Keheningan yang mengakar dalam dirinya berpadu dengan rasa bersalah yang besar. Terkadang ia suka bermimpi duduk di loteng ditemani oleh langit gelap malam dan cahaya bintang. Angin yang berembus kencang dari arah sungai menerpa wajahnya, suara keheningan itu membisikkan sesuatu ke telinganya seolah hendak memberitahunya bahwa hal-hal besar akan terjadi dalam hidupnya. Terkadang ia memimpikan malaikat-malaikat kecil yang berlari-lari di anak sungai, melompati bebatuan di permukaannya kemudian melambai ke arahnya di seberang sana. Ia suka membayangkan malaikat itu sebagai wanita kecil berambut pirang, rambut panjangnya ikal menjuntai di balik punggung, wajahnya tampak begitu bersinar sehingga ia tidak akan pernah dapat melihat rupanya. Dengan bertelanjang kaki, wanita itu berlari-larian di permukaan sungai seperti kumbang yang berkeliaran di semak-semak, sayap kecil mereka melambai-lambai, suara tawanya begitu lembut, dan sekilas suara itu terdengar seperti melodi yang dinyanyikan di gereja.
Namun mimpi-mimpi itu terkadang pergi begitu cepat. Dalam malam-malam terpanjang yang dilaluinya, ia suka menatap ke luar jendela, mempertanyakan arti tentang mimpi-mimpi itu. Terkadang Evan merasa bahwa mimpi itu benar-benar nyata karena ia dapat melukiskannya begitu jelas: sebuah sungai panjang yang dikelilingi oleh pohon-pohon oak yang rindang, suara tawa anak-anak yang berkeliaran disana, sebuah taman bermain dan ladang yang ditumbuhi oleh tanaman-tamanan hias dengan sejumlah warna yang memukau. Pohon-pohon lebatnya dipenuhi oleh buah-buahan segar, dahannya menggantung rendah sehingga siapapun tidak perlu merasa kesulitan untuk mengambilnya dengan bebas. Semua gambaran itu terasa jelas – terasa begitu nyata untuknya hingga ia berpikir bahwa surga itu benar-benar ada.
Benarkah?
Evan tertegun memandang lurus ke arah rumput-rumput yang bergerak di area pemakaman itu. Puluhan orang yang hadir disana datang untuk memanjatkan doa atas kepergian kedua orangtuanya. Insiden kecelakaan yang dialaminya tiga hari yang lalu telah mengantarkan kabar duka atas kematian kedua orangtuanya. Ibunya tewas persis setelah mobilnya berguling ke anak sungai, ayahnya masih sadar ketika petugas ambulans menggotongnya ke atas tandu, namun laki-laki itu kehilangan banyak darah dalam kecelakaan yang terjadi. Evan juga mengalami luka parah di beberapa bagian tubuhnya, namun luka itu tidak cukup parah untuk membunuhnya. Meskipun begitu pada detik-detik akhir sebelum kesadarannya hilang, Evan masih melihat laki-laki itu menatapnya – kosong, hingga kedua matanya terpejam dan ia benar-benar menghilang.
Kedua matanya terasa menyengat. Kejadiannya mungkin telah berakhir, namun ia tidak pernah benar-benar merasa pulih. Malam-malam yang dilaluinya di dalam rumah sakit itu hadir bersama mimpi buruk dan bayangan mengerikan akan kejadian yang dialaminya. Semua bayangan itu seakan terus-menerus terulang di kepalanya dan ia tidak memiliki kekutan untuk menghentikan mereka. Evan merasa frustrasi, ketatukan, terkurung di dalam dinding-dinding polos ruangan itu dimana tidak ada udara segar yang diizinkan masuk. Satu-satunya yang menemani Evan hanyalah keheningan, suara mesin yang merekam denyut jantungnya dan selang-selang infus yang terhubung ke tubuhnya. Dalam setiap detiknya ia tidak pernah berhenti bertanya-tanya kapan semua itu akan berakhir. Terkadang ia mencoba menghibur dirinya dengan semua fantasi tentang bintang-bintang yang saling berbicara, terkadang ia hanya membiarkannya begitu saja, menyatu dalam keheningan yang memekakan hingga terlelap tidur. Namun setiap kali ia memejamkan mata, bayangan akan kejadian buruk itu akan kembali terulang di kepalanya, menggumpal sebagai kabut hitam tebal yang menggantung di atas kepalanya dan membawa penyesalan besar yang terasa menusuk.
Terkadang Evan terpikir untuk melepas semua selang itu dari tubuhnya dan mengakhiri hidupnya. Namun bagaimana ia akan menebus kesalahan-kesalahannya? Bagaimana ia akan mengacaukan hidupnya tanpa melihat apa yang mungkin terjadi padanya nanti? Dan bagaimana ia akan melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya?
Dalam situasi itu, menghindar rasanya lebih mudah. Evan berharap ia dapat menenggelamkan dirinya ke dalam kabut tebal, bersembunyi di balik ketakutan-ketakutan yang menghantuinya, menghitung detik demi detik yang berlalu dalam hidupnya hanya untuk memastikan bahwa ia melewatinya tanpa rasa sakit. Namun rasa sakit selalu hadir dengan harapan: harapan bahwa suatu saat segalanya akan membaik. Sehingga ia membiarkan waktu bergulir begitu saja di belakangnya.
Ia menyadari sepenuhnya bahwa beberapa rasa sakit tidak dapat terobati dengan mudah. Jelas bahwa orang-orang akan membencinya. Meskipun begitu Evan tetap berdiri untuk menghadapinya: menempatkan dirinya di antara puluhan orang yang ikut menghadiri pemakaman orangtuanya dan menyaksikan seorang pendeta memberi khotbah tentang peristiwa kematian yang dapat menimpa siapa saja.
Edith duduk di kursi terdepan. Sejak awal berada di sana, wanita itu berusaha menghindarinya. Evan hanya memandanginya di kejauhan, bertanya-tanya bagaimana ia dapat memperbaiki semua itu. Kemudian wanita itu melangkah maju ke atas mimbar dan menyampaikan ucapan terakhir untuk orangtuanya. Edith hanya menyampaikan hal-hal baik yang diingatnya dan bagaimana ia memutuskan untuk menjadi bahagia di tengah keluarga mereka. Edith sesekali menatapnya, namun setiap kali wanita itu memandanginya, Evan hanya akan melihat kekecewaan, rasa sedih, dan amarah dalam sepasang matanya. Meskipun begitu setiap kalimat yang disampaikan Edith saat itu menggema keras di kepalanya, untuk sejenak menyatu dalam setiap bagian dari dirinya.
“.. kami mencintainya - kami akan selalu mengingatnya sebagai mawar yang tumbuh di ladang yang tandus, cahaya yang muncul di langit gelap, dan bintang yang bersinar paling terang di kejauhan. Ketika mereka mencapai tepi langit, dimana mereka akan menemukan tempat mereka di antara pintu-pintu yang terbuka, doa kami menyertainya.” Setetes air jatuh dari pelupuk mata Edith, jari-jarinya terkepal dan suaranya terdengar bergetar.
“Aku ingat ketika aku berusia tujuh tahun dan mereka menceritakan kisah tentang burung-burung gereja yang menyampaikan pesan dari malaikat di atas langit. Mereka mengatakan untuk tidak pernah menyerah pada diriku sendiri, karena kemanapun aku melangkah, malaikat itu selalu menjagaku, mereka mengawasiku dan mereka akan membawakan hari yang baik untukku. Mereka mengatakan bahwa hari kemarin adalah kenangan, hari esok adalah keajaiban, dan hari di antara kemarin dan besok.. adalah takdir.” Edith mengerjapkan matanya berkali-kali saat berusaha mengusir kesedihan itu, kemudian melanjutkan dengan tenang, “takdirku adalah untuk berdiri disini – dan mengatakan pada kalian, bahwa mereka akan selalu menjadi kenangan, keajaiban dan takdir dalam hidupku. Mereka tidak pernah menyalahkanku sekalipun aku berbuat salah. Mereka akan selalu memercayaiku dalam setiap keputusan yang kuambil dan mereka akan hadir untuk mengapresiasinya. Ketika mereka meninggikan suaranya, aku tahu.. mereka tidak bermaksud melakukannya karena setelahnya, mereka akan selalu membuka kedua tangan dengan lebar dan menerimaku lagi – selalu.. Mereka adalah tempat dimana aku akan kembali untuk mengadu – mereka adalah rumah – malaikat – dan semua hal yang kubutuhkan. Mereka adalah pasangan sejati dan mereka telah membuktikannya bahwa mereka tidak pernah meninggalkan satu sama lain bahkan ketika maut menyusulnya. Semuanya tidak akan sama tanpa mereka, tapi aku percaya kemanapun mereka pergi, mereka akan melangkah ke tempat terbaik karena mereka layak mendapatkannya..”
Puluhan orang yang duduk menempati kursi panjang di dalam gereja menunduk, beberapa di antara mereka ikut menangis saat merasakan kesedihan yang mendalam atas kehilangan itu. Evan menjadi satu-satunya orang yang duduk dengan rasa bersalah. Ia tidak akan menghentikan air matanya yang jatuh sebagai wujud atas emosinya. Semua kenangan lama menguap, membuka kembali jendela masa lalu yang dilewatinya bersama keluarga kecilnya, mengingat kejadian demi kejadian yang terjadi di dalam lumbung, percakapan hangat mereka di meja makan, hingga perdebatan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Evan mengingat senyum di wajah mereka ketika menyaksikannya berdiri di atas panggung, tatapan kagum dalam sepasang mata itu – atau pelukan hangat mereka disaat-saat tersulit yang telah mereka hadapi besama-sama.
Waktu tidak akan bergerak mundur. Waktu tidak akan menoleransi siapapun yang lemah. Waktu dapat mengalahkan siapapun, menciptakan kenangan atau bahkan menguburnya. Evan mengetahui secara pasti bahwa ia tidak akan mampu mengembalikan waktu untuk mencegah apa yang telah terjadi, tapi ia dapat mengubahnya dan ia telah memikirkan hal itu sepanjang malam ketika ia duduk menyendiri di tepi danau sembari menatap langit.
Ribuan bintang di atas sana mungkin sedang menatapnya, menjadi saksi dari kesedihannya. Beberapa dari bintang yang tampak berkilau itu berkedip di atas langit, sejenak membuat Evan berpikir bahwa bintang-bintang yang berkedip itu sedang berbicara dengannya, mereka menemaninya hingga Evan terlelap.
Keesokan harinya, Evan bangun lebih awal sehingga ia bisa tiba lebih cepat di Universitas dan menemui pengurus disana untuk berbicara dengannya. Pagi itu ia menghabiskan makanan yang tersisa di lemari pendingin. Ia menyadari bahwa tidak banyak penyimpanan makanan yang tersisa untuk satu bulan ke depan dan karena tidak ada yang mengurus lumbung dan hewan ternak milik keluarganya, maka Evan harus mengambil alih semua pekerjaan itu.
Evan telah menyusun semua daftar pekerjaan yang akan dilakukannya selama beberapa pekan ke depan. Ia menyusun semua rencana itu sebagai daftar panjang yang disematkan di dinding kamarnya hanya agar ketika ia terbangun ia akan mengingat apa yang harus dilakukannya. Dari arah dapur, Evan menatap pintu kamar Edith yang tertutup rapat. Sejak pemakaman kemarin, wanita itu mengurung dirinya di dalam sana dan menolak untuk berbicara padanya. Evan berpikir untuk membuat telur dan meninggalkannya di meja makan untuk Edith. Ia juga terpikir untuk meninggalkan kertas catatan berisi sebuah pesan disana, namun Evan segera mengurung niat itu dan memilih untuk meletakkan hasil masakannya saja.
Setelah mengendarai sepedanya menyusuri jalur yang terasa begitu familier, Evan sampai di kampus lebih awal sebelum jam pelajarannya di mulai. Setelah menunggu lima belas menit di depan pintu, petugas itu akhirnya membiarkannya masuk dan duduk pada kursi kosong di seberang mejanya.
Wanita itu menatapnya selagi Evan menjelaskan maksud kedatangannya. Ia meminta kelonggaran waktu untuk melunaskan semua biaya kuliahnya sampai satu atau dua bulan. Selama itu Evan akan mencari cara untuk mendapatkan uangnya sendiri, namun jawaban petugas itu benar-benar mengejutkannya hingga selama beberapa saat, Evan duduk terpaku di atas kursi dan menatapnya dengan wajah kosong.
“Semuanya sudah lunas,” kata petugas itu.
Butuh beberapa detik sebelum Evan berhasil menemukan kalimat yang tepat untuk mengungkapkan kebingungannya.
“Tapi aku belum membayarnya?”
“Memang tidak, seseorang yang membayarnya.”
“Siapa?”
“Kau mungkin bisa bertanya pada Hannah, dia datang kemarin untuk memberi kwitansinya.”
-
Wanita yang memiliki rambut berwarna coklat gelap, mengenakan setelan seragamnya yang rapi, dan tampil anggun dengan sebuah pita biru yang melingkari di kerah bajunya, sedang duduk di taman dengan tumpukan buku tebal di atas pangkuan ketika Evan menemuinya.
Hannah – masih seperti yang diingatnya – mengangkat wajah untuk menatapnya. Sinar lembut matahari jatuh persis di atas kedua mata hazelnya, kemudian menyentuh lembut sudut wajahnya yang berbentuk oval, bibirnya yang tipis dan hidungnya yang mancung. Dengan kikuk, wanita itu berusaha mencari cara untuk menyambutnya. Sementara itu Evan telah memilih tempatnya di atas bangku panjang, duduk bersampingan dengan Hannah dan membiarkan celah kosong sepanjang setengah meter membatasi mereka. Evan menatap Hannah dan menunggunya untuk mengatakan sesuatu, namun wanita itu melakukan hal yang sama jadi ia memutuskan untuk memulai percakapan mereka.
“Mengapa kau melakukannya?”
Sembari mengernyitkan dahi dan menyipitkan kedua matanya, Hannah bertanya, “melakukan apa?”
“Kau tahu, kau membayar tagihanku.”
Wanita itu kemudian mengangguk saat pemahaman menghampirinya. Untuk menemukan cara agar tidak merasa canggung, Hannah berringsut di atas kursinya dan memutar tubuh sehingga mereka dapat berbicara lebih leluasa. Kemudian Evan mendengarnya berkata, “bukan aku. Aku tidak punya uang sebanyak itu untuk membayarnya.”
“Lalu siapa?”
“Ayahku. Dia menyukai pidato yang kau sampaikan dalam kompetisi itu jadi dia berharap kau melanjutkannya.”
“Melanjutkan apa?”
“Apapun yang kau mulai.” Untuk kali pertama sejak percakapan terakhir mereka dua bulan lalu, Evan melihat senyum muncul di wajah Hannah. “Dia tahu mimpi besar yang dimiliki seseorang ketika dia menatap mereka – dia melihat itu di matamu, jadi dia ingin kau melanjutkannya..”
“Itu pasti karena kau..”
Hannah mengangkat kedua bahunya. “Aku menceritakan padanya sedikit tentangmu – aku memberitahunya apa yang terjadi di lab itu..”
“Apa dia marah?”
“Ya, awalnya, tapi.. dia lebih merasa terpukau ketimbang marah, terutama ketika aku menceritakan sejumlah rasi bintang yang kau petakan.”
“Aku tidak percaya dia memberinya secara cuma-cuma..”
“Jika kau merasa berutang, kau bisa bekerja membantunya di lab untuk menebus semua itu..”
Dari tempatnya di atas bangku panjang, Evan terperangah saat mendengarnya. “Apa?”
Sembari tersenyum, wanita itu menegaskan, “bekerja di lab – untuknya. Kau bisa bekerja paruh waktu, atau.. jika kau tidak bisa membagi waktumu, kau bisa menentukan harinya sendiri. Dia memintaku untuk mengatakannya padamu, jadi..”
“Mustahil. Apa kau bercanda?”
Hannah menggeleng. Dalam kedua matanya yang sayup, Evan dapat melihat kesungguhan kata-katanya.
“Sama sekali tidak,” jawab Hannah akhirnya.
“Itu tempat yang besar dengan peralatan canggih, aku tidak memiliki pengalaman dan aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantunya,” kilah Evan. Alih-alih menyetujuinya, Hannah justru berkata,
“Kau akan sangat membantunya.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Aku hanya tahu.”
-
Ada banyak hal indah di dunia yang terkadang tersembunyi dalam keputusasaan dan rasa bersalah. Keindahan itu bukanlah sesuatu yang didapatkan - itu adalah sesuatu yang diputuskan. Evan terbangun pagi itu, kemudian berdiri di depan cermin dan menatap wajahnya. Ingatannya berputar pada suatu momen yang tak terlupakan ketika ia berjalan menyusuri jalur setapak menuju anak sungai bersama Mrs. Jana, gurunya – wanita yang sama yang menjelaskan padanya tentang warna pelangi.
Setiap sore sebelum langitnya gelap, wanita itu akan berjalan bersamanya menyusuri jalur setapak untuk mengantar Evan sampai di rumahnya. Sementara murid-murid lain pulang lebih awal bersama orang tua mereka, Evan menunggu wanita itu menyelesaikan pekerjaannya kemudian mereka akan berjalan bersama-sama.
Wanita itu mengatakan banyak hal di sepanjang perjalanan mereka. Jari-jarinya menggenggam tangan kecil Evan dengan erat sementara mereka berjalan menyusuri jalur itu bersama-sama. Di sekelilingnya, pohon-pohon berbaris memanjang menuju anak sungai. Sebuah tempat yang kosong dan tak terawat itu dipenuhi oleh daun-daun kering yang berserakan. Wanita itu menunjukkannya sebuah tempat dimana ia dan putri kecilnya yang sudah meninggal karena penyakit paru-paru, suka bermain disana. Mereka membuat sebuah pintu rahasia di sebuah pondok di dekat sana dan ia menunjukkannya pada Evan.
“Apa yang kau lihat?” tanyanya.
Evan menatap pintu kayu yang reyot itu. “Sebuah pintu.”
“Itu bukan hanya sebuah pintu, itu adalah pintu rahasia menuju Netherland. Kau pernah mendengar tempat itu?”
Evan menggeleng kemudian menatapnya dan menunggu hingga wanita itu menunduk persis di sampingnya dan berkata, “sebuah tempat dengan taman bermain yang dipenuhi oleh banyak anak. Mereka membuat permen kapas terbaik, dan.. apapun yang kau inginkan ada disana.”
Evan memikirkan kalimat itu kemudian menatap ke arah pintu kayu sekali kali, mendekat untuk menyaksikannya lebih jelas.
“Ini hanya pintu kayu,” tegasnya.
“Kau ingin berkunjung ke sana?”
“Kemana?”
“Netherland.”
“Tempat itu tidak nyata,” ucap Evan dengan yakin.
“Itu nyata..” wanita itu mendekatinya, sepasang mata asia-nya memandang lurus ke arah ke Evan saat berkata, “terkadang kau hanya perlu memikirkannya. Kau tahu apa? Kau sudah berada disana jika kau percaya. Kau yang memutuskan apa yang ingin kau lihat di sekelilingmu: hal-hal buruk, atau keindahan? Keindahan tersembunyi di setiap tempat dan dalam setiap situasi. Mereka akan memanggilmu, ‘hei, Evan! Lihatlah aku!’ kau mungkin tidak mendengar mereka, tapi mereka sudah ada dalam dirimu. Kau yang memutuskan keindahan yang ingin kau saksikan di sekelilingmu. Sekarang, kau mungkin hanya melihat itu sebagai pintu, tapi ketika kau memutuskan untuk melihatnya sebagai pintu menuju Netherland, maka itu akan menjadi pintumu menuju Netherland..”
Evan memikirkan kalimat itu di sepanjang perjalanan untuk menemui Hannah dan kedua orangtuanya. Ketika ia datang dengan sepedanya, mereka telah menunggunya di depan pintu. Hal mustahil terjadi tepat ketika ia menyaksikan mereka tersenyum ke arahnya. Wanita yang mengunakan rompi biru cerah itu melambaikan tangan ke arahnya, kemudian mendekat untuk menyambutnya.
Hannah memiliki sebuah rumah besar dengan ruangan yang banyak dan sebuah pekarangan yang besar. Di halaman belakang rumah, mereka membangun sebuah taman hortikulturanya sendiri. Hannah menggebu-gebu saat menunjukkan taman hortikultura itu padanya, ia juga mengajak Evan berkeliling menyusuri setiap tempat di dalam bangunan itu dan mengenali halaman di sekitarnya. Letak laboratorium tidak jauh dari sana.
Ketika mereka berjalan menyusuri halaman belakang, Hannah menunjukkan sebuah ruangan rahasia yang dimilikinya di dekat tebing yang membatasi kawasan rumahnya dengan area hutan. Tempat kecil itu tersusun atas kayu-kayu tua dan dikelilingi oleh tanaman rambat. Bunga-bunga kecil tumbuh di sekitarnya, semak tinggi mengelilinginya. Ketika wanita itu membuka pintu kayu dan menarik Evan masuk, Evan dapat menyaksikan bagian dalam tempat itu yang dipenuhi oleh sejumlah tanaman hias, kotak mainan anak, dan hiasan yang dipajang Hannah di atas dinding-dinding kayunya. Terdapat sebuah jendela kecil disana yang memperlihatkan pemandangan langsung ke arah kebun mawar. Evan juga dapat menyaksikan bukit tinggi di kejauhan, jalur setapak yang biasa dilaluinya dan danau yang sering ia kunjungi.
Setelah selesai dengan tur singkat mereka, ayah Hannah mengajaknya pergi ke laboratorium untuk menjelaskan beberapa fungsi mesin disana. Tidak hanya itu, pria berusia akhir empat puluhan itu juga membiarkan Evan masuk ke ruangan khusus yang selalu dibiarkan terkunci rapat, dan menjelaskan pada Evan tentang beberapa penelitian yang dilakukannya. Evan mendengarkan dengan serius semua hal yang dijelaskan pria itu padanya, berusaha menemukan cara untuk dapat membantunya hingga ketika ia memiliki kesempatan untuk berbicara, Evan segera mengambil kesempatan itu dengan mengatakan,
“Aku sangat berterima kasih karena kau sudah membayar semua tagihan kuliahku, tapi aku tidak benar-benar mengerti mengapa kau melakukannya. Maksudku.. aku belum berbuat apa-apa untuk membantumu, bahkan aku baru mengenalmu.”
Laki-laki itu menunduk, kemudian dengan santai mengalungkan lengannya ke seputar bahu Evan dan mengajaknya berjalan mendekati sebuah teleskop besar di sudut ruangan.
“Putriku menceritakan banyak hal tentangmu. Aku tidak pernah melihatnya begitu bersemangat seperti itu. Dia bangun lebih pagi dan membuat sarapan untuk kami, dia tidak pandai memasak tapi aku melihatnya belajar untuk menekuni itu. Terkadang aku melihatnya tidur larut malam, duduk di jendela dan menatap keluar.. aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, kami jarang sekali berbicara. Sejak dia kecil aku jarang berada di dekatnya karena aku dan istriku selalu sibuk dengan pekerjaan kami. Tapi kami berusaha memberinya kehidupan yang layak, memenuhi semua kebutuhannya, dan apapun yang dia inginkan, tapi akhir-akhir ini aku tahu bahwa itu saja tidak cukup. Apa yang diinginkannya adalah berada di dekat kami sesering mungkin. Dia selalu tampak murung dan kami merasa bahwa itu adalah kesalahan kami.. tapi ketika dia membicarakanmu.. dia berbeda. Aku melihat putriku yang sesungguhnya – jadi ya, aku penasaran tentang siapa Evan yang sebenarnya. Aku datang ke acaramu hari itu, aku mendengarkan pidato yang kau sampaikan dan.. aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang bagaimana putriku begitu menyukaimu. Aku mendengar apa yang terjadi pada kedua orangtuamu dan aku turut menyesal untuk itu. Aku bisa membantumu, dan kau juga bisa membantuku. Anggaplah ini sebagai penawaran kerjasama. Hanya jika kau benar-benar menginginkannya..”
“Aku menginginkannya,” ucap Evan. “Katakan saja apa yang dapat kulakukan untuk membantu.”
“Bagus. Kalau begitu kenapa kita tidak mulai dari awal?”
Mereka menghabiskan waktu selama berjam-jam, berada di tempat itu dan mendiskusikan semua pekerjaan yang dapat dilakukan disana. Setelah membuat kesepakatan tentang jadwal kerja mereka, Evan diizinkan pulang sebelum langitnya gelap.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Karena Evan telah bekerja di lab, maka ia menyusun daftar rencana baru selama beberapa pekan ke depan. Evan tidak tahu berapa lama itu akan berlangsung, ia menolak untuk memikirkan apa yang mungkin terjadi pada hari berikutnya dan mulai menerima semua yang terjadi padanya saat itu. Setiap hari ia akan datang lebih awal ke universitas dan menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga ia dapat membagi waktunya untuk pergi ke lab.
Tidak hanya sekali ketika ia memiliki waktu luang, Evan memutuskan untuk pergi ke perpustakaan dan menemui Don. Laki-laki itu menyambutnya dengan senang, Don juga mengatakan beberapa pekerjaannya terbengkalai selama dua bulan terakhir karena ketidaan Evan disana. Siang itu Don mengajaknya duduk untuk mengobrol. Seperti biasa, laki-laki itu akan membuatkannya kopi panas kemudian menceritakan padanya beberapa kejadian konyol yang terjadi padanya. Evan berusaha memperbaiki hubungan mereka dengan berada di dekat Don sesering mungkin dan ia menghargai usaha Don untuk tidak menyinggung apa yang dialami Evan dalam dua bulan terakhir.
Lambat laun Evan berhasil memperbaiki hubungannya dengan Don yang sempat meregang, namun semua tidak terjadi sama dengan Edith. Wanita itu masih menolak untuk berbicara dengannya. Mereka hanya akan saling berhadap-hadapan di atas meja makan, namun semuanya berlangsung hening tanpa percakapan. Edith akan bangun pada pagi buta untuk pergi ke lumbung dan mengurus peternakan. Wanita itu akan bekerja hingga pukul sepuluh sebelum kembali ke rumah. Edith juga mengurus ladang mereka. Dalam beberapa kesempatan yang dimilikinya, Evan datang untuk membantu. Sesekali ia mencoba berbicara pada Edith, namun wanita itu masih enggan untuk menatapnya. Sore menjelang malam Evan mengamati Edith mengurung diri di dalam kamarnya hingga hari kembali berganti.
Setiap malam sejak kecelakaan itu Evan masih dibayangi oleh ketakutan dan rasa bersalah yang menggerogotinya. Sejauh itu ia berusaha melupakannya, mengubur kenangan itu bersama kejadian demi kejadian buruk yang menimpanya selama dua bulan terakhir. Tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu mengubahnya. Terkadang ia akan duduk menyendiri untuk memikirkan bagaimana semuanya terjadi, sementara itu penelitiannya di lab terus menyita perhatiannya. Evan mengambil waktu pada akhir pekan untuk merenungkan pemecahan masalah atas penelitian di lab. Ia membuat lebih banyak catatan dari biasanya, semua catatan itu disematkannya pada dinding kabin di dekat danau – tempat dimana ia akan kembali. Terkadang semua catatan itu begitu menyita perhatiannya hingga ia baru kembali ke rumah saat langitnya mulai gelap.
Setiap saat ketika ia berada di lab, Evan dapat menjumpai Hannah lebih sering dari biasanya. Terkadang wanita itu akan datang untuk mendiskusikan hasil pekerjaannya atau sekadar duduk dan berbagi makan siang dengannya. Evan nyaris melupakan perasaan nyaman saat berbicara dengan Hannah. Hannah memahami semua yang diucapkannya, wanita itu adalah pendengar yang baik. Namun tidak hanya itu, suatu hari ketika pekerjaan di lab menyita perhatiannya hingga tanpa sadar langit di luar sudah gelap, Hannah menariknya secara paksa untuk ikut bergabung dengan keluarganya. Mereka menikmati makan malam bersama-sama.
Evan merasa canggung berada di tengah lingkaran itu, namun sama seperti Hannah, keluarganya menerima Evan dengan senang hati. Setelah berbulan-bulan tidak menghadapi percakapan di atas meja makan, Evan akhirnya dapat merasakannya lagi. Keluarga Hannah begitu hangat seperti keluarganya. Evan tidak bisa merasa lebih diterima ketika berada disana hingga ia pikir semua itu benar-benar tidak nyata.
Mungkin, pikirnya. Ia akan terbangun suatu saat dan mendapati dirinya merasa kosong saat mengingat kembali kejadian dalam satu bulan terakhir ketika tiba-tiba segalanya kembali membaik dan waktu berjalan lebih cepat dari biasanya.