Episode 2

1961 Kata
Arsen kini tengah sarapan di rumah Nataya. Nataya tersenyum geli melihat Arsen terlihat nafsu sekali memakan makanan yang Nataya masak. Arsen melirik Nataya saat kekasihnya itu senyum-senyum melihatnya, "Kamu kenapa ngeliatin aku kek gitu?" "Seneng aja liat kamu nafsu makan." "Daripada nafsu sama yang lain, bisa bahaya." Ucap Arsen mengedipkan salah satu matanya. Ucapan Arsen sukses membuat lengannya terkena pukulan kekasihnya,"Mesum." Arsen tertawa, dia kembali melanjutkan makan. Nataya menjadikan tangannya untuk menopang dagunya menatap Arsen, "Kamu kenapa si, akhir-akhir ini pengennya sarapan disini terus, makan malam juga sekarang kamu pengen aku yang masakin, padahal di rumah kamu makanannya lebih enak-enak lho dari pada disini." Terhitung sudah hampir dua minggu, Arsen tidak mau sarapan di rumah, makan malam juga, dia lebih memilih sarapan dan makan malam di rumah Nataya. Nataya tidak tau kenapa karena setiap kali dia bertanya, Arsen selalu menjawab 'Lagi bosen aja sama makanan di rumah', entah itu benar atau tidak Nataya tidak tau. "Nggak papa, mending kita berangkat sekarang." Arsen mengelap bibirnya menggunakan tisu lalu berlalu lebih dulu keluar. Nataya menghela nafas, percuma saja menanyakan hal yang sama karena Nataya selalu tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti dari Arsen. Kini mereka sudah sampai di kantor, Arsen pergi ke ruangannya, begitupun dengan Nataya. Arsen yang menjabat sebagai kepala di bagian pemasaran, sedangkan Nataya sebagai karyawan biasa yang juga bekerja di bagian pemasaran. Ruangan mereka hanya dibatasi dengan pintu dan dinding kaca. Beberapa menit kemudian, Shiren datang, Nataya tersenyum padanya namun perempuan itu tidak menanggapinya dan menatapnya sinis, Shiren langsung masuk ke ruangan Arsen. Fyi, Shiren itu salah satu anggota keluarga Pahlevi yang tidak menyukai Nataya. Karena Nataya tau, Shiren juga menyukai Arsen. "Kak Arsen?" "Shiren?" Shiren duduk di kursi depan Arsen, "Kak Arsen kenapa tadi kakak nggak mau sarapan bareng sama kita? Aku tadi nyariin kakak, tapi katanya kakak udah pergi." "Maaf kalo kakak nggak bisa sarapan bareng kalian, soalnya kakak sarapan di rumah Nataya." "Tapi kakak juga sering makan malam di rumah Nataya. Emangnya kak Arsen nggak ngerasa ngerepotin Nataya?" Shiren kesal karena Arsen lebih memilih sarapan di rumah Nataya. Sudah hampir dua minggu Arsen melakukan itu. Shiren tau Arsen sedang bertengkar dengan ayahnya, Arsen selalu saja menghindar dari ayahnya. Tapi bukan berarti Arsen ke rumah Nataya, Shiren tidak suka. Arsen mengangguk pelan, dia sebenarnya juga merasa sudah sering merepotkan Nataya. Tapi hanya Nataya yang membuat Arsen merasa lebih baik. Membuat Arsen sedikit melupakan masalahnya di rumah. "Kakak tau, tapi kakak nggak punya pilihan lain untuk sekarang. Kamu tau hubungan kakak sama papa lagi nggak baik." "Aku harap kakak nggak marah lagi sama Om Richard, jadi kita bisa berkumpul lagi." Shiren itu adik dari Indira, Ibu Arsen. Shiren menyukai Arsen, karena Shiren tau Arsen bukan anak kandung kakaknya. Arsen hanya anak adopsi, itu sebabnya Shiren tidak sungkan menunjukkan rasa sukanya pada Arsen. "Hem, apa kamu ada perlu sama kakak?" "Nggak ada, aku cuma mau bilamg itu aja kok." Arsen mengangguk, saat Shiren sudah setengah jalan, Arsen berkata, "Ah ya, kalau kamu keluar, tolong panggilkan Nataya ya?" Shiren tersenyum tipis, saat dia sudah keluar dari ruangan Arsen, dia menunjukkan wajah tidak sukanya pada Nataya, "Arsen nyuruh kamu ke ruangannya." Nataya mengangguk, dia lalu melakukan apa yang Shiren katakan. "Kamu kenapa panggil aku?" Arsen berdiri dan berganti duduk di sofa panjang. Arsen memijat pelipisnya, "Aku mau jujur sama kamu soal kenapa aku akhir-akhir ini aku nggak betah berada di rumah." Nataya ikut duduk di samping Arsen, sepertinya Arsen memang sedang ada masalah dengan keluarganya. "Ar, kalo kamu ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku. Aku nggak mau kamu nyimpen masalah sendirian." Nataya berkata lembut. "Aku bertengkar sama papa, masalah yang sama. Udah 15 tahun, papa seperti ini, aku udah nggak bisa menahan semuanya." Nataya mengusap punggung Arsen. Apa yang Arsen alami selama ini memang begitu sulit. Hanya Nataya yang tau semua masalah Arsen. "Papa kamu mungkin punya maksud tertentu Ar, kamu harus bisa menahan nya, demi mama kamu juga." "Aku minta maaf karena selama ini udah ngerepotin kamu." Nataya menggeleng, dia bahkan merasa tidak direpotkan, "Kapan pun kamu butuh aku, aku selalu ada buat kamu Ar." Arsen mencium kening Nataya, bersama dengan Nataya, seakan dia melupakan segalanya. ****** Setelah menyelesaikan hukumannya, Sina pergi ke kantin. Hukuman dari Ibu Mayang benar-benar membuat Sina mati kelaparan. Ya, saat Ibu Mayang memeriksa Sina, Sina justru enak-enakan duduk di bawah pohon sambil senyum-senyum melihat anak laki-laki bermain sepak bola. Maka dari itu, Ibu Mayang menambah hukuman Sina untuk membersihkan toilet. Sudah siang, Sina baru selesai menjalani hukumannya. Sina berjalan ke kantin dengan keadaan lemas seperti tidak berdaya. Sina duduk lalu memesan makanan. "Bu, soto ayam sama es teh satu!" Sina berteriak. "Siap!" Ucap Ibu kantin. Sina meletakkan kepalanya di atas meja, nafasnya ngos-ngosan. Matanya terpejam menikmati angin yang menerpa tubuhnya, segar sekali... Bruk! Tiba-tiba tubuhnya tersentak saat seseorang seperti menggebrak mejanya. Sina menegakkan tubuhnya, melihat siapa yang sudah berani mengganggunya. "Oih Alma, lo itu ganggu sumpah, kirain siapa." Sina menghembuskan nafas, lalu bersandar ke belakang. "Gimana? Enak nggak dihukum?" Ucap Alma menyindir Sina. Sina memutar bola matanya malas, tidak ada hukuman yang enak bagi Sina. Tapi hukuman kali ini ada senangnya juga karena puas melihat Sam bermain sepak bola dengan penuh semangat. "Tadi pas gue di hukum, gue liat Sam main sepak bola keren banget. Waktu Sam udah berhasil masukin bola ke gawang, dia lepas bajunya, terus dia lempar. Dan lo tau, baju dia kelempar ke muka gue. Oh my good, itu bajunya walaupun kena keringet tetep aja bau wangi wey!" Sina heboh sendiri membayangkan saat itu terjadi, benar-benar satu momen yang sangat langka. Mungkin memang Tuhan sudah mentakdirkan Sina untuk dihukum supaya Sina bisa melihat Samudera bermain sepak bola dan bisa merasakan baju olahraga Samudera terbang, lalu menempel di wajahnya. "Awalnya gue nggak mau ngembaliin baju dia, tapi gue merasa nggak enak, jadi gue kembaliin aja deh. Eh tapi, gue nggak mau ah cuci muka. Ini bekas keringat Sam aja masih nempel di muka gue, nggak rela banget kalo hilang." Alma geli sekaligus ngeri mendengar ocehan Sina. Kalau sudah bucin memang seperti itu, bau keringat aja di bilang wangi. "Bucin lo." "Biarin, wlekk!" Sina menjulurkan lidahnya. Satu mangkuk soto ayam, dan satu gelas es teh sudah sampai di meja Sina. Tanpa basa-basi Sina langsung menyantap makanannya. Ini perut sudah tidak bisa di toleransi lagi. Alma geleng-geleng kepala melihat Sina makan seperti manusia yang tidak makan selama satu bulan. "Na, lo emang beneran udah cinta banget sama Sam?" "Kenapa tanya gitu?" Ucap Sina dengan mulut yang masih penuh makanan. "Nggak nyangka aja si, lo bisa tahan gitu suka sama cowok yang jelas-jelas nggak suka sama lo." Sina mengendik, dia tidak perduli Sam menyukainya atau tidak, karena Sina sendiri tidak berharap apapun pada Samudera. Dekat dengan Samudera saja, Sina sudah bahagia. Sina bebas mencintai siapapun karena itu tergantung pilihan hatinya sendiri, kalau memang hatinya memilih Samudera, Sina tidak bisa berbuat apa-apa. Suatu saat kalau hatinya sudah tidak mencintai Samudera, Sina juga akan menerimanya. "Kalo kita suka sama cowok, nggak harus cowok itu juga suka sama kita kan? Biarin dia suka sama orang lain, kalo emang kita jodoh, kita pasti bisa sama-sama. Kalo enggak, ya nggak masalah juga." Sina berkata bijak. Ya, Sina itu bukan tipe perempuan yang suka sama seseorang, lalu dia harus mendapatkan orang tersebut. Sina lebih memilih berjalan apa adanya saja. Sina juga tidak suka membuat repot dirinya sendiri hanya karena laki-laki. Sina menyukai dan mengagumi Samudera, tapi dia juga tidak yakin dia mencintainya atau tidak. Kalau kata kids jaman now, Sina terlalu 'santuy'. Alma kagum melihat sikap Sina yang dewasa, dia tidak menyangka, sahabatnya itu bisa berpikir seperti itu. Sina itu orangnya ceria, tapi dibalik keceriaannya itu tidak ada yang tau apa yang sebenarnya Sina rasakan. Samudera, laki-laki yang selama ini Sina suka semenjak masuk Universitas, ternyata menyukai kakaknya, Nataya. Sina tau karena Samudera sendiri yang mengatakan pada Sina. Dan hebatnya, Sina tidak marah atau kesal. Justru sebaliknya, Sina masih bucin dengan Samudera, walaupun dia tau Samudera tidak menyukainya. "Udah ah, gue mau ke kelas dulu." Sina meneguk habis minumannya lalu pergi dari kantin. Alma melebarkan matanya, baru saja dia puji tapi kelakuannya sudah seperti ini. "Sina! Makanan lo belum di bayar wey!" Alma berdecak sebal, dia menyesal karena sudah menyusul Sina ke kantin. Alamatnya, Alma yang membayar semua makanan Sina. Sial! ****** Waktunya pulang! Sina mengemas semua barangnya lalu keluar dari kelas. Di luar, Sina melihat seseorang sudah menunggunya di depan kelas. "Sam?" Samudera berbalik, dia tersenyum pada Sina, "Lo udah mau pulang kan?" "Ya, lo ngapain disini?" "Gue nungguin lo." Sina mengernyitkan dahinya, "Kenapa lo nungguin gue?" "Gue mau nganterin lo pulang, kebetulan udah lama gue nggak main ke rumah lo." Sina mengangguk, kebetulan sekali, hari ini uang sakunya tinggal sedikit. Hitung-hitung untuk menghemat uang juga. Mereka akhirnya meninggalkan kampus. Mereka sampai di rumah Sina. Sina mengerutkan dahinya melihat mobil berwarna putih terparkir di depan rumahnya. Sina berdecak. Melihat mobil Arsen terparkir didepan rumahnya, seketika membuat Sina malas untuk masuk ke rumah. Harusnya tadi Sina tidak pulang dulu karena kalau sudah begini, Sina harus bertemu dengan laki-laki yang sangat tidak dia sukai. Sina dan Samudera masuk ke dalam. "Assalamualaikum?" "Wa'alaikum salam." Sina melihat Nataya dan Arsen berada di meja makan. Sepertinya mereka mau makan siang. Sina dan Sam bersalaman dan mencium punggung tangan Nataya. Seperti biasa, Sina seperti tidak menganggap keberadaan Arsen. Sina bahkan tidak meliriknya sama sekali. "Kebetulan kalian udah pulang, kita makan sama-sama ya?" Ucap Nataya. "Aku udah kenyang kak." "Kamu jangan bohong sama kakak. Sana ganti baju, terus makan siang sama kakak." Sina berdecak, dia berjalan lemas menaiki tangga. Arsen diam saja karena dia tau Sina tidak menyukai keberadaannya. Arsen sudah biasa dengan sikap Sina, dia tidak perlu mempermasalahkan itu. "Sam, duduk." Samudera duduk tepat di depan Nataya, sebenarnya dia risih karena ada Arsen, pacar Nataya. Samudera merasa kedatangannya sudah mengganggu mereka. Sina kembali ke ruang makan dengan pakaian biasa, hanya ada kursi kosong yang tersisa, dan itu di depan Arsen. "Sam, kita bisa tukeran tempat duduk nggak?" Semua orang saling melihat satu sama lain, termasuk Arsen yang sudah menduga jika Sina pasti tidak mau duduk di depannya. Samudera akhirnya pindah, dia duduk di depan Arsen. Mereka makan tanpa berbicara, hanya ada suara dentingan garpu dan sendok. "Kakak, tumben masih siang udah pulang?" Sina memulai percakapan. "Kakak cuma mampir makan siang aja kok, setelah ini kakak sama Arsen mau berangkat lagi." "Kenapa kakak makan disini? Katanya pacar kakak orang kaya, tapi makan siangnya disini, nggak di restoran mahal." Sina menyindir Arsen dan meliriknya sekilas. Arsen tidak menanggapi walaupun dia merasa tersindir dengan kata-kata Sina. Justru Nataya yang merasa tidak enak dengan Arsen. "Arsen ngajak kakak makan di restoran tapi kakak sendiri yang minta makan siang disini Na." Arsen menarik salah satu sudut bibirnya menatap Sina. Sina balas menatapnya sengit, "Oh ya? Mungkin aja dia nggak punya uang, jadi dia mau nurut kemauan kakak." Sina puas melihat wajah Arsen yang terlihat kesal. Sial! Sina seperti meremehkan keuangan Arsen. Jangankan makan di restoran, beli restoran sekaligus saja Arsen mampu. Samudera menahan senyumnya melihat Sina yang dengan terang-terangan menyindir pacar kakaknya sendiri. Sina memang terlalu berani, menyindir pacar kakaknya sendiri walaupun Sina tau Arsen tidak mungkin tidak punya uang. "Sepertinya kita harus berangkat sekarang sayang." Sina mendelik, dia bahkan jijik jika Arsen memanggil kakaknya dengan sebutan sayang. "Kakak berangkat dulu ya Na?" Nataya dan Arsen pergi untuk melanjutkan pekerjaannya. Sina membanting sendok dan garpu di atas piring menimbulkan bunyi nyaring. "Na, lo sama Kak Arsen kapan bisa akur si? Lo tadi udah keterlaluan lho. Lo tau kalo Kak Arsen itu kaya, jangankan makan di restoran, beli 5 restoran aja dia bisa. Lo malah ngeremehin dia." Sina menggertakan giginya, dia tau Arsen kaya raya, makanya keluarganya bisa merendahkan orang rendahan seperti Sina dan kakaknya. Itulah mengapa Sina selama ini tidak menyukai Arsen Matteo Pahlevi dan keluarga Pahlevi lainnya. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN