OEK... OEK…
Begitulah tubuh Almeera merespon aroma tubuh pria itu. Aroma yang menusuk indra penciumannya.
Almeera menutup rapat hidung dan mulutnya yang sudah tertutup masker, namun aroma tubuh pria itu benar-benar kuat. Saking kuatnya, perut Almeera sampai bergejolak ingin memuntahkan seluruh isinya.
Untuk sesaat, hanya sepersekian detik, dua pasang mata itu saling bertatapan. Benar-benar tanpa sengaja dan berakhir dengan cepat karena Almeera sudah berjalan dengan terburu-buru sambil memegangi mulutnya. Ia masuk ke bilik toilet dan memuntahkan isi perutnya.
Sekilas, benar-benar hanya sekilas. Tapi, tatapan mata itu membuat tubuh Alroy kaku di tempat. Ia tak bisa melupakan mata itu. Mata yang selalu menatapnya dengan tatapan kepedihan. Mata yang selalui menghantuinya bertahun-tahun terakhir ini. Mata yang sama, yang selalu hadir di mimpi-mimpinya.
Alroy berjalan mondar-mandir di depan toilet menunggu wanita itu. Menunggu pemilik mata menyedihkan itu, yang Alroy harap adalah jawaban dari mimpi-mimpi anehnya.
“Bisakah kita berbicara?” tanya Alroy dengan cepat sambil berjalan mendekati Almeera ketika melihat wanita itu keluar dari toilet.
Kedua pengawal Almeera langsung bergerak maju untuk menghadang Alroy agar tidak semakin mendekat. Sekali lagi perut Almeera bergejolak dan ia berakhir mendorong kedua pengawalnya agar bisa masuk ke dalam toilet lagi.
“Maaf Tuan, tolong jangan mengganggu Nona kami,” ucap Kejora, yang lebih sering dipanggil Jojo oleh Almeera.
“Aku ingin berbicara dengannya,” sanggah Alroy dengan nada tegas, dengan nada suara memerintah.
Kejora memasang tubuhnya di depan Alroy, begitu pun dengan Bintang, saudara sepupunya yang juga menjadi pengawal Almeera.
Alroy tertawa melihat dua wanita itu, ia bisa menjatuhkannya dalam sekali gerakan tapi Alroy tidak menyentuh wanita untuk urusan pemukulan dan bantai-membantai.
“Tolong jangan mengganggu Nona kami, Nona kami sedang sakit.” Bintang bersuara dengan tegas.
Bintang memelototi Alroy dengan tatapan mata tajamnya, berharap jika pria itu akan ketakutan seperti pria-pria lainnya. Yang nyatanya tidak mempan karena Alroy justru berakhir mengulum senyum setelah dipelototi oleh Bintang. Merasa canggung karena pelototan matanya gagal, Bintang memilih menendang betis Alroy.
Yah, Bintang memang lebih emosian dari Kejora. Bukannya mengaduh kesakitan atau terjatuh karena tendangan Bintang, Alroy justru menertawakan wanita itu. Yang membuat Bintang makin emosi dibuatnya.
“Ah sudahlah,” cegah Kejora pada Bintang karena sadar jika saudara sepupunya itu kini berniat menguliti Alroy.
Almeera akhirnya keluar dengan wajah pucat ditambah tubuhnya yang mendadak lemas gara-gara kebanyakan muntah.
“Ah pergilah, kau sangat bau,” sahut Almeera dengan suara menggerutu, menggunakan sisa-sisa tenaganya yang tersisa.
“BAU??” tanya Alroy tak terima.
“Iya, kau sangat bau. Apa kau tak punya air di rumahmu untuk mandi? Kalau kau tak punya air di rumahmu, mandilah di sini," tunjuk Almeera pada toilet pria. “Jauh-jauhlah, aku bisa mati gara-gara kau,” lanjut Almeera sambil mengibaskan tangannya sebagai perintah agar Alroy menjauh darinya.
Apakah Alroy menjauh? Nyatanya tidak, karena pria itu masih mengekorinya hingga Almeera masuk ke ruangan dokter Wulan.
“Apa-apaan ini?” cerca Bintang dan Kejora bersamaan saat Alroy sudah mengambil posisi di dalam ruangan dokter Wulan.
“Al, aku punya jadwal dengan pasien lain. Jadwalmu hari ini sudah selesai,” ucap dokter Wulan seraya mempersilahkan Almeera duduk.
“Aku menemukannya. DIA …,” tunjuk Alroy lurus pada Almeera.
Almeraa berbalik, ia memastikan arah telunjuk pria berbau tak sedap itu, yang nyatanya benar-benar terjurus padanya.
“Apa aku tersangka?” tanya Almeera dengan bingung.
Masih sambil menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangan, Almeera memandangi Alroy dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berani-beraninya pria itu menunjuknya selayaknya tersangka. Mengatakan bahwa ia menemukan dirinya. Padahal Almeera merasa tak pernah mengenalnya dan tak berniat mengenalinya sedikit pun, karena pria itu sangat menjijikkan menurutnya.
Berada di ruang tertutup adalah neraka bagi Almeera karena aroma tubuh pria yang masih menunjuknya itu. Almeera menahan napas sambil menunggu penjelasan kenapa pria itu menunjuknya seolah ia telah melakukan sesuatu yang salah.
“Sampai kapan kau akan menunjukku?” teriak Almeera, bukan hanya karena emosi tapi lebih karena tak tahan dengan aroma tubuh Alroy. “Apa kau akan menunjukku sampai telunjukmu itu mengeluarkan air mancur?”
Dengan ekspresi kesal, Alroy menarik tangannya.
“Aku menemukannya.” Sekali lagi Alroy menegaskan ucapannya pada dokter Wulan. “Dia ….”
Belum sempat Alroy menyelesaikan ucapannya tapi Almeera sudah bangkit berdiri untuk meninggalkan ruangan itu. Ia harus mencari udara segar untuk mengisi paru-parunya yang terkontaminasi bau tubuh Alroy. Sialnya, belum sempat ia keluar, Alroy malah menahan tangannya.
Kedua pengawal Almeera kalah cepat dan tak sempat melakukan apa-apa hingga akhirnya Almeera hanya sempat melepaskan maskernya dan muntah di kemeja Alroy. Tepat di bagian lengan pria yang sedang memegangi tangannya. Dua kali Almeera memuntahkan isi perutnya hingga ia berakhir terjatuh di lantai karena lemas.
“Maaf, dokter Wulan. Saya mengotori ruangan Anda,” ujar Almeera dengan lirih karena menyesal.
“Maaf ke dokter Wulan?” Alroy sedikit tertawa, bukan karena lucu, tapi karena kesal. “Bukankah kau seharusnya meminta maaf kepadaku terlebih dahulu karena muntah di lenganku?” tanya Alroy dengan suara kesal.
Almeera mencebikkan bibirnya. “Kenapa kau menahanku? Aku butuh udara segar karena kau sangat bau tapi malah menahanku di sini. Ini salahmu sebenarnya,” kilah Almeera sambil mengkode dua pengawalnya untuk membantunya berdiri. “Kenapa kau sangat menjijikkan?” sambung Almeera lagi, bukan karena bertanya, tapi lebih karena menggerutu kesal.
Bintang dan Kejora membantu Almeera berdiri sementara Alroy menghela napas panjang melihat lengannya yang basah. Bukan karena air, tapi karena muntahan Almeera. Hal yang paling membuatnya kesal adalah saat Almeera mengatakan bahwa ia menjijikkan dan bau. Bau dari mana, padahal aroma tubuhnya baik-baik saja.
Dokter Wulan sedikit menertawakan Alroy, ia menunjuk pintu toilet di ruangannya untuk meminta Alroy bersih-bersih. Selanjutnya, ia tak lupa meminta asistennya untuk meminta cleaning service untuk membersihkan bekas muntahan Almeera.
“Apa yang terjadi dengan dua orang itu?” tanya dokter Wulan pada dirinya sendiri sambil tertawa.
Sepanjang membersihkan dirinya di toilet, Alroy tak berhenti mengumpat dan menggerutu. Saat ia harusnya mendapatkan jawaban dari wanita yang ia mimpikan selama bertahun-tahun ini malah menjadi kesialan baginya. Sekali lagi Alroy menggerutu sambil menggosokkan tissue basah yang memang tersedia di toilet itu ke lengan kemejanya.
Alroy mengangkat lengan kanannya mendekat ke arah hidungnya lalu berakhir kembali mengumpat karena aroma muntahan Almeera yang ikut-ikutan membuat perutnya bergejolak.
“Sial,” gerutunya.
“Apa dia gila?” sambungnya lagi.
“Dikira aku tempat sampah apa?”
“Dasar orang gila”
“Apa dia aneh?
“Makhluk apa sih dia?
“Orang wangi begini dibilang bau.”
Tak henti-hentinya Alroy menggerutu hingga terdengar suara ketukan dari balik pintu toilet.
“Apa?” tanya Alroy dengan ketus.
“Ketahuilah, tak ada orang normal yang datang ke tempat ini. Jadi berhentilah terus menyumpahinya. Karena kau pun sama saja,” ucap dokter Wulan dengan suara yang sengaja ia nyaringkan.
Mendengar ucapan dokter Wulan membuat Alroy semakin kesal. Tapi, memang benar itulah kenyataannya. Jika Alroy normal, ia tak akan datang kepada psikiater. Begitupun dengan Almeera, jika ia tak mengalami keanehan, ia tak akan bertemu dengan Alroy di tempat itu dan dengan cara yang mengesalkan.
Selama satu tahun terakhir, Alroy mendapatkan terapi dan pengobatan dari dokter Wulan. Yang selama satu tahun ini sebenarnya tak menghasilkan apa-apa, karena Alroy masih terus memimpikan wanita itu. Ah, setidaknya hari ini ia menemukannya. Meski pertemuan mereka agak, hmm … bagaimana yah menyebutnya, agak menjijikkan.
Satu tahun menjalani terapi dengan dokter Wulan membuat Alroy cukup dekat dengan sang dokter. Karena terbiasa untuk menceritakan tiap mimpi-mimpi anehnya membuat hubungan mereka tak lagi sebatas dokter dan pasien, tapi mulai menjadi sahabat. Dua orang itu terkadang menghabiskan makan siang atau kadang-kadang makan malam seusai jadwal terapinya.
****