Hari dimana mereka akan pergi menuju ke gunung telah tiba. Yoga sedang berada di dalam kamarnya, duduk merenung melihat tas dan barangnya yang masih ada di luar. Ragu … Yoga merasa ada sesuatu yang akan terjadi di atas. Beberapa kali dia ingin mengurungkan niat, akan tetapi tidak bisa. Ada beberapa anak baru yang ikut serta dalam pendakian itu. Hanya Ucok saja yang sudah sangat hafal dengan jalur pendakian Arjuno – Welirang.
Tok
Tok
Tok
“Mas, jadi pergi?” tanya seorang gadis dari pintu kamar Yoga.
“Iya.”
“Berapa orang?”
“Hm … enam atau delapan orang. Masih belum pasti.”
“Sama Mas Ucok?”
“Iya.”
“Hati-hati ya?”
“Iya.”
“Mau aku bantu packing?”
“Nggak perlu, biar aku sendiri saja.”
“Ya udah, aku turun dulu.”
Yoga hanya mengangguk. Tidak biasanya sanga adik bertanya mengenai keberangkatannya untuk naik gunung. Yoga semakin ragu dalam mengambil keputusan, sampai akhirnya ponsel Yoga berdering da nada telepon dari Dian.
“Hm.”
“Kamu dimana? Anak-anak udah nungguin.”
“Ketemu di Aloha aja. aku naik motor.”
“Owalah, ngunu nggak ngomong ket mau!”
“Maaf, masih bingung.”
“Lapo maneh?”
“Gapapa, ini mau packing terus otewe.”
“Oke.”
Di depan Yoga sudah ada tas carier, nesting, kompor lapangan, tenda, sleeping bag, pakaian, makanan, botol minum, jaket, sepatu gunung, matras, dan beberapa barang lain yang menurutnya penting. Yoga tidak mau naik gunung jika perlengkapannya tidak lengkap. Dia adalah sosok cowok yang disiplin, rapi, dan terkoordinir.
Semua barang-barang itu masuk ke dalam satu tas yang menjulang tinggi seperti tabung. Terlihat kaku karena terbentuk oleh matras yang sudah masuk terlebih dahulu untuk menyangga tas. Barang yang tidak begitu digunakan akan diletakkan dibagian bawah, setelah itu mengikuti kegunaan dari barang-barang tersebut.
Yoga berjalan ke luar dari kamarnya, dia berpamitan pada orang tua dan adiknya yang ada di ruang santai. Mereka berpesan untuk berhati-hati saat berada di sana. Tentu Yoga sudah sangat mengerti dengan kekhawatiran sang ibu. Bukan karena apa … Yoga sudah sangat sering mengalami kecelakaan saat sedang melakukan kegiatan pecinta alam, dan juga penyelamatan di BASARNAS.
Yoga mengeluarkan motornya dari garasi, lalu menghidupkannya. Beberapa menit sampai motor itu siap untuk dilajukan. Yoga melihat kea rah ponsel dan mengirim pesan pada teman-temannya.
Anda : Aku otewe.
Ucok : 2
Dian : Mburine Ucok.
Riska : Hati-hati ya! Aku absen.
Anda : Oklek!
Read.
Yoga mulai mengendarai motornya untuk bisa sampai di Aloha. Tempat di mana mereka akan bertemu sebelum berangkat menuju ke Tretes, Pandaan.
Selama perjalanan dari rumah, Yoga hanya seorang diri. Sampai di Aloha, ada seorang temannya yang menggunakan angkutan umum untuk bisa sampai di sana. Yoga menawarkan untuk memboncengnya hingga sampai di Pos Perijinan jalur Tretes.
Mereka berangkat dari Aloha, Sidoarjo pukul sembilan pagi. Dan perkiraan waktu untuk sampai di tempat tujuan adalah satu hingga dua jam, tergantung kecepatan mereka dalam mengendarai motor masing-masing.
Sampai di area jalanan menanjak Tretes, ada beberapa orang yang mengikuti mereka dengan kendaraan motor. Saat sudah dekat, mereka menawarkan penginapan.
“Villa, Mas. Villa?”
“Podo lanang e mosok kon nak Villa, Pak!” sahut Ucok.
Seluruh teman-teman yang mendengarkan tertawa terbahak-bahak. Dan orang yang menawarkan Villa kembali menjauh.
Akhirnya mereka sampai di POS Perijinan. Yoga memarkirkan motornya di samping Pos. lalu berjalan masuk ke dalam untuk menyapa siapa saja yang ada di sana.
“Gimana, Mas? Aman?” tanya Yoga.
“Woi, Yo. Sama siapa?” tanya seorang pria berkulit hitam.
“Sama temen-temen. Tuh mereka di sana.”
“Berapa orang?” sahut Chandra yang kebetulan sedang berjaga.
“Tujuh.”
“Isi data ya?”
“Oke.”
Yoga membawa kertas yang akan diisi data para pendaki yang ikut.
“Oi, isien sek rek!”
Ucok menerima kertas itu. Lalu dia menawarkan untuk meletakkan KTP-nya di perijinan.
“Halah punyaku ae,” ujar Yoga.
“Aku mekso! Gonku ae, Yog!” ucap Ucok.
“Yowes, sak karepmu!”
Yoga memberikan kembali kertas yang sudah diisi data para pendaki, beserta KTP milik Ucok sebagai jaminan.
Sebelum berjalan menuju ke jalur pendakian, mereka berkumpul untuk berdoa terlebih dahulu. Saling mengingatkan apa saja yang sudah di bawa. Tidak hanya itu, mereka juga diajarkan untuk tidak panic atau tegang jika mendapatkan masalah saat di atas.
“Mas, oleh mangan sek gak?”
“Ya udah, yang mau makan, silakan saja.”
Dari tujuh orang, ada empat yang sedang makan. Sedangkan Yoga dan Ucok ada di pos untuk berbincang bersama Chandra dan juga pria berkulit hitam bernama Midas.
“Ada banyak yang nanjak?” tanya Yoga.
“Lumayan, sebelum kalian ada lima orang dari Jakarta. Mereka mungkin sudah sampai Pet Bocor.”
“Owh, selain itu?”
“Ada kemarin dari Cimahi, sama dari Mojokerto. Mereka ketemuan di sini. Kenal dari sosmed,” ujar Chandra lagi.
“Jalur aman ya? Hujan nggak?” tanya Yoga.
“Kalo hujan sih enggak, kabut yang bahaya. Kalian hati-hati, dan seperti biasa, kalau kabut jangan bergerak.”
“Oke, Mas.”
Yoga melihat ke arah Ucok yang sedang berdiri mengamati jalur pendakian dari peta. Yoga menepuk bahu Ucok dan mengajaknya berbicara.
“Mereka masih baru atau udah ada yang pernah nanjak?” tanya Yoga.
“Tak pikir koen wes eroh.”
“Nggak tau.”
“Takok o Dian ae.”
“Yawes.”
Yoga berjalan menuju ke warung yang ada di depan Pos. Dia duduk dan bertanya pada mereka yang ikut dalam pendakian itu.
“Sudah ada yang pernah sampai puncak?” tanya Yoga.
“Belum, Mas. Palingan juga cuma sampai Kokopan aja.”
“Kenapa nggak lanjut?”
“Waktu itu temenku ada yang sakit, jadi aku bawa dia turun.”
“Hmm, yang lain gimana?”
“Cuma alap-alap.”
“Owh, di Kake Bodo?”
“Iya.”
Setelah memastikan jika mereka memang masih baru. Yoga menjelaskan mengenai jalur yang akan mereka lalui selama beberapa jam kedepan. Dan setelah kegiatan makan selesai, mereka mulai berjalan menuju ke Pos satu Pet Bocor.
Perjalanan menuju ke Pet Bocor sekitar tiga puluh menit. Jalanan untuk menuju ke sana masih terbilang mulus. Karena jalur yang dilalui adalah jalanan aspal, dan bukan bebatuan. Hanya saja, tanjakan cukup curam untuk awal.
Di sana akan terlihat siapa yang terbiasa melakukan olah raga dan tidak. Dua diantara mereka mulai berat mengambil napas dan sesekali berhenti untuk minum.
Posisi dibagian depan ada Ucok, sedangkan Yoga ada di bagian paling belakang. Dian ada di bagian tengah untuk memantau mereka yang masih baru.
“*Cok! Aman?” teriak Yoga.
“Awas motor!” teriak Ucok.
Beberapa dari mereka akhirnya berhenti dan membiarkan motor yang turun untuk melewati jalan itu terlebih dahulu.
“Mas, masih jauh?”
“Baru juga awal.”
“Oke deh.”
Setiap kali mereka sudah terlihat jauh, Yoga selalu menggunakan jalur kompas. Dia tidak melewati jalur utama melainkan melewati jalur yang dibuat sendiri oleh beberapa orang.
Setelah jalanan menanjak, akhirnya mereka sampai di jalanan yang datar. Yoga hanya tersenyum melihat para pendaki baru bernapas berat.
“Pet Bocor udah ada tuh di depan sana. Kalian kalau mau rehat bentar gapapa.”
“Oke, Mas.”
Yoga berjalan mendahului mereka, dan melihat Ucok sudah duduk dengan memakan gorengan yang dijual di warung Emak. Seperti itulah mereka menyebutnya, Penjual di sana adalah orang tua Midas. Meski sudah tua dan rentan, Emak selalu membuka warung dan mempersilakan para pendaki untuk beristirahat di sana.
Tidak hanya gorengan yang bisa mereka dapatkan di sana. Emak juga menjual mie instan, dan beberapa jajanan lainnya.
“*Cok, gentian kamu belakang!” ujar Yoga.
“Males, awakmu engkok ninggal aku!”
“Hahaha, enggak lah!”
“Iyo, koen mesti ngunu soale!”
Yoga hanya mengangkat bahunya sekilas, lalu dia terlihat meraih gorengan yang ada di meja. Suasana di sana sangat sejuk dan dingin. Membuat para pendaki menikmati suasana di sana.