Tak hanya kemarin, Rora juga tidak menyapanya hari ini. Gadis itu yang biasanya ke kelasnya saat jam istirahat, justru tidak kelihatan. Begitu juga saat mereka berada di kantin sekolah, tidak tampak batang hidung Rora. Tak hanya Rora, Hilda, sahabatnya juga tidak tampak. Entah ke mana kedua gadis itu, ia merasa yakin jika mereka tengah menghindarinya.
Semua gara-gara gosip murahan tentang dirinya yang berpacaran dengan Raysa, tersebar. Celakanya sampai sekarang ia masih belum tahu siapa yang sudah menyebarkan. Tidak, ia tidak akan melakukan tindakan kekerasan, hanya menegurnya saja seandainya mengetahui siapa yang sudah mencemarkan nama baiknya.
Baiklah, mungkin terdengar sedikit berlebihan jika disebut sebagai pencemaran nama baik, ia hanya mengatakan itu sebagai perumpamaan. Namanya yang bersih, tidak pernah digosipkan dengan seorang gadis pun sekarang justru tercatat sebagai seorang yang memiliki kekasih.
Bukan, bukannya ia tidak ingin digosipkan dengan gadis-gadis karena memiliki kelainan, ia hanya tidak ingin ada yang salah paham. Contohnya, Rora yang sampai sekarang masih mendiamkannya.
Resky mengembuskan napas dari mulutnya dengan sedikit kasar. Tak apa jika ia dinilai sebagai seseorang yang frustasi karena pada kenyataannya memang seperti itu, untuk saat ini. Semuanya menjadi sangat tidak menyenangkan baginya. Tanpa kehadiran Carora Maharani, hidupnya terasa seperti abu-abu, tak berwarna.
"Gue nggak mau manas-manasin lu, ya, Ky, ya, tapi kayaknya Rora beneran marah, deh sama lu," ucap Ilham merangkul bahu Resky. Mereka berada di kantin, menunggu Arif yang tengah mengantre untuk mereka. Sudah sejak beberapa menit yang lalu, tetapi bocah menyebalkan itu masih belum kembali. Sebab bosan karena Resky hanya berdiam diri saja, Ilham mulai mengajaknya mengobrol.
Resky tidak menggubris, ia sudah tahu hal itu. Jika tidak marah, tak mungkin Rora mendiamkannya seperti ini.
"Rora kayaknya cemburuan, Ky." Ilham tertawa cekikikan, menutup mulutnya dengan tangan kanan seperti anak gadis yang tengah malu. "Gue yakin, deh, dia tuh juga suka sama lu!" katanya berapi-api.
"Terus?" tanya Resky tanpa minat. Ia juga sudah tahu mengenai hal ini, Rora menyukainya. Namun, ia diam saja karena tak ingin persahabatan mereka jadi terasa awkward.
"Terus, ya, lu tembak lah kalo lu juga suka sama dia!" Ilham membelalakkan mata gemas. "Jangan lu biarin aja. Ntar kalo diambil orang, mampus lu!" makinya sedikit keras untuk mengimbangi suara teman-teman mereka yang lain.
Kantin memang selalu ramai saat jam istirahat pertama seperti sekarang ini. Nyaris seluruh siswa tumpah ruah di beberapa kantin yang ada di sekolah. Hanya sebagian kecil yang tidak mau berdesakan di kantin. Mereka adalah orang-orang yang bisa dibilang freak, dan jumlah mereka dapat dihitung dengan jari. Biasanya anak-anak yang tergolong kategori ini lebih suka menghabiskan waktu di taman atau tempat lainnya yang tidak diminati saat jam istirahat.
"Doa kamu jelek bener, Ham." Resky mendesis. Ia memalingkan mukanya yang menekuk, memprotes apa yang dikatakan Ilham. Kepalanya sedikit menggeleng, tak ingin membayangkan kemungkinan yang terucap dari mulut salah satu sahabatnya. Entah dirinya akan menyikapi bagaimana seandainya itu benar terjadi, bahwa Rora bersama laki-laki lain. Ia tidak sanggup melihatnya.
"Gue nggak lagi ngedoain lu, gue cuman ngasih tau lu aja, Reski Airangga!" Ilham meraup wajah Resky gemas.
Resky menatap Ilham tajam. Bukan karena apa yang dilakukannya, tetapi apa yang sudah dikatakannya. "Setiap ucapan bisa menjadi doa, lupa?" tanyanya.
"Oops!" Lagi-lagi Ilham menutup mulutnya dengan tangan.
Resky bergidik melihatnya, ngeri. Terkadang Ilham memang suka bertingkah seperti perempuan, yang membuatnya terlihat seperti seorang pemuda berkelakuan menyimpang. Namun, Resky tahu itu hanya akting, Ilham pemuda yang normal sama sepertinya dan Arif.
"Maaf, ya, Tuan Resky Airangga yang lagi sensitif, gue nggak bermaksud kayak gitu. Gue cuman mau lu lebih semangat lagi!" Ilham mengangkat kepalan tangannya. "Kalo emang suka, lu kasih tau aja langsung, jangan nanti nanti. Ntar kalo duluan yang lain, 'kan, lu juga yang susahnya."
Resky mengusap wajah kasar, menoleh ke belakang untuk memeriksa apakah Arif sudah selesai atau masih lama. Ternyata pemuda itu sudah berada di depan kasir dan membayar pesanan.
"Gue nggak mau saat gosip soal gue sama Raysa masih aja bergulir. Gue nggak mau kalo gue jadian sama Rora, ntar dia disebut sebagai cewek yang merebut gue dari Raysa," kata Resky lirih. Ia tak ingin ada orang lain yang mendengar apa yang dikatakannya. "Gue pengen nama gue bersih dulu, nggak disangkutpautkan lagi sama Raysa, baru gue nembak Rora."
"Wuih, serius lu?" tanya Ilham semangat. Tak sadar mereka berada di mana, ia mengeraskan suaranya.
"Kita di kantin, Ham!" tegur Resky, kemudian ia mengangguk membenarkan apa yang diucapkan Ilham.
Ilham meringis, kembali duduk setelah tadi berdiri saling semangatnya. "Gue dukung apa pun rencana lu!" Ia menepuk bahu Resky agak kuat, mengabaikan belalakan mata seorang gadis yang berdiri di belakang Resky.
Rora membelalak gemas menatap Ilham, sinar matanya mengancam. Sudah sejak beberapa menit yang lalu dia berdiri di tempatnya sekarang. Dia meletakkan telunjuk di depan bibirnya, meminta Ilham untuk tidak memberi tahu Resky. Dadanya menghangat mendengar penuturan pemuda itu. Resky mencintainya.
Meskipun sudah menduga, tetap saja apa yang didengarnya membuat ingin melompat-lompat saling senangnya. Di dalam dadanya, jantungnya menabuh dengan kencang, seolah sedang berpesta. Pipinya terasa memanas, napasnya sedikit sesak. Satu hal, dia bahagia.
Bukan hanya karena pengakuan Resky yang ternyata mencintainya, tetapi juga setelah mengetahui fakta yang sebenarnya, bahwa tidak ada hubungan apa-apa antara Resky dan Raysa. Dia memang sudah menduganya, tetapi masih belum yakin karena belum mendengar langsung dari mulut Resky sendiri. Sekarang dia sudah yakin, dan berniat untuk membantu Resky mencari dalangnya yang sudah menyebarkan gosip itu.
"Eh, ada Rora!"
Seruan Arif membuat Rora ketahuan. Dia membelalak menatap Arif, pipinya yang sebulat bakpao menggembung.
"Sejak kapan di situ, Ra?" tanya Arif mengabaikan tatapan membunuh gadis itu. "Nggak dapat tempat duduk, ya?"
Arif sengaja. Ia tahu Rora sejak tadi berdiri di belakang Resky, dan menguping percakapan Resky dan Ilham. Arif hanya ingat n Resky tahu jika Rora sedang berada di belakangnya, dan kelihatannya gadis itu sudah tidak marah lagi pada sahabatnya.
Resky yang terkejut spontan berbalik, berdiri dengan cepat melihat gadis yang sedang dibicarakannya bersama Ilham ternyata sudah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan.
"Rora? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Resky dengan sepasang alis berkerut. Apakah Rora sempat mendengar percakapannya bersama Ilham tadi? Astaga, betapa memalukannya!
"Dia barusan mau lewat. Benar, 'kan, Ra?"
Rora mengangguk cepat. Diam-diam mengembuskan napas lega karena Ilham membelanya. Dia akan mentraktir Ilham nanti, mungkin dengan makan siang di rumahnya bersama Mama. Resky, Arif, dan Ilham sudah sering berkunjung ke rumahnya, entah untuk mengerjakan tugas kelompok ataupun hanya berkunjung saja. Mereka menyukai masakan Mama, kata mereka sesuai dan cocok dengan lidah mereka.
"Nyari tempat duduk, tapi nggak ada yang kosong lagi," sahut Rora memasang wajah sekalem mungkin.
"Sambil nguping omongan Resky sama Ilham. Bener, 'kan?" Arif tertawa. Ia meletakkan nampan besar berisi tiga porsi makan siang di atas meja mereka. "Padahal lu nggak perlu nguoing, Ra, Resky tetap bakalan bilang kalo dia sudah sama lu!" Ia menaik-turunkan alisnya menggoda.
"Apa, sih, Rif?" Resky mendelik tajam.
Arif dan Ilham saling tos kemudian tertawa bersama.
"Perasaan tadi kamu bilang mau nembak aku, tapi nggak sekarang karena nggak mau aku dituduh perebut pacar orang." Rora melakukan hal yang sama dengan yang Arif lakukan, menaik-turunkan alisnya menggoda Resky. Dia sudah memutuskan untuk tidak akan berpura-pura lagi di depan Resky, biarkan saja Resky tahu jika dia tadi menguping percakapannya bersama Ilham.
"Kamu ... denger?" tanya Resky terbata. Wajahnya kembali terasa panas, kali ini bahkan sampai ke telinga. Tidak, tak hanya sampai di situ, tetapi seluruh kepalanya terasa terbakar. Resky mendelik, menatap Ilham dengan tatapan penuh ancaman. Ia yakin sahabatnya itu sudah mengetahui, tetapi Ilham diam saja agar ia terus berbicara.
Rora mengangguk manis. Senyumnya membuat Resky meleleh. Rasa kesal dan marah yang tadi memenuhi dadanya perlahan sirna, berganti hawa sejuk pegunungan karena Rora duduk di sebelahnya.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap mereka dengan tatapan menusuk. Kedua tangan orang itu mengepal kuat, napasnya memburu. Tatapannya penuh kebencian saat menangkap kemesraan Resky dengan gadis yang paling dibencinya.