Awal pekan datang lagi, dan sudah bisa bisa ditebak jika sebagian besar orang di dunia kurang menyukainya. Tidak seperti akhir pekan yang disambut sukacita, awal pekan justru sebaliknya. Tidak ada yang menantikan awal pekan, termasuk Vena. Kedatangannya yang berdekatan setelah dua hari libur membuatnya jadi sangat malas untuk membuka mata. Sama seperti kebanyakan orang lainnya di luar sana, Vena berharap hari Senin tak pernah datang.
Bunyi jam alarm sudah sejak beberapa menit yang lalu terdengar. Sebuah lengan terbungkus piyama berlengan panjang terulur ke atas nakas, bermaksud untuk mematikan suara yang sangat mengganggu tidurnya. Namun, segera saja lengan itu ditarik setelah pemiliknya ingat jika hari ini dia harus kembali bekerja, masa libur dua hari telah usai.
Selimut tebal yang menutupi sampai kepala tersibak hingga sebatas pinggang, memunculkan wajah Vena tanpa kacamata dengan rambut pirang yang berantakan. Rambut itu awut-awutan seperti surai seekor singa jantan yang siap menerkam mangsa. Tangannya terangkat untuk menutup mulut yang menguap, sedetik kemudian Vena duduk dengan mata yang masih terpejam. Perlu beberapa detik hingga mata biru itu terbuka. Tidak dengan cepat seperti seseorang yang terkejut, melainkan perlahan.
Udara di kamarnya masih menebarkan aroma malam, membuat Vena menguap sekali lagi. Dia masih mengantuk. Suhu pagi ini terasa lebih dingin dari kemarin, sepertinya cuaca mendung di luar. Ramalan cuaca tadi malam mengatakan jika hari ini akan turun hujan, dan sepertinya itu benar. Vena mengerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Kepalanya menggeleng mengusir pusing. Sesuatu yang selalu dirasakannya setiap bangun pagi. Benar, ini sudah pagi, suara kicau burung dari luar jendela yang memberitahunya.
Vena menyingkirkan selimut dari tubuhnya yang dibalut piyama berwarna merah bata. Menurunkan kaki, kembali menguap sekali sebelum berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Suara pekikan terkejut Vena bergema di kamar mandi selama beberapa detik. Saat melewati cermin besar di depan wastafel, dia terkejut melihat rambutnya yang mekar seperti rambut singa. Terlalu berantakan untuk seseorang yang baru bangun tidur. Rambutnya lebih terlihat seperti seseorang yang baru saja berkelahi dan saling mencakar. Vena menggeleng, cepat-cepat dia melepas piyama –hanya piyama, dia tidak terbiasa mengenakan pakaian dalam ketika tidur– dan berdiri di bawah keran shower. Tidak biasanya rambutnya seberantakan ini, biasanya hanya sedikit kusut saja.
Ritual kamar mandi yang biasanya menghabiskan waktu tidak sampai sepuluh menit sekarang lebih. Vena harus keramas, kemudian mengeringkan, dan menyisir rambut pirangnya. Semua dilakukan di kamar mandi dan sangat hati-hati. Sebenarnya dia memiliki rambut pirang yang halus dan tebal. Kejadian seperti pagi sangat jarang terjadi, bisa dihitung dengan jari. Biasanya karena dia bermimpi buruk saat tidur, atau dia yang lupa mencuci rambutnya lebih dati dua hari. Kulit kepalanya sedikit sensitif dengan debu sehingga dia perlu keramas setiap hari yang biasa dilakukan saat mandi sore.
Vena memilih opsi kedua, dia tidak ingat sudah bermimpi buruk tadi malam. Terlalu lelah bahkan membuat tidurnya tidak disinggahi apa-apa, dia sangat lelap. Membongkar isi lemari hanya untuk mencari outfit untuk dibawa pada acara ke luar kota bersama bos tampannya minggu depan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Dia terkapar setelah makan malam dan bangun pagi. Seandainya alarmnya tidak berbunyi, mungkin sampai sekarang dia masih bergelung dalam selimut.
Vena membuka jendela kamarnya. Burung-burung yang tadi berkicau dan hinggap di pagar balkon serentak terbang menjauh. Suara kepakan sayap mungil mereka mendominasi beberapa saat. Vena tersenyum, kepalanya mendongak menatap langit, pemandangan awan kelabu tertangkap oleh mata birunya. Sepertinya ramalan cuaca benar, akan turun hujan hari ini. Itu artinya dia harus membawa payung ke kantor dan bersiap untuk mendapatkan ejekan lagi sepanjang hari. Vena menggeleng, membawa payung atau tidak dia akan tetap mendapatkan perundungan, juga akan tetap kehujanan karena rekan-rekan kerjanya pasti akan menyembunyikan payungnya seperti biasa, atau membuangnya.
Rekan-rekan kerjanya memang sangat menjengkelkan, selera humor mereka tidak bisa dibilang bagus. Mereka juga tidak bisa dikatakan sebagai rekan kerja, apalagi terkadang mereka bersikap brutal dan bar-bar. Bukan ejekan lagi yang didapatnya, tetapi juga kekerasan fisik. Bila dia tidak menanggapi ocehan mereka, maka mereka akan dengan sengaja menyenggolnya ketika baru dari counter sehingga kopi panas yang mereka bawa tumpah mengenai bagian tertentu tubuhnya. Beruntung mereka tidak pernah mengacaukan pekerjaannya. Jika hanya terkena tumpahan kopi panas dan cengkeraman kuat di lengan, dia masih bisa menahannya, Nicholas Craig juga tidak akan memecatnya karena tubuhnya mengalami lebam atau melepuh. Asal jangan dokumen penting saja yang mengalami keduanya maka dia akan aman.
Omong-omong soal Nick, haruskah dia kembali mencoba menggodanya? Beberapa kali sudah dicoba, tapi tak pernah berhasil. Seandainya dia melakukannya lagi kali, akan menjadi percobaan yang kesekian. Maksudnya, dia selalu berusaha menarik perhatian pria itu –setiap harinya, tetapi selalu gagal. Nicholas Craig tidak akan pernah tertarik pada perempuan yang tidak cantik sepertinya.
Vena berdecak, menarik kepalanya dari jendela dan mulai bersiap. Dia tidak menaiki kendaraan pribadi sebagai sarana transportasi,lebih memilih menggunakan kendaraan umum untuk mencapai kantornya. Mobil sedan kesayangan hanya menjadi penghuni tempat parkir gedung apartemen. Ditambah dengan dirinya yang terlalu malas untuk keluar, mobilnya akan menjadi rongsokan di tempatnya terparkir.
Setumpuk pancake saus madu sudah tersedia di atas piring. Beberapa potongan buah segar menghiasi puncaknya. Sarapan yang sangat mewah bagi seseorang yang tinggal sendirian di apartemen. Vena menyantap sarapannya dengan cepat, dia tak ingin terlambat, tapi juga tak ingin perutnya tidak terisi pagi ini. Dia tidak memiliki teman yang bisa diajak untuk makan siang di kantor, sedapat mungkin dia harus sarapan di rumah, walaupun harus meminum s**u kotaknya sambil setengah berlari demi mengejar kereta bawah tanah.
Beberapa kali Vena tersedak, ada sebagian dari s**u vanilla itu yang langsung mengalir masuk ke lambungnya. Bahkan juga ada yang terasa memasuki hidung, membuatnya merasa seperti tenggelam selama sedetik. Vena menggeleng dan bersin, bersamaan dengan sebelah kakinya menapak ke dalam kereta. Beberapa orang menatapnya, ada juga yang memperhatikan, tapi Vena berusaha untuk tidak peduli. Bagaimanapun kondisinya sekarang, yang penting dia tidak terlambat tiba di kantor nanti.
Rasanya sangat menyenangkan berbaur dengan orang-orang di dalam kereta. Meskipun berbagai aroma menyentak indra penciumannya, tetapi kebanyakan para penumpang beraroma segar pagi hari. Selama dua hari di akhir pekan dia mengurung diri –membongkar lemari pakaian dan kembali merapikannya– membuat hidungnya tidak mencium aroma lain selain aroma keringatnya sendiri yang sudah bercampur dengan wangi parfum favoritnya. Sekarang rasanya lebih segar, Vena tersenyum dalam hati melihat dinding di kanan kirinya yang seolah berlari dengan cepat seperti dikejar okeh sesuatu yang menakutkan. Dia merindukan pemandangan ini.
Yang tidak ingin dilihatnya adalah wajah cantik Amber Lynch yang dipoles dengan makeup tebal. Menurutnya Amber tidak perlu mengenakan riasan wajah setebal itu yang hanya akan membuat wajahnya terlihat berat. Amber juga terlihat lebih tua dari usia sebenarnya yang berada di angka dua puluh empat, tapi seperti seseorang yang sudah berkepala tiga. Di sebelah Amber berdiri Natalie Cook, sahabatnya. Natalie berusia satu tahun di atas Amber atau seusia dengannya, berambut pirang dan memiliki mata karamel yang cantik. Kedua perempuan yang selalu merasa cantik itu menghadang langkahnya.
Kejadian seperti ini yang tidak disukai Vena. Amber dan Natalie pasti akan melakukan sesuatu yang –kemungkinan besar– hanya akan membuatnya terlambat. Pasti itu yang mereka inginkan, membuatnya terlihat buruk di mata Nick sehingga pria tampan itu memecatnya. Sialan! Kalau sudah seperti ini, dia harus melawan yang –tentu saja– akan kembali meninggalkan lebam. Tak masalah asalkan dia tidak terlibat. Nick akan tiba beberapa menit lagi, dan dia belum menyiapkan apa-apa yang dibutuhkan pria itu untuk bekerja seharian ini.
"Apa yang kalian inginkan?" Sebab Amber dan Natalie tidak juga menyingkir setelah hampir satu menit mereka berdiri saling berhadapan, akhirnya Vena bertanya juga. "Bisakah kalian minggir? Aku harus ke mejaku sebelum bos besar tiba."
Tawa kedua perempuan dewasa di depannya terdengar merdu di telinga Vena, sekaligus mengancam. Senyuman mereka seperti senyuman perpisahan yang begitu mengerikan.
"Bagaimana jika kami tidak mau minggir? Apa.yang akan kau lakukan?"
Amber yang bertanya. Tentu saja seperti itu karena peran Natalie di sini hanyalah sebagai pembantu yang setia. Natalie akan mengekor ke mana pun Amber pergi, dan akan selalu mengikuti perintahnya. Vena mengembuskan napas melalui mulut, sikapnya seperti seseorang yang pasrah. Waktu terus berjalan, dia yakin akan terlambat jika terus meladeni mereka berdua.
Vena menggeleng. "Maafkan aku, tapi aku tidak memiliki waktu untuk bercanda bersama kalian," katanya dengan sedikit gugup. Dia berdehem dan membetulkan letak kacamatanya yang merosot. "Sebentar lagi Pak Craig akan tiba, dan aku sudah harus berada di mejaku sebelum itu. Aku tidak mau Pak Craig marah padaku karena terlambat."
"Itu urusanmu, bukan urusan kami," sahut Natalie acuh. Dia melipat tangan di depan d**a, sikapnya menantang.
Vena menggeleng pelan, menarik napas dalam. Sebenarnya dia paling tidak suka ribut-ribut, oleh karena itu dia selalu memilih diam daripada melawan. Namun, sepertinya sekarang dia sudah tidak bisa diam lagi, pekerjaannya dipertaruhkan. Vena tidak akan sudi melepaskan pekerjaan yang sudah susah payah dia dapatkan.
"Kupikir itu juga urusan kalian karena itu yang kalian inginkan. Aku benar, bukan?" tanya Vena dengan mata menyipit. 'Kalian pasti senang jika aku dimarahi Pak Craig kemudian dipecat."
"Benar sekali!" jawab Amber tanpa perasaan. "Bukan hanya kami berdua yang menginginkan itu, tapi seluruh karyawan di kantor ini juga menginginkannya." Senyum mengejek menghiasi wajah cantik Amber. "Kau pasti sudah tahu tidak ada yang menyukaimu di sini. Hanya kau saja yang memaksakan diri untuk berkumpul bersama kami padahal kau sudah tahu jika kau tidak diterima."
"Dasar jalang tidak tahu malu!"
Makian Natalie lebih tidak berperasaan lagi. Mulutnya sangat kasar, dan jujur saja itu sangat menggangu. Natalie adalah salah satu karyawan yang tidak disukai di perusahaan ini. Seandainya dia tudak berteman dengan Amber, Natalie pasti tersisih. Banyak karyawan yang membicarakan, hampir setiap hari setiap makan siang. Vena hanya tidak sengaja mendengarnya.
"Seharusnya kau sudah keluar sejak dulu, atau lebih baik kau tidak pernah bekerja di sini!"
"Kupikir itu bukan urusanmu, Nat!" balas Vena. "Pak Craig yang menentukan siapa yang berhak bekerja di perusahaannya, bukan kau atau siapa pun karyawan di sini. Aku tidak akan keluar dari sini kecuali Pak Craig yamg memecatku!"
"Kau ...!" Natalie menuding telunjuknya di depan hidung Vena. Dia nyaris menerjangnya seandainya tidak terdengar suara deheman dari arah kanan mereka.
Serentak ketiga perempuan itu menoleh. Warna wajah mereka langsung berubah, dari kemerahan menjadi pucat. Nicholas Craig berdiri di sisi kanan mereka dengan tangan terlipat di depan d**a. Tatapan pria itu tajam seperti biasa, seolah menelanjangi siapa pun yang ditatapnya.
"Jangan bertengkar di jalanku, Nona-nona!"
Suara dingin Nick sukses membuat Vena menelan ludah kasar. Rasanya sedikit sakit, tenggorokannya terasa sangat kering. Bukan karena dia beradu mulut dengan kedua rekan kerjanya, melainkan karena tatapan Nick yang lebih panas sinar matahari di musim panas sehingga dapat mengeringkan sumber air.
Amber menyingkir ke pinggir, tubuhnya menempel.pada tubuh Natalie yang merapat ke dinding. Nick merapikan jasnya sebelum melangkah tegap melewati kedua perempuan itu, tanpa bersuara apa-apa ataupun menghiraukan tatapan memuja mereka. Ia sudah terbiasa dengan pandangan seperti itu. Hampir seluruh wanita di Las Vegas menatapnya seperti itu bila bertemu. Mereka memperlakukannya seperti seonggok daging segar, dan mereka –para wanita itu– adalah sekumpulan singa betina yang kelaparan.
Vena tidak melewatkan kesempatan itu. Dia menarik kakinya meninggalkan tempat itu, mengekor di belakang Nick, tanpa menatap lagi pada Amber dan Natalie.
"Ke ruangan saya, Miss Curly! Ada yang harus saya sampaikan."
"Baik, Pak!" Vena mengangguk patuh. Kembali mengikuti Nick memasuki ruangan pria itu.
Ruangan Nick sangat besar untuk ukuran sebuah kantor. Ada dua set sofa dan tempat bermain golf mini, serta bar. Di bagian dalam bar ada lemari berisi berbagai macam minuman dengan kadar alkohol dari yang terendah sampai tertinggi. Nick biasa menjamu tamu dan relasi bisnisnya cukup di ruangannya saja karena.ruangan memiliki segalanya.
"Apa kau sudah menyiapkan jadwalku untuk hari ini, Miss Curly?" tanya Nick sambil duduk di kursi kerjanya. Ia menyandarkan punggung pada sandaran kursi, meminta Vena untuk mendekat dengan gerakan jarinya.
Ruangan yang luas ini terasa sempit bagi Vena. Penyejuk ruangan yang dinyalakan Nick beberapa detik yang lalu seolah tidak berfungsi, dia kepanasan. Titik-titik keringat muncul di pelipisnya. Konyol memang. Padahal Nick tidak melakukan apa-apa, tidak juga terlihat seperti seseorang yang sedang marah sehingga akan memecatnya, tetapi dia sudah ketakutan seperti sekarang. Nick di kursinya laksana malaikat pencabut nyawa baginya. Aroma jantan dari parfum Nick yang selalu membuatnya berkhayal sesuatu yang liar kali ini tak dapat membantu. Syaraf otaknya tetap menyalurkannya rasa takut.
Vena meletakkan tablet yang berisi jadwal Nick di meja, di depan pria itu dengan hati-hati. Hampir saja dia melepaskan tablet sebelum menyentuh meja mendengar perkataan Nick. Wajah Vena merah padam, dia merasa pipinya seakan terbakar.
"Kupikir kau wanita pendiam yang akan tetap diam ketika dijahati. Ternyata kau juga bisa melawan, ya, Miss Curly."