dia cepat-cepat keluar dari dalam bilik privat restoran. Akbar hanya melihat Cempaka berlari *terbirit-b***t keluar dari ruang privat. Lalu dia melihat steak yang dimakan oleh Cempaka, masih ada banyak potongan steak yang tersisa. Sepuluh menit kemudian. Akbar merogoh ponsel lalu membuka layar, dia memeriksa rekaman cctv restoran yang terkoneksi dengan ponselnya. Rekaman di sekitar pintu luar toilet wanita, sepuluh menit lalu Cempaka masuk dan belum keluar. Akbar memutuskan untuk menunggu lagi, mungkin sebentar lagi Cempaka akan keluar, siapa tahu saja ada hal penting atau memang sangat penting di dalam toilet. Sepuluh menit kemudian. Akbar memutuskan untuk berdiri, dia tidak lagi melanjutkan makan. Dia berjalan keluar dari dalam bilik privat. *** 'Bagaimana hubungan kamu dengan Akbar?' suara ini terdengar melalui panggilan telepon. "Ya, begitulah, Pa. Dia cuek-cuek, diam terus." Suara Anita menjawab pertanyaan sang ayah. "Dia sudah umur tiga puluh empat tahun dan kamu sudah umur dua puluh delapan tahun, kurang matang apalagi kalian? kalian juga besar bersama, masih menunggu apa lagi?" suara tua paruh baya dari seberang menuntut. "Pa, Anita ini mau saja, tapi Anita nggak bisa maksa Akbar. Dia diam saja, tidak mau lirik Anita. Anita bawa berkas penting saja harus lewat dua sekretarisnya, di kantor dia jarang datang, di rumah Anita nggak bisa bebas ke rumahnya. Papa tahu dia, kan? pergi ke kantor semaunya, tidak menentu datang ke kantor kapan-" Suara Anita terhenti ketika dia melihat Akbar memasuki toilet di mana dia masuki. "Akbar." Anita mematung, dia tidak menyangka bahwa pria yang dia bicarakan tiba-tiba muncul di depannya. Akbar melihat ke arah Anita, ada bawahannya. Poop poop poop! "Aaahh! aaduuhh!" terdengar suara aduhan sakit dari salah satu bilik toilet setelah bunyi kentut terdengar. Akbar melirik ke arah bilik itu. Buusshh! Bunyi air. Tak lama kemudian pintu toilet terbuka, terlihat wajah pucat Cempaka sambil memegang perut. Cempaka membuang pandangan ke arah dua orang beda gender yang sedang melihat ke arahnya. Mata Cempaka memerah ke arah Akbar. "Abang Akbar … Campak mencret-mencret …." suara pilu terdengar. "Ke rumah sakit," ujar Akbar. Akbar meraih tangan Cempaka keluar dari toilet, masih terdengar suara aduhan sakit dari gadis 24 tahun itu. "Makan telur balado level seratus …." "Eek-nya mencret tapi mampet juga nggak mau turun …," keluh Cempaka. Anita mematung melihat dua orang itu pergi, Akbar terlihat merangkul Cempaka yang mengaduh ekstra kesakitan di perut lalu dia mendengar suara. Pup! brook! "Ah! Abang! Campak mencret!" *** Di sinilah Anita berada. Di rumah sakit Mitra ArchieBigJen Enterprise. Dia melihat ke arah gadis yang tidak dikenali memakai kain sarung sambil menutup mata. Jarum dan selang infus terpasang di tangan kanannya. Lalu Anita melirik ke arah luar, di mana Akbar berbicara dengan dokter senior laki-laki sekaligus direktur rumah sakit atau mungkin hanya direktur itu yang berbicara saja ke arah Akbar. Setelah beberapa saat, Akbar masuk ke ruang rawat yang ditempati oleh Campak. Gadis itu mengalami diare sedang ke arah akut. Akbar melihat ke arah Anita yang sedang duduk. "Ini … kamu tidak punya adik dan … setahu aku, dia tidak ada dalam daftar keluarga." Anita membuka suara ke arah Akbar. Akbar meraih ponsel lalu menekan layar. Drt drt. Bunyi terdengar dari tas selempang Anita. Anita merogoh ponselnya. 'Contoh presentasi hasil keuangan untuk pertemuan tiga minggu lagi, besok lewat sekretaris Sandi.' Wajah Anita berubah lain ketika dia membaca isi pesan pengingat yang diaktifkan oleh Akbar. Itu tandanya, Akbar alias bos besar ArchieBigJen Enterprise ini tidak ingin berbicara apapun dengan siapapun. Anita memegang ponsel lalu melihat ke arah Akbar. "Akan aku kerjakan nanti malam, sekarang-" Wajah Akbar terlihat datar ke arah Anita. "Baik, aku pergi." Anita memutuskan untuk mengundurkan diri. Dia berjalan keluar dari ruang rawat, suara Cempaka terdengar. "Aduuh …," suara serak terdengar. Cempaka membuka mata, dia melihat ke arah Akbar yang sedang berdiri menatapnya dengan pandangan sulit yang diartikan. "Kamu makan berapa piring telur balado pedas dan minum s**u berapa gelas?" pertanyaan Akbar terdengar. Anita terkaget saat mendengar kalimat yang cukup panjang keluar dari mulut Akbar pada orang yang 'tidak dikenal'. Tak biasanya Akbar bicara dengan orang secara langsung di luar pekerjaannya yang sebagai bos. Ini bicara dengan orang yang bahkan tidak Anita kenal sama sekali. "Huum … dua piring … cabe rawit seratus lima puluh buah … segelas-" jawab Cempaka yang lagi-lagi didahului oleh kentutnya. Prook! "Ooh! mencret!" seru Cempaka. Cempaka buru-buru turun dari ranjang rumah sakit lalu hendak berlari ke arah kamar mandi, Akbar dengan cepat menarik tiang infus agar jarum infus tidak tercabut dari vena Cempaka. Cempaka yang sadar cepat-cepat meraih tiang infus dari Akbar lalu masuk ke toilet dan …. Brruuuk! brook! Pup pup! bok bok bok! "Aaaduuh! adduhh! addduuhh!" Suara aduhan sakit terdengar dari dalam kamar mandi. *** "Si Campak pake acara sakit segala sih, Mas. Berarti hari ini nggak ada duit yang masuk dong." Dahlia mencibir sambil berjalan di koridor rumah sakit. "Jangan banyak bicara, mending doakan Campak baik-baik saja supaya kamu juga bisa minta uang," tukas Marsudi kesal. Dahlia menutup mulut. "Rumah sakit swasta, besar sekali. Mewah juga. Si Campak kenapa masuk rumah sakit ini? uangnya nanti habis buat bayar biaya," keluh Marsudi. Saat melihat nama ruang dan nomor kamar yang merupakan tempat dirawat sang keponakan, Marsudi dan Dahlia masuk. "Campak, pindah gih ke rumah sakit daerah saja. Ada kartu asuransi yang tiap bulan kamu bayarkan, jangan di sini-" Marsudi berhenti bicara saat melihat dokter sedang menyuntikkan sesuatu ke lengan Campak. Lalu Marsudi melihat ke arah seorang pria yang tidak dikenali, pria itu duduk di kursi tak jauh dari Campak sambil melihat keponakan perempuannya, dia duduk sambil memegang sesuatu yaitu obat. Campak menoleh ke arah suara. "Mang, Campak teh lemes, mencret-mencret …." Marsudi dan Dahlia melihat pakaian dan sepatu yang dipakai oleh Akbar. Mata Marsudi terlihat melotot. Apalagi dia melihat jam tangan mahal. "Mang … Campak teh sakit …," ujar Cempaka. Akbar melirik ke arah sepasang manusia paruh baya. Sadar bahwa Akbar melihat ke arah mereka, Marsudi dan Dahlia tersenyum lalu melirik ke arah Cempaka yang sedang mengaduh sakit ke arah Marsudi. "Kamu makan apa?" tanya Marsudi, dia duduk di pinggir sang ponakan. "Telur balado ekstra pedas level seratus …," jawab Cempaka. Marsudi melirik ke arah dokter yang baru saja mencabut jarum suntik. Dokter tersenyum ke arah Marsudi. Marsudi membalas. "Dokter." Dokter mengangguk. "Ini anak Anda?" "Y-ya! ya, ini anak perempuan saya," jawab Marsudi. Cempaka hanya diam. Dia lesu karena sakit. "Istirahat satu atau dua hari, jangan makan sambal atau pedas terlalu banyak," ujar dokter. "Ah, begitu." Marsudi manggut-manggut. Dokter melihat ke arah Akbar. "Mari Pak Akbar, saya keluar." Akbar mengangguk pelan. Dokter perempuan berusia 40 tahun itu berjalan keluar dari ruang rawat. Dia sendiri yang turun tangan untuk mengobati pasien ini. Marsudi melirik ke arah Akbar, dia membersihkan tenggorokannya. "Uhum, ini pacar Campak, yah?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN