Jika Nicholas Craig membuka jasa shock therapy, pastilah dia akan sukses besar. Tidak percaya? Kau bisa menanyakannya pada Vena, dia selalu mendapatkan kejutan setiap harinya yang membuat jantungnya harus bekerja ekstra dua kali lipat. Contohnya siang ini Vena mendapatkannya. Kemarin Nick mengatakan jika mereka akan pergi lusa yang artinya adalah besok, tapi sekarang Nick mengatakan mereka akan pergi nanti sore. Astaga! Apakah Nick sedang bercanda? Vena yakin tidak karena wajah tampan itu terlihat sangat serius.
"Nanti sore, Pak?" tanya Vena mengulang perkataan Nick. Dia masih belum yakin. Semoga saja tadi dia salah dengar, atau semoga saja tadi Nick salah berkata.
"Kupikir kau memiliki pendengaran yang baik, Miss Curly, jadi aku tidak perlu mengulanginya lagi."
Vena mengerjap beberapa kali, masih berharap jika dia sedang bermimpi. Vena mencubit pahanya diam-diam untuk memastikan dia tengah terjaga, dan itu sakit. Sialan! Ini nyata, Nick benar-benar mengajaknya untuk pergi sore ini. Pergi dalam artian sebenarnya –bekerja, bukan pergi berkencan.
"Pulanglah sekarang agar kau bisa berkemas. Joseph akan menjemputmu tiga jam lagi."
Joseph Jackson adalah sopir pribadi Nicholas Craig. Dia seorang berkulit hitam, usianya pertengahan empat puluh. Banyak yang mengatakan jika Joseph sudah berkeluarga, tapi ada juga yang mengatakan jika Joseph masih sendiri alias bujangan atau duda. Vena tidak peduli dengan semua itu, dia tidak mengurusi apa yang bukan menjadi pekerjaannya. Siapa pun Joseph, jika pria itu bersikap baik dan manis, dia akan memperlakukannya dengan sama.
Vena mengangguk ragu. Bukan karena apa yang ada di pikirannya, melainkan menjawab perkataan Nick. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi dia berbalik, menuju pintu. Nick bukan seseorang yang suka dibantah, Vena sudah sangat hafal dengan semua sifatnya. Nick juga bukan pria yang suka banyak bicara. Dia akan mengatakan apa yang menurutnya perlu saja. Setidaknya di depan umum atau karyawan di perusahaannya, Nick tidak pernah berbicara pada mereka. Dia hanya akan memperdengarkan suaranya pada orang-orang tertentu saja, seperti Vena pada contohnya. Itulah salah satu alasan dia tidak disukai oleh –hampir– seluruh karyawan perempuan di tempatnya bekerja, Nick tidak pernah berbicara pada mereka, tapi sering padanya. Padahal semua itu disebabkan dirinya adalah sekretaris pria itu. Nick juga tidak akan mau berbicara padanya jika dia bukan sekretarisnya.
Vena mengembuskan napas lega setelah duduk di kursinya. Namun, segera saja napasnya kembali berat ketika teringat apa yang diperintahkan Nick tadi. Tentu saja itu perintah, Nick tidak pernah sekedar berkata apalagi meminta. Semua yang keluar dari mulutnya merupakan perintah mutlak yang harus dilaksanakan. Dia harus pulang sekarang karena jika tidak, waktu untuk sekedar menarik napas pun dia tidak akan memilikinya lagi. Segera saja Vena membereskan semua barang-barangnya, dan melangkah cepat menuju lift.
Pandangan para rekan kerjanya masih sama, menusuk. Namun, Vena tidak menghiraukan. Lebih penting perintah Nick daripada meladeni mereka. Bukan mereka yang memberinya makan, melainkan Nick. Jadi, dia tidak memiliki alasan untuk takut, apa pun yang mereka lakukan padanya.
"Kau sudah akan pulang sekarang, Vena?"
Vena membelokkan langkah menuju meja resepsionis mendengar pertanyaan itu. Beth Wilson adalah resepsionis di Nick's Corps. Dia seorang perempuan berusia nyaris kepala enam, tapi Nick tetap mempekerjakannya meskipun rambut Beth sudah berwarna abu-abu. Tidak tahu apa alasan Nick tetap mempertahankan Beth, Vena yakin pasti ada kelebihan dalam diri Beth sehingga Nick tidak mengistirahatkannya.
"Halo, Beth!" sapa Vena tersenyum manis. Di antara semua karyawan Nick's Corps, hanya Beth sajalah yang ramah terhadapnya. "Iya, Nick menyuruhku untuk pulang sekarang, dia memintaku untuk berkemas."
Mata hijau Beth melebar sedetik, sepasang alisnya yang juga berwarna abu-abu terangkat. "Apakah kalian akan pergi?" tanyanya.
Vena mengangguk tanpa semangat. Jika ada orang tempatnya berkeluh-kesah, Beth lah orang itu. Namun, akhir-akhir ini mereka sangat jarang berinteraksi. Terlalu sibuk dengan pekerjaan merupakan alasan Vena sehingga tidak dapat mengobrol santai bersama lagi. Sementara Beth juga sibuk dengan urusan keluarga.
"Nick ada pertemuan di luar kota, entah berapa hari, dan dia memintaku untuk mendampingi."
Beth mengangguk, mata tuanya menyipit. "Aku yakin pasti pertemuan itu sangat penting sehingga dia mengajakmu."
Beth sudah mengenal Vena dengan cukup baik, dia juga sudah mengetahui kemampuan perempuan berambut pirang dengan kacamata tebalnya ini. Bos mereka tidak akan mengajaknya jika urusan kali ini tidak sepenting itu. Selain mengenal sosok Vena dengan sangat amat baik, dia juga sudah mengenal sifat Nick. Bukan hal yang mudah bekerja padanya, Nick tidak akan mempekerjakan dan mengajak sekretarisnya ke sebuah pertemuan di luar kota yang memakan waktu beberapa hari kecuali bukan urusan penting. Nick biasa pergi bersama Sebastian Smith, asistennya. Namun, kali ini dia mengajak Vena. Berarti pertemuan kali ini pastilah membahas tentang kerjasama yang Nick yakin Sebastian tidak dapat mengatasinya.
"Kupikir juga begitu." Vena mengangguk. Bahunya merosot ketika dia melanjutkan perkataannya. "Dia memberiku waktu tiga jam untuk bersiap."
"Dan, waktu tiga jam milikmu itu sudah terbuang sebanyak sepuluh menit karena kau mengobrol bersamaku." Beth menoleh pada jam dinding yang terpasang beberapa kaki di atas kepalanya. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk jam tangan di pergelangan kirinya. Dia mengingatkan Vena.
"Astaga!" Vena menggeleng kuat beberapa kali. "Maafkan aku, Beth, tapi aku harus pergi sekarang." Dia mengerang. "Kita sambung obrolan kita lain kali!"
Beth hanya mengangguk, dan Vena langsung meninggalkannya. Setengah berlari menuju pintu keluar yang berjarak dua puluh meter di depannya. Waktu tiga jam yang diberikan Nick sudah terbuang, tapi tidak sia-sia. Dia dapat mengobrol dengan orang yang paling dekat dengannya di kantor setelah beberapa lama, dan dia tidak menyesal dengan itu.
Keadaan di luar gedung Nick's Corps sama ramainya dengan di dalam gedung. Jika di dalam gedung Nick's Corps ramai manusia berlalu-lalang, maka di jalanan penuh dengan mobil. Jalur khusus untuk pejalan kaki juga cukup padat. Orang-orang dengan berbagai warna rambut ramai berjalan kaki. Sepasang remaja berambut pirang sedang bergandengan tangan, juga seorang pria berkacamata dan topi kupluk yang menutupi rambutnya, seorang perempuan dengan tubuh tinggi semampai melangkah anggun bersama anjing pudelnya. Baik perempuan berambut gelap itu maupun anijgnya sama-sama menggunakan pakaian agak tebal. Suhu udara rendah sekarang, padahal sedang musim semi yang seharusnya selalu hangat.
Vena berbaur dengan para pejalan kaki. Dia ingin mengunjungi salah satu toko yang berada beberapa blok dari gedung tempatnya bekerja. Tak perlu menaiki bus ataupun kereta, pertokoan itu bisa dicapai hanya dengan berjalan kaki. Seberapa jauhnya tidak akan terasa bila kau berjalan bersama orang banyak seperti ini. Waktu lima belas menit seperti baru beberapa menit saja, dan Vena sudah berdiri di depan toko yang dia inginkan.
Wangi pakaian baru bercampur dengan aroma penyengar ruangan menyeruak memenuhi indra penciumannya begitu Vena membuka pintu toko. Udara yang tadi lumayan dingin berubah menjadi sedikit hangat. Vena memasuki toko, di depan sebuah cermin besar yang berada di sebelah deretan gaun-gaun cantik, dia berhenti. Dia merapikan rambutnya yang berantakan. Embusan angin yang cukup kencang menerbangkan helaian rambut pirangnya yang diikat ekor kuda.
Pakaian dalam wanita berada di sebelah kanan toko. Beberapa kali memasuki toko ini membuat Vena hafal di mana letak semua jenis pakaian. Penjaga toko meletakkannya sesuai jenis, bukan sesuai merek seperti beberapa toko lain yang pernah dimasukinya. Vena melangkahkan kaki ke arah kanan, dia ingin mencari lingerie. Tak apa, 'kan, bergaya sedikit nakal di depan Nick? Dia ingin pria itu melihatnya dalam balutan busana yang lebih terbuka. Jika selama ini Nick hanya melihatnya dalam pakaian formal yang kebesaran, malam di luar kota nanti dia ingin menunjukkan bagian dirinya yang selama ini ditutupi. Hei, dia juga sama seperti wanita lainnya. Bagian tubuhnya –bagian depan dan belakang– tumbuh dan berkembang di tempat yang semestinya. Dia menutupi dengan pakaian longgar karena takut dan tidak percaya diri saja.
Pakaian dalam di toko pakaian ini semuanya cantik-cantik, begitu juga dengan beberapa lingerie yang tergantung di rak. Vena mengambil salah satu yang berwarna hitam transparan, mencoba memadukan di tubuhnya. Sangat cocok, lingerie ini pas di tubuhnya. Dia ingin tampil seperti itu selama mereka di luar kota nanti. Vena bertekad untuk meluluhkan Nicholas Craig dan membuatnya tak bisa berpaling kepada wanita mana pun.
Vena mengambil dua buah lingerie dengan motif berbeda dan warna yang sama. Bukan karena tiba-tiba dia menyukai warna hitam. Hanya saja warna gelap terkesan sexy dan lebih berani secara bersamaan, dan dia ingin Nick melihatnya seperti itu. Tak memedulikan tatapan heran wanita salah satu penjaga toko yang bertugas berjaga di bagain pakaian dalam wanita, Vena membawa kedua lingerie pada kasir. Sungguh dia tidak menyukai tatapan wanita itu. Tatapannya menunjukkan seolah dia melihat monster yang berbelanja, bukan seorang wanita seperti dirinya. Sialan!
Vena mendengkus kasar. Selalu saja dia mendapatkan tatapan seperti itu, seolah dirinya sangat aneh di mata mereka. Tidakkah mereka sadar jika tatapan juga bisa melukai perasaan seseorang? Sepertinya mereka tidak memiliki hati sehingga memperlakukan seseorang seenaknya. Maksudnya .... Hei, dia juga wanita. Lalu, di mana letak kesalahannya jika dia membeli lingerie? Bukankah jenis pakaian itu dikenakan oleh wanita? Lain halnya jika yang membeli baju tidur sexy itu adalah seorang pria, baru dia boleh menatapnya dengan tatapan heran seperti tadi.
Petugas penjaga kasir menyebutkan jumlah yang harus dibayar Vena. Dia membayarnya dengan mengeluarkan kartu kreditnya, kemudian kembali menyimpannya ke dalam dompet setelah transaksi selesai, dan buru-buru keluar dari toko. Dia kehabisan waktu. Masih ada yang harus dibereskan di apartemen setelah ini. Nick hanya memberinya waktu tiga jam untuk menyiapkan semua keperluan yang akan dibawa sore nanti, dan dia sudah menghabiskan selama hampir satu jam di toko pakaian tadi.
Untuk mempersingkat waktu Vena memilih untuk menggunakan taksi sebagai angkutan untuk mengantarkannya pulang. Jika menggunakan bus atau kereta listrik bawah tanah tentu dia harus menunggu dan antre cukup panjang, dan itu kembali akan membuang waktu. Bisa-bisa Joseph sudah menunggunya di depan apartemen ketika dia tiba nanti, dan dia tidak bisa lagi untuk mempersiapkan hal yang lainnya, seperti mempersiapkan diri. Percayalah, dia membutuhkannya agar bisa berhadapan dengan Nick selama beberapa hari ke depan.
Sebuah taksi berhenti tepat di depan Vena ketika dia menyetopnya. Dengan gerakan cepat Vena membuka pintu taksi dan menyebutkan alamatnya ketika sudah duduk. Dia tidak memiliki barang bawaan yang banyak, hanya satu kantong kertas berisi pakaian tidur yang 'nakal' saja sehingga tidak perlu menunggu lama untuk menata barang taksi langsung bergerak menuju alamat yang disebutkannya.
Hanya lima menit dan Vena sudah berada di depan gedung apartemennya. Lalu lintas di jalanan Las Vegas siang menjelang sore ini tidak terlalu padat, mobil taksi dapat melaju dengan kecepatan normal. Vena langsung keluar setelah taksi benar-benar berhenti. tak lupa dia mengucapkan terima kasih pada sopir yang sudah mengantarkannya. Vena memang seperti itu. Para anak muda dan seusianya sangat jarang menyukainya, tetapi dia disukai oleh para manula karena kebaikan hatinya. Hampir semua penghuni gedung apartemen ini yang usianya di atas lima puluh tahun mengenal dan menyukai Vena. Dua sering menolong mereka.
Vena beruntung dia masih memiliki waktu lebih dari satu jam. Mungkin dia bisa menggunakannya untuk tidur atau istirahat yang lainnya agar tubuh dan pikirannya lebih segar saat sore nanti. Vena memasuki kamar mandi, melepas semua yang melekat di tubuhnya. Dia tudak mandi, hanya mencuci muka dan kakinya saja. Namun, dia juga perlu berganti pakaian. Sebab nanti sore akan pergi dan harus mengenakan outfit yang lain lagi, Vena memutuskan untuk mengenakan jubah mandi saja selama menunggu. Dia tak ingin ribet dengan mengenakan pakaian, crop top dan hotpants sekalipun.
Untuk dua jenis pakaian yang disebutkannya tadi, Vena juga memilikinya. Dia sering mengenakannya bila membersihkan unitnya. Tidak mungkin bersih-bersih mengenakan pakaian yang sering dikenakannya saat pergi bekerja, konyol sekali. Jangankan orang lain, dia sendiri pun ingin tertawa melihatnya.
Vena duduk di atas tempat tidur, punggungnya bersandar pada kepala ranjang. Perlahan dia mengangkat kaki dan meluruskannya. Vena mendongak, matanya terpejam. Senyum terbit di bibirnya yang merah meski tanpa polesan. Satu kebiasaan jelek Vena. Dia sering kali lupa untuk mewarnai bibir saat pergi bekerja. Hari ini pun dia melakukannya. Tidak sengaja memang, apalagi hari ini tadi dia hampir terlambat. Beruntung dia hanya melupakan untuk merias wajahnya, entah apa jadinya jika dia lupa menyelesaikan tugas yang diberikan Nick padanya? Mungkin karirnya di perusahaan Nick akan tamat.
Sebab sudah terbiasa bekerja tanpa riasan di wajah, tidak ada yang menegur ketika melihat wajahnya lebih pucat dari biasanya. Rekan-rekan kerjanya malah senang melihatnya seperti maut hidup. Mereka akan dengan gembira kembali menggosipkannya.
Vena membuka mata Mengerjap untuk mengusir kantuk yang datang dengan tiba-tiba. Dia bukan tipe perempuan yang suka dengan yang namanya tidur siang. Sedapat mungkin dia akan menghindarinya. Namun, kali ini kantuk datang dengan hebatnya. Mengerjap, mengucek mata, tidak mempan. Dia tetap menguap, matanya tetap saja berat. Hanya tersisa waktu kurang dari satu jam ketika terdengar dengkuran halus dari mulut Vena. Dia tertidur tanpa sadar.