Bab 2

2704 Kata
Pagi ketika cahaya mataharinya telah merangkak naik di atas atap, kemudian merambat melewati kaca jendela dan jatuh pada permukaan lantai kayu di kamarnya, Evan terbangun dari tidurnya. Hawa dingin yang berasal dari lantai kayu itu langsung menusuk kakinya ketika ia bangkit berdiri. Tatapannya menyapu ke sekitar, menyusuri tumpukan buku di tersebar di atas meja, sepatu yang dibiarkannya tergeletak di bawah ranjang, dan juga lemari kayu tempat dimana ia menggantung sejumlah pakaiannya secara asal. Sementara itu alarm di atas nakas menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Evan terburu-buru ketika pergi untuk membilas wajah dan berpakaian. Ia meletakkan beberapa buku ke dalam tasnya dengan cepat, kemudian bergegas menuruni tangga kayu menuju pintu keluar. Ibu, ayah, dan saudarinya, Edith sedang duduk mengelilingi meja makan ketika Evan hendak keluar melalui pintu belakang. Ibunya sempat menghentikan Evan dan memintanya untuk menghabiskan sarapan, namun pagi itu Evan memutuskan untuk memasukkan jatah makanannya ke dalam wadah dan melewatkan kesempatan untuk bergabung dengan mereka di atas meja. Dengan tergesa-gesa Evan menyambar sepedanya dan pergi meninggalkan rumah. Jalur yang dilaluinya tidak begitu mulus. Jalur itu sempit dan berbatu. Pohon-pohon tinggi berbaris di kedua sisinya, kabut tebal yang terperangkap di bawah pohon itu nyaris menutupi kendaraan. Sebuah sungai deras dapat terlihat disana, tanahnya yang melandai terasa licin sehingga ia harus berhati-hati ketika mengayuh sepedanya melewati kawasan itu. Terdapat sebuah terowongan sempit yang lembab. Lubang-lubang kecil memenuhi jalanan, anjing dan rusa suka berkeliaran di sekitar sana dan kawasan itu jarang dilalui oleh penduduk. Namun, Evan memilih untuk mengambil jalur pintas agar dapat tiba lebih cepat, sehingga ia tiba lima belas menit lebih cepat dari biasanya. Begitu tiba disana, belasan anak sedang berbaris mengantre giliran untuk dapat masuk dan menghadiri kelas mereka tepat waktu. Alih-alih masuk ke dalam barisan antrean, Evan memutuskan untuk memutar sepedanya dan masuk melalui pintu belakang gedung yang tidak terkunci. Kelasnya hari itu dimulai lebih awal. Evan telah memilih kursinya pada barisan kedua di dekat jendela sebelum mahasiswa lainnya berdatangan dan mengisi kursi kosong yang lain. Ketika ia berpikir bahwa pelajaran akan berlangsung dalam hitungan menit, seorang pegurus universitas masuk dan memberitahunya bahwa kelas ditunda hingga lusa karena dosen yang akan mengisi kelas itu tidak dapat hadir disana. Tubuh Evan merosot di atas kursi. Sementara murid lainnya mulai berbubaran meninggalkan kelas dan mengambil waktu bebas mereka dengan berkeliaran di sepanjang lorong, mengobrol, atau mengisi kursi-kursi kosong di area kantin. Evan memutuskan untuk datang ke perpustakaan, menemui Don dan menikmati sarapannya bersama laki-laki itu. Don bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa ia membutuhkan bantuan Evan untuk menyusun daftar inventaris buku yang baru tiba dua hari lalu. Mereka menghabiskan waktu dua jam, berdiri di belakang rak buku yang baru diterima pagi itu dan menyusun puluhan buku-buku bersampul tebal di atasnya. Bagian atas rak itu nyaris tidak terjangkau sehingga mereka harus menggunakan tangga. Sementara itu, Don memberi istruksi bagaimana susunan yang tepat, Evan menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat sehingga mereka dapat duduk beristirahat dan menikmati sarapannya. “Siapa yang mengirim buku-buku itu?” tanya Evan sembari melahap potongan besar roti menteganya. Don duduk di sampingnya dan berbagi dua gelas minuman hangat yang dibuatnya. “Gereja.” “Gereja?” “Ya, kemarin mereka datang untuk melihat-lihat dan berpikir untuk menyumbangkan buku-buku religusnya. Tempat ini terbuka untuk umum, termasuk seorang donatur dari gereja. Mereka juga menyumbang beberapa fasilitas peraga disini. Setiap tahun, mereka akan mengirim dua atau tiga orang anak terlantar untuk bersekolah disini. Semua biaya dan fasilitas ditanggung oleh gereja.” “Dimana mereka tinggal?” “Ada yayasan kecil di dekat gereja. Yayasan itu menanggung anak-anak terlantar, dan ketika mereka tumbuh sampai seusiamu, para donatur gereja akan membantu mereka untuk mendapatkan fasilitas pendidikan hingga mereka dibebaskan untuk hidup secara mandiri. Tapi mereka yang tidak memiliki tempat tinggal dibiarkan menetap di yayasan untuk membantu semua kegiatan disana. Beberapa di antara mereka telah menjadi pengurus tetap yayasan itu. Itu seperti panti sosial bagi siapapun yang membutuhkannya.” “Bagaimana kau tahu?” Don menyeringai lebar dan memperlihatkan sederet giginya yang rata. Garis kerutan yang dalam muncul di pelipisnya. Laki-laki itu juga memiliki kantung mata yang menegaskan bahwa ia nyaris tidak pernah mendapatkan waktu tidur yang cukup selama hidupnya. “Mungkin kau jarang melihatku berkeliaran di sekitar gereja, tapi istriku – mantan istriku adalah orang yang religius. Dia bekerja untuk yayasan itu, aku tahu dia disana – sampai sekarang dia mungkin masih bekerja disana.” Evan mengangguk-anggukan kepala sembari menghabiskan sisa makanannya. Tak lama kemudian, seorang gadis yang muncul di depan pintu menarik perhatiannya. Hannah berjalan mengitari lorong kemudian memempati kursi panjang di dekat pintu. Wanita itu tampil sama seperti yang diingatnya: ia mengenakan setelan seragam yang dilengkapi dengan alamamater biru tua dan juga sepatu kets putihnya. Hannah membiarkan rambutnya yang berwarna coklat kayu tergerai memanjang di belakang bahu, sementara pita hitam yang melingkar pada kerah kemejanya terpasang dengan rapih. Evan tanpa sadar telah mengamati wanita itu dari tempatnya dan Hannah segera menyadarinya persis ketika wanita itu mengangkat wajah. Kedua matanya melebar. Evan suka melihat rona merah yang suka muncul di wajahnya secara tiba-tiba, atau bagaimana wanita itu membuang tatapannya dengan cepat dan bergerak dengan gelisah di atas kursinya. Lamunan Evan buyar begitu Don menyikut lengannya. Ketika berbalik untuk menatap Don, laki-laki itu telah menyeringai lebar. “Apa yang kau tunggu?” katanya. “Temui dia!” “Pukul berapa ini?” “Sebelas. Masih terlalu dini untuk menghadiri kelas, bukan?” “Memang, tapi aku memiliki urusan lain yang harus diselesaikan.” “Benarkah?” Alih-alih menanggapi pertanyaan itu, Evan mengalungkan tasnya ke atas pundak kemudian beranjak pergi meninggalkan perpustakaan. Langkahnya kakinya yang panjang membawanya menyusuri lorong lebih cepat. Di ujung lorong, belasan anak terlihat sedang mengantre untuk mendaftarkan diri dalam kompetisi yang akan dimulai lusa. Barisan antrean itu kian memanjang dalam hitungan detik. Beberapa di antara mereka yang telah mendafatarkan dirinya baru saja keluar dari dalam ruang pendaftaran dengan sebuah buku panduan kompetisi dalam genggamannya. Dengan tergesa-gesa, Evan berjalan menerobos kerumunan untuk mendapatkan tempatnya dalam barisan antrean. Setidaknya ia menghabiskan waktu tiga puluh menit untuk menunggu giliran sebelum akhirnya sampai di depan meja petugas pendaftaran. Seorang dosen wanita yang duduk di belakang meja petugas itu berwajah masam. Wanita berusia paruh baya itu memintanya untuk menunjukkan kartu identitas pelajar dan menyebutkan beberapa informasi yang tidak tercantum disana. Kemudian petugas pria yang membantunya di samping menyerahkan sebuah buku panduan tipis dan meminta Evan untuk membacanya. Lima menit berikutnya, Evan berhasil keluar dari barisan antrean. Ia menghabiskan waktunya duduk di bangku taman untuk membaca buku panduan itu dengan serius. Kompetisi akan dimulai dengan penulisan makalah ilmiah yang mengangkat sebuah pembahasan yang menarik. Seluruh peserta wajib menyerahkan makalah itu sebelum akhir pekan, yang mana itu berarti Evan memiliki waktu tiga sampai empat hari untuk mengerjakannya, Makalah terbaik yang lolos seleksi akan membawanya masuk ke babak kedua dan jika ia berhasil menyelesaikan babak kedua, ia akan masuk untuk melewati babak ketiga sebelum akhirnya bertarung dalam babak penentuan. Kompetisi akan berlangsung selama satu bulan penuh dan karena kompetisi itu terbuka untuk seluruh mahasiswa disana, maka penyelenggara akan menyeleksi lebih ketat seluruh peserta untuk menentukan pemenangnya. Semua hal itu membuatnya bersemangat. Ia duduk di bangku taman itu lebih lama dan menyapukan pandangannya ke sekitar saat berusaha menemukan topik pembahasan yang menarik untuk makalahnya. Evan dapat menyisihkan dua atau tiga jam untuk menyelesaikannya. Sebagai gantinya, ia akan mengerjakan pekerjaannya lebih cepat, tidur lebih malam untuk mengerjakan tugas sekolah, bangun lebih pagi untuk memulai harinya lebih awal dan seterusnya begitu hingga kompetisi itu berakhir. Setidaknya semua rencana itu telah tersusun di kepalanya. Evan begitu bersemangat hingga ia pikir ia dapat memulainya lebih awal. Sore setelah kelas berakhir, Evan berniat untuk kembali ke rumah dan menemui ayahnya di lumbung. Namun ketika ia bergerak melewati halaman belakang gedung untuk mengambil sepeda yang diparkirkannya disana, dua orang mahasiswa yang dikenalinya sebagai Antoni dan Richie sedang berkeliaran di sekitar sana dengan putung rokok yang mengapit di kedua jari mereka. Kedua remaja itu langsung menatapnya, salah seorang di antara mereka yang bernama Richie melambaikan tangan dan menunjuk sepedanya. “Ini punyamu?” Alih-alih mengatakan sesuatu, Evan mengangguk cepat untuk menanggapinya. “Kupikir aku mengenalmu, kau Evan dari kelas fisika, bukan?” Richie menyeringai lebar. Kakinya yang panjang melangkah mendekati Evan. Tubuhnya lebih kurus, namun laki-laki itu lebih tinggi darinya. Dari dekat, Evan dapat mencium aroma rokok yang tajam dari nafasnya. “Lihat dirimu, ilmuan muda! Cocok untukmu. Mungkin sebentar lagi kau akan kehilangan rambutmu,” ledeknya. Ketegangan sejenak merangkul suasana hingga Richie menyingkirkan seringai dari wajahnya, sejenak berbalik menatap Antoni sebelum mendekat melingkari lengannya di seputar pundak Evan. “Jangan terlalu serius, aku hanya bercanda! Aku perlu bantuanmu, motorku rusak, jadi apa kau bisa mengantarku dengan sepeda ini?” “Maaf, aku khawatir aku tidak..” “Jangan khawatir!” potong Richie dengan cepat. “.. letaknya tidak jauh dari sini. Ayolah!” “Baiklah.” “Bagus!” Mereka keluar melalui pintu di belakang bangunan itu. Evan tergesa-gesa ketika mengayuh sepedanya untuk sampai di tempat yang dituju Richie. Mereka bersepeda melewati jembatan dan berhenti persis di sebuah kabin tua di kaki bukit. Dua orang mahasiswa lain bernama Rob dan Luke terlihat berkeliaran di halaman depan. Mereka sedang berbicara ketika Evan dan Richie sampai disana. Evan memiliki rencana untuk segera pergi meninggalkan tempat itu sebelum Richie memaksanya untuk bergabung. “Ini tidak akan lama, sumpah!” katanya. “Hei, apa kau pernah bergabung dengan klub? Ayo, bersenang-senanglah! Seperti kataku, ini tidak akan lama..” Nyatanya mereka mengambil waktu lama untuk duduk, mengobrol dan menghisap putung rokok. Begitu Richie mendorong pintu kabin itu hingga terbuka lebar dan menariknya masuk ke dalam sana, Evan menghitung setidaknya ada lima orang yang hadir. Masing-masing dari mereka bersorak kencang ketika menyambutnya dan ketika Evan melangkah masuk, bau nikotin yang alkohol yang tajam tercium di setiap sudut tempat. Musik yang dimainkan mereka bergema keras di telinganya. Dua orang wanita yang tidak begitu dikenalinya namun memakai seragam dan almamater yang sama ikut hadir disana, salah satu yang berambut pirang, memiliki sepasang mata biru yang besar dan wajah berbentuk oval sempurna tersenyum ke arahnya, sisanya tidak begitu mengacuhkan keberadaannya disana. Evan menghabiskan satu jam berikutnya untuk duduk di antara remaja itu sembari mengamati mereka. Sejak awal berada disana, nyaris tidak satu patah katapun keluar dari mulutnya, setidaknya hingga tatapannya jatuh keluar jendela dan ia menyaksikan wanita berambut pirang bernama Lily itu sedang berdiri berhadap-hadapan bersama Luke di luar sana. Lily mengatakan sesuatu dengan suara keras, wanita itu berteriak di depan wajah Luke. Meskipun begitu, berada di tengah kebisingan suara musik di sekitarnya membuat Evan tidak dapat mendengar isi percakapan mereka dengan baik. Luke tampaknya memaksakan pendapatnya pada wanita itu sedangkan Lily bersikeras untuk menyanggah semua yang dikatakan Luke. Rasa penasaran telah membawa Evan bergerak meninggalkan kabin. Sementara para remaja itu masih sibuk bersenang-senang dengan rokok, alkohol dan musik mereka, Evan memutuskan untuk mendekati dua pasangan yang bertengkar di luar sana. Angin dingin yang berembus kencang menampar wajahnya begitu Evan melangkahkah kakinya dengan yakin mendekati mereka. Kini, ia dapat mendengar isi percakapan keduanya lebih jelas. Luke memaksakan dirinya pada Lily, wanita itu berusaha mendorong Luke untuk menghentikannya, namun tindakan itu justru memperburuk suasana. Wajah Luke telah memerah dan ia merenggut lengan Lily dengan kasar, menundukkan wajahnya untuk memaksakan sebuah ciuman di wajah Lily. Sementara itu, Lily terus berusaha melawannya sebelum Evan menghentikan Luke dan menjauhinya dari pria itu. “Hei, dia bilang tidak, kenapa kau memaksanya?” tanya Evan setelah menempatkan dirinya di tengah-tengah pasangan itu. Luke tidak berada dalam suasana hati yang baik sore itu, terutama karena alkohol yang ditelannya. Evan berniat menghindari pertengkaran dengan berbalik dan tidak mengacuhkannya, tapi kemudian laki-laki itu menarik seragamnya dengan kasar, kemudian memukulinya tepat di wajah. Rasa sakit yang berdenyut-denyut di wajahnya akibat pukulan itu sejenak membekukannya. Sebelum Luke menyerang untuk kedua kalinya, Evan bergerak bangkit untuk melawannya, dengan cepat mengepalkan tangan dan menyarangkan sebuah tinju keras di wajah Luke. Namun Luke lebih besar dan lebih tinggi darinya. Laki-laki itu tidak memiliki kesulitan ketika mendorong dan menjatuhkannya. Pukulan Luke berikutnya bersarang persis di bawah mata dan di tulang hidungnya. Evan memejamkan mata saat merasakan cairan keluar dari di hidungnya. Meskipun begitu, hal itu tidak menghentikan Luke, laki-laki itu masih terus memukulinya sementara Evan berusaha keras untuk mencegah Luke dengan menahan lengannya. Pertikaian yang terjadi disana telah menyita seluruh perhatian para remaja yang berada di dalam kabin. Richie berlari cepat meninggalkan kabin untuk menghentikan Luke dari aksinya. Kemudian Rob dan Harry datang menyusul dan membantu Richie untuk menarik Luke mundur dan menjauhinya dari Evan. Evan merasakan pandangannya mulai kabur. Butuh beberapa detik sebelum ia dapat memulihkan dirinya dan melihat lebih jelas. Ketika ia mengerahkan sisa tenaga untuk bangkit berdiri, Evan menyaksikan para remaja itu memandanginya dengan ekspresi kengerian di wajah mereka. Luke masih menatapnya dengan marah, sementara Richie dan Harry berusaha keras untuk menahan Luke dan menjauhinya dari Evan. Di dekat pintu, Lily memeluk teman wanitanya dengan takut. Selama beberapa detik, Evan hanya berdiri dan mengamati wajah mereka satu persatu. Ketika ia mengangkat tangan untuk menyentuh luka di hidung dan rahangnya, ia merasakan cairan darah berwarna merah tertinggal di antara jari-jarinya. Rasa pening tiba-tiba menguasai kepalanya. Langkahnya sempoyongan ketika Evan bergerak mendekati sepedanya yang terparkir di dekat sana, kemudian mengayuh sepeda itu meninggalkan mereka dengan cepat. Kembali ke rumah dalam keadaan kacau dan menemui ayahnya untuk menyelesaikan pekerjaan di lumbung bukan pilihan terbaik yang dimilikinya saat itu. Evan memilih untuk bersepeda menuju bukit, menunggu hingga langitnya gelap sehingga ia dapat menghindari tugas untuk membantu pekerjaan di lumbung dan pulang larut malam sehingga ia tidak harus menghadapi keluarganya. Untungnya ia menyimpan kain bersih di dalam tas yang dapat ia gunakan untuk menyeka darah dari luka di hidung dan rahangnya. Sembari duduk disana, Evan menyaksikan cahaya mentari terakhir bergulung di ufuk langit. Ia menikmati waktu untuk duduk dan merasakan embusan angin di atas sana selagi ia memikirkan kebodohan yang dilakukannya hari itu dengan melibatkan diri bersama para remaja yang bahkan hampir tidak dikenalinya. Ada banyak hal yang berkelibat di kepalanya, bukan hanya tentang kompetisi namun juga hal-hal kecil seperti alasan apa yang akan diberikannya pada kedua orangtuanya saat mereka menyadari luka dan memar di wajahnya. Evan bisa saja berbohong untuk menutupi tindakan cerobohnya, namun itu adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Pikiran itu kemudian beralih dengan cepat pada rencana-rencana kecilnya untuk menemui Hannah dan berbicara dengannya. Evan dapat memikirkan Hannah sejenak untuk membantunya melupakan kejadian konyol yang terjadi padanya sepanjang hari itu. Ia mendapati dirinya tersenyum ketika menyadari bahwa tindakan itu mampu menghiburnya. Beberapa hal kecil yang terjadi sepanjang hidupnya bisa terasa konyol, namun pertengkaran fisik adalah hal yang baru dan itu memberikannya gambaran jelas tentang apa yang ingin dan apa yang tidak ingin dilakukannya. Gambaran tentang semua hal konyol itu nyatanya membawa sebuah gagasan menarik tentang pilihan dan konsekuensi. Evan berpikir bahwa ia dapat mengangkat hal itu sebagai topik pembahasan dalam makalahnya. Ide itu muncul seperti sebuah suara yang berbisik di telinganya, Evan dapat mendengarnya begitu jelas ketika ia membuka buku catatan dan menuliskannya disana, hingga tanpa sadar ia telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk dan mencatat semua poin penting pada buku catatannya. Sudah terlambat untuk menyadari bahwa hari semakin larut karena ia dapat menyaksikan titik cahaya keemasan membanjiri seisi kota di bawah sana. Suara keributan seakan mendengung di telinganya. Ketika Evan mengayuh sepedanya untuk kembali ke rumah, lampu di teras telah dinyalakan, pintu dan jendela ditutup rapat. Sekilas Evan mengintip ke arah lumbung dan melihat pagar-pagar kayunya telah ditutup rapat. Ia memutuskan untuk masuk melewati pintu belakang. Evan pernah melihat ayahnya meletakkan kunci cadangan di dekat sana sehingga ia tidak mengalami kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam rumah diam-diam. Lampu di dapur dan lorong di bawah tangga telah di padamkan, namun Evan masih mendengar suara televisi yang dinyalakan dari ruang tengah. Ayahnya sedang duduk di sudut sofa sembari menyaksikan televisi dan menyadarkan kepalanya. Evan harus berhati-hati ketika melangkahkan kakinya menaiki tangga. Di ujung lorong, persis di seberang pintu kamarnya, Evan mendapati pintu kamar Edith telah terutup rapat. Saudarinya mungkin sudah tertidur lelap, jadi Evan segera memadamkan lampu di sana dan bergegas masuk untuk mengunci dirinya di dalam kamar. Malam itu akan terasa lebih panjang dari biasanya, terutama karena ia harus membersihkan lukanya dan membilasnya dengan alkohol. Bahkan setelah hampir satu jam, Evan masih merasakan rasa sakit yang berdenyut-denyut di seputar wajahnya. Akibatnya, ia tidak mendapatkan tidur nyenyak hingga langit fajar muncul di balik jendela.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN