Seorang wanita tengah berdiri sambil menelpon di depan pintu rumah milik Ezra. Troy serta merta berlari sambil meneriakkan nama wanita itu.
Vika, yang selama ini hanya Daya tahu lewat foto, adalah adik kandung Ezra satu – satunya.
Dengan wajah sumringah, Vika menangkap Troy yang berlari ke pelukannya. Daya melihat kemiripan antara Vika dengan bosnya. Mereka berdua memiliki mata sipit yang menjorok ke dalam, namun berbeda dengan Ezra yang berwajah ramah. Jika tidak tersenyum, Vika akan dinilai sebagai perempuan judes karena bibir tipis dan mata sipitnya yang terlihat sinis.
Daya tersenyum seraya meminta diri untuk membuka pintu yang terkunci, Vika mengangguk kecil dan kembali asyik bercengkrama dengan Troy.
"Masuk Mbak Vika," ajak Daya.
Vika menggandeng Troy masuk ke dalam rumah dan bertanya minuman apa yang mereka punya.
"Bapak punya banyak teh, Mbak Vika mau saya buatkan?"
Vika tampak berpikir sebentar dan bertanya pada keponakannya apa yang ingin dia minum.
"Aku mau es milo aja dong Kak!" Pinta Troy.
"Sama." Vika mengikutinya dan berkata pada Daya dengan wajah datar.
Daya menganggukkan kepala dan berlalu untuk meletakkan tas Troy sebelum membuatkan pesanan adik tuannya. Dari ruang tv, Daya mendengar percakapan antara Troy dan Vika. Beberapa pertanyaan dilayangkan pada anak asuhnya itu, dan yang membuat Daya tertarik ketika Vika bertanya tentang dirinya pada Troy.
"Suka sama mbak yang baru enggak?" Tidak ada jawaban dari Troy, Daya mengasumsikan anak asuhannya menjawab dengan gestur. "Mbaknya baik?" Lagi – lagi tidak ada jawaban Troy.
Daya selesai membuatkan minuman untuk kedua majikannya, Vika diam dan memainkan rambut Troy yang sedang fokus melihat layar ipad yang Daya duga milik Vika.
"Diminum Mbak Vika." Vika mengucapkan terima kasih dengan singkat. "Troy ganti baju dulu yuk."
Troy bergeming dan memilih menekan – nekan layar.
"Troy," panggil Daya lagi.
"Ambilin bajunya aja Mbak." Vika merespon tanpa mengalihkan wajah dari kepala Troy yang tengah duduk di pangkuannya.
Daya mendesah pelan dan berlalu ke kamar Troy untuk mengambilkan baju ganti untuk anak asuhannya. Daya menyadari tatapan tidak suka Vika sejak mereka pertama kali bertatap wajah di depan tadi. Meski untuk alasan yang tidak jelas, Daya khawatir akan tatapan sinis Vika.
***
Ezra pulang lebih awal hari ini. Rupanya Vika mengabari sang kakak bahwa dirinya sedang mengunjungi Troy.
Daya tengah memasak untuk makan malam Ezra dan yang lain, sementara anak asuhannya dan sang tante sedang menonton film di kamar Troy. Ezra menyapa Daya saat hendak melihat putranya sebelum dirinya kembali masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri.
Suara tawa Troy dan antusiasnya mengomentari film yang mereka tonton terdengar hingga ke ruang makan di mana Daya sedang menyiapkan meja. Suara Troy mendekat, diiringi suara kakinya yang berlari menghampiri Daya.
"Minum Kak." Pintanya dengan wajah berseri – seri.
Daya tersenyum dan mengambilkan minum untuknya dalam botol plastik agar bisa dibawa Troy kembali ke dalam kamar.
"Terima kasih, Kak Daya." Ucapnya ketika Daya menyerahkan botol berwarna biru.
"Sama – sama, Troy."
Anak itu kembali ke dalam kamarnya dengan berlari dan meminta Vika kembali memutarkan film yang sedang mereka tonton.
Selesai menyiapkan semuanya, Daya memanggil Vika dan Troy untuk menyantap makan malam.
"Kita enggak jadi makan di Holycow, Tante?" Troy menoleh pada Vika.
"Jadi," jawab Vika pada keponakannya. Wajahnya kini menghadap Daya yang menatap penuh ragu. "Kita mau makan di luar Mbak. Makan duluan saja." Vika kembali melihat layar ipadnya yang memutar film Coco.
Daya masih bergeming. Berusaha menjernihkan pikirannya yang sempat mencaci informasi dari Vika barusan. Seharusnya Vika memberitahu sebelum dia memasakkan semua makanan yang kini akan segera kehilangan peminatnya. Daya merasa melakukan hal yang sia – sia.
Suara pintu kamar Ezra yang terbuka, membuat Daya tersadar dan berlalu dari kamar Troy. Di depan sekat yang menghubungkan ruang makan dengan ruang depan, Ezra berdiri dan mengangkat alis ketika melihat Daya yang berjalan dengan bahu lunglai. Daya tersenyum pahit dan mengangguk, meninggalkan Ezra yang kebingungan.
"Kamu sudah masak, Daya?" Ezra mengikutinya ke ruang makan dan menatap sajian di atas meja. "Vika enggak bilang ya kalau kita mau keluar dinner."
Daya menggeleng lemah.
"Enggak apa – apa. Bisa saya simpan di kulkas untuk besok." Daya mendapat solusi.
Ezra merapatkan bibirnya dan mengangguk.
"Ikut ya, simpan dulu semua ini terus siap – siap."
Daya hendak menjawab ketika dilihatnya di belakang Ezra tatapan Vika yang tidak bersahabat padanya.
"Saya di rumah saja, Pak."
"Lho kenapa?"
"Ayo Mas!" Vika berseru, menginterupsi percakapan Ezra dengan Daya. "Lama banget mandinya."
"Ayo Yah!" Kini Troy ikut berseru. "Aku sudah ganti baju."
"Ayo Daya." Ajak Ezra sekali lagi.
Daya tersenyum dan menggeleng sopan. "Enggak apa – apa. Saya di rumah saja, mubazir ini semua kalau enggak ada yang makan."
Ezra menghela napas dan kembali menatap ke atas meja.
"Maaf ya Daya. Kita pergi dulu."
Daya menggangguk lagi, Troy melambaikan tangannya dan berpamitan pada Daya. Yang dijawab Daya dengan lambaian tangan cepat dan berpesan hati – hati pada tuannya.
Setelah mobil Ezra menjauh, Daya kembali memasuki rumah dengan perasaan hampa dan sedikit kesal pada Vika. Kemudian, Daya menyadari, tentulah Vika menganggapnya hanya sekedar asisten rumah tangga. Tidak lebih. Baginya mungkin biasa membiarkan seorang ART melakukan pekerjaan dan menjadikannya sia – sia. Toh memang mereka dibayar untuk itu, melakukan semua pekerjaan rumah. Digunakan atau tidak. Memasak untuk mereka, dimakan atau tidak.
Namun, bagi Daya yang tumbuh besar di panti asuhan, mendapatkan makanan yang layak adalah hal mewah. Baginya membuang – buang makanan adalah hal kejam ketika mungkin banyak orang – orang di luar sana sedang berjuang atau bahkan bermimpi untuk bisa merasakan kemewahan itu. Daya menghela napas dan menyantap masakannya sebelum menyimpan mereka semua ke dalam lemari pendingin. Karena Daya tahu, setiap makanan yang masuk di sana biasanya langsung dibuang keesokan harinya oleh bu Desi karena Ezra dan Troy tidak pernah memakan makanan yang dihangatkan. Daya berjanji, dia yang akan menghabiskannya besok dan memberikan masakan baru untuk tuan – tuannya.
Selesai makan, Daya membereskan ruang makan dan kamar Troy. Sebuah pesan masuk membuatnya teralih dari merapikan sprei tempat tidur tuan mudanya. Rupanya dari Ezra yang mengatakan pada Daya untuk beristirahat tanpa menunggu mereka pulang. Daya menjawab, mengiyakan. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan ketika Daya selesai merapikan semuanya. Dia bergegas kembali ke dalam kamar dan menyalakan kipas angin.
Ezra lupa untuk memanggil tukang yang membenarkan ac di kamarnya dan membuat Daya membeli kipas angin untuk dirinya sendiri agar tidak kepanasan saat tengah malam. Sebuah panggilan membuatnya dirinya yang sedang mengganti baju tidur menoleh. Nomor asing terpampang di layar ponsel.
Sekejap Daya merasakan kekhawatiran yang selama ini dia takutkan, benar – benar muncul. Namun, Boy seharusnya tidak tahu nomor Daya yang baru. Karena Daya benar – benar memastikan dirinya tidak bisa dihubungi apalagi dicari oleh pria itu. Deringan itu mati, Daya menunggu dengan cemas, dan benar saja. Nomor itu kembali memanggil. Dipandanginya layar ponsel baik – baik, dengan tangan gemetar Daya menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo?" Suara perempuan yang menyapa. "Daya? Day? Daya ini gue Siska."
Daya mendesah lega ketika si penelpon menyebutkan nama. Siska adalah teman SMA yang merekomendasikan pekerjaan ini untuknya. Dengan suara lega Daya menjawab sapaan Siska yang bertanya mengenai kabar dan sebagainya. Jauh di lubuk hatinya Daya berharap agar Boy segera tertangkap. Hidup atau mati, Daya tidak peduli. Dia hanya ingin terbebas dari rasa ketakutan akan Boy yang bisa saja mendatanginya kembali.
•••