6. Makan Malam Berdua

1506 Kata
Entah berapa kali Raka mengumpat dalam hati, yang jelas ia banyak sekali mengumpat hari itu. Baru saja ia menawarkan dirinya untuk membeli keperluan pribadi seorang wanita. Pembalut wanita! Oh, astaga, Raka sudah lama sekali tidak membeli ataupun melihat benda itu. Namun, ia masih ingat ia pernah membelikan mantan istrinya benda yang sama. Pembalut wanita! "Bilang yang merek apa, aku beliin," ujarnya lagi ketika Aira terlihat tak begitu percaya. "Ehm, aku cariin gambarnya aja." Aira kembali menghilang dari balik pintu, meninggalkan Raka yang ternganga dengan dirinya sendiri. Di kamar, Aira buru-buru merogoh ponsel, berseluncur di dunia maya lalu membuka pintu. "Ini, kayak gini aja." Raka mencoba merekam gambar yang ditunjukkan Aira di benaknya. "Oke. Tapi aku nggak mau beli di warung. Aku ke minimarket aja. Apa itu bisa nunggu?" "Ehm ... ya." Aira mengangguk. Ia paham kenapa Raka tak mau membeli sesuatu di warung. Pria itu pasti menghindari pertemuan dengan warga sekitar sini gara-gara tuduhan pelecehan itu, atau gara-gara pernikahan ini. Yang jelas, itu gara-gara dirinya, pikir Aira. "Aku nggak bakal bikin kotor sepreinya." "Oh." Raka mengangguk. Ia tak berpikir sampai sana, ia hanya menebak Aira sudah sangat sakit perut. "Apa kamu butuh obat juga?" "Pereda nyeri mungkin," jawab Aira ragu. "Oke. Tunggu bentar." Aira menahan napas ketika Raka menyambar sesuatu yang ada di bufet , ia menebak itu kunci motor atau mobil, lalu meninggalkan rumah dengan cepat. "Aku ngrepotin banget," desis Aira. *** Raka menghentikan motornya di depan sebuah minimarket 24 jam yang untungnya tak begitu jauh dari rumah. Ia segera masuk ke sana dan berjalan ke sisi yang mendisplay aneka kapas, pembalut wanita dan popok bayi. "Oh, ya ampun. Ini hari pertama aku jadi suami lagi. Dan ini yang mau aku beli?" Raka membatin. Ia menatap deretan pembalut wanita lalu merasa bingung. "Yang kayak gimana tadi?" Raka tak bisa mengingat apa yang ditunjukkan oleh Aira. Yah, ia ingat kemasan pembalut wanita itu berwarna merah muda. Namun, hanya itu yang ia ingat dan ternyata ada banyak yang memiliki warna itu. Bahkan ia tak ingat seperti apa yang diinginkan oleh Aira. Wing, non wing, maxi, super maxi, night, day, bahkan mereka memiliki panjang yang berbeda. "Ah, sial. Harusnya aku minta dia chat aku. Tapi dia pasti nggak punya nomor aku dan aku juga nggak punya. Udah deh, beli semua aja." Raka mengambil beberapa yang menurutnya paling mirip dengan yang ditunjukkan oleh Aira tadi. Ia menahan malu ketika ditatap oleh seorang pramuniaga lalu segera menuju kasir. Untung saja, kasir sedang sangat sepi jadi ia bisa menyelesaikan transaksi dengan super cepat. Raka melanjutkan perjalanannya menuju sebuah apotek karena ia harus membeli obat pereda nyeri datang bulan untuk Aira. Ia tak tahu mana yang cocok dan memutuskan untuk membeli beberapa sekaligus. Sampai di rumah, Raka segera mengetuk pintu kamar Aira. Gadis itu dengan cepat membuka pintu kamar dan kembali mengeluarkan kepalanya saja. "Aku lupa yang gimana, jadi aku beli beberapa. Kamu pilih sendiri aja," ujar Raka seraya mengulurkan kantong keresek pada Aira yang terkejut dengan belanjaan Raka. "Aku beneran lupa, jangan diketawain." Aira tentu tak berani tertawa. "Aku ... makasih, Mas." "Ada obat juga. Buruan dipakai dan diminum obatnya." "Oke. Makasih," ujar Aira lagi. Raka mengangguk pelan. "Bilang aja kalau kamu butuh sesuatu." Kini giliran Aira yang mengangguk. Ia menutup pintu kamar dan berusaha untuk menenangkan jantungnya yang berlompatan tak keruan saat ini. Ia menunduk, menatap ke beberapa kemasan pembalut wanita yang dibeli oleh Raka. "Banyak banget," gumamnya. Aira tak membuang waktu, ia segera ke kamar mandi dan membersihkan dirinya lalu mengenakan pembalut tersebut. Ia lalu kembali ke kamar dan membaringkan dirinya. Ia tiba-tiba ingat, ia punya obat pereda nyeri, jadi ia segera bangun lagi. Namun, tak ada air di kamar itu. Ia mendadak malu jika harus keluar lagi. Jadi, ia memutuskan untuk menelan saja pil kecil itu. "Untung cuma kecil, jadi bisa ketelen," ujarnya dengan nada lega. Ia berdecak untuk mengurangi rasa pahit di mulutnya. Aira menoleh ke arah pintu ketika ia merasa begitu tenang di rumah ini. Tak ada suara apapun di luar sana. "Apa kamar ini kedap suara?" batin Aira. Di rumah lamanya, jika bukan suara Andi maka akan ada suara keras TV yang disetel ayah tirinya saat malam hari tanpa peduli bahwa besok anak-anaknya harus sekolah. Pria egois. Aira meremang ketika ia mengingat seluk-beluk rumahnya, juga ayah tirinya. Ia menggeleng. Ia tak mau mengingat apapun tentang pria itu. Jadi, ia memutuskan untuk meringkuk di tempat tidur lalu memejamkan mata. *** Malam merangkak dengan lambat. Aira mulai merasa lapar, tetapi ia terlalu malu untuk keluar kamar. Sejauh ini, ia merasa aman. Yah, kecuali insiden datang bulan tanpa persiapan tadi. Ia sadar, ia seorang istri sekarang dan seorang istri seharusnya memperhatikan suaminya, termasuk apa yang hendak dimakan Raka. Namun, apakah ini yang harus ia lakukan? "Ini cuma kram gara-gara mens," ujarnya ketika ia menyangkal rasa lapar di perutnya. Aira membuka tasnya lagi, ia berharap ada biskuit atau apapun yang bisa ia masukkan ke mulut. Namun, tak ada apapun. Ia membuang napas panjang lalu menatap ke pintu. "Nggak ah, aku malu. Aku nggak mau ngerepotin," ujarnya lirih. "Aira! Ayo kita makan!" Aira terkesiap ketika mendengar suara Raka yang diikuti dengan ketukan pintu dari luar. Aira berpikir dua kali, tetapi rasa lapar mengundangnya untuk segera membuka pintu. "Aku beli makanan," kata Raka mengumumkan. "Ah, ya." Aira merespon singkat lalu ia melebar bukaan pintu kamarnya. "Aku boleh makan?" "Tentu aja kamu harus makan. Kamu kurus banget," kata Raka. Pria itu menggigit bibirnya lalu kembali berkata, "Aku nggak bermaksud menghina kamu. Tapi ... kamu beneran harus makan." "Oke." Aira tak protes karena ia memang begitu. Ia sangat kecil untuk anak 18 tahun, ia bahkan akan berulang tahun ke sembilan belas dua bulan lagi. "Ayo." Raka berjalan lebih dulu ke ruang makan dan kembali mengumpat dalam hati. Ia bicara fakta. Aira begitu kurus, mungkin karena stres, mungkin karena ia tak cukup makan. Raka tak bisa menebak alasannya. Yang jelas ia sudah menyentuh tubuh Aira siang tadi ketika ia mengoleskan minyak kayu putih. Aira benar butuh banyak makan. "Wah, Mas Raka beli semua ini?" Aira sudah cukup takjub dengan pembalut wanita yang dibeli oleh Raka, tetapi kini ia dibuat kaget dengan banyaknya makanan di atas meja. "Aku nggak tahu kamu suka apa. Aku mau tanya sama kamu, tapi tadi kamu tidur," kata Raka. Ia mengepalkan tangannya karena ia ketahuan membuka pintu kamar Aira, padahal ia sudah janji untuk tak menerobos. Ia hanya cemas karena gadis itu tak menjawab panggilan dan ketukan pintunya. "Aku cuma ngecek kamu tadi. Maaf, aku nggak akan buka pintu kamar kamu lagi." "Ehm, oke." Aira memutuskan untuk duduk. Ia cukup percaya Raka adalah pria baik, jadi ia tak ingin takut. "Apa Mas Raka suka makanan ini?" "Ehm ... nggak tahu. Beberapa aku belum pernah makan," jawab Raka. Ia yang bingung dengan makanan kesukaan Aira, hanya memilih secara asal. "Tapi kita makan aja. Oke?" "Oke." Aira melirik ayam geprek, rice bowl dengan daging di atasnya, gimbab dan martabak telur di sana. Bahkan, ada es boba di atas meja. Ia mengambil saja yang terdekat lalu mulai makan. "Aku bisa masak," ujar Aira di tengah-tengah mereka makan. "Apa?" Raka menatap Aira penasaran. "Aku bisa masak lain kali, jadi nggak perlu beli banyak makanan. Ini boros," kata Aira. Raka membulatkan bibirnya. Ia hanya mencoba untuk membuat Aira nyaman, tetapi gadis itu mengatainya boros. Sungguh aneh. "Maksud aku ... aku bisa masak buat Mas Raka. Aku minta maaf aku malah tidur," kata Aira dengan nada tak enak. "Kamu baru datang bulan, itu pasti sakit. Jadi nggak masalah kamu istirahat," tukas Raka. Ia meneguk air putihnya lalu kembali menatap Aira yang langsung menunduk. "Aku biasa tinggal sendiri, jadi aku lebih sering beli atau bawa makanan dari tempat kerja. Tapi kadang juga masak. Tergantung mood. Kalau kamu mau masak buat kamu, kamu boleh masak. Santai aja." Aira menggeleng pelan. "Nggak kayak gitu. Maksud aku ... Mas udah ... Mas udah bawa aku keluar dari rumah itu dan biarin aku tinggal di sini. Jadi, aku bisa masak. Aku juga bisa bersih-bersih rumah dan nyuci. Aku bisa apa aja." Rahang bawah Raka hampir melorot mendengar ucapan Aira. Gadis itu pasti berniat untuk membalas kebaikannya. "Itu nggak perlu, Ai. Aku udah bayar orang buat bersih-bersih dan nyuci nyetrika. Jadi, kamu nggak perlu bersih-bersih, oke?" "Jadi, aku boleh masak buat Mas Raka?" tanya Aira. Raka membuang napas panjang. "Ya. Masak aja. Buat kamu juga. Aku kerja dari pagi ... super pagi sampai sore, kadang malam. Jadi, kamu nggak perlu repot nyiapin makanan buat aku sebenarnya. Besok aku juga udah mulai kerja lagi." "Mas Raka kerja apa?" tanya Aira penasaran. "Ehm ... di kafe," jawab Raka. "Oh. Beneran?" Kedua mata Aira membola ketika ia melihat Raka mengangguk. "Apa aku bisa kerja juga di sana?" "Apa?" Raka terkesiap. "Aku bisa kerja apa aja. Jadi pelayan atau bersih-bersih piring. Apa aja." Raka menggeleng pelan sembari mengibaskan tangannya. "Kamu nggak boleh kerja. Kamu harus kuliah." "Tapi ... aku nggak, aku nggak daftar kuliah. Itu terlalu mahal," ujar Aira diikuti desah napas panjang. "Kamu harus kuliah. Aku yang tanggung biayanya," tukas Raka. "Apa?" Aira dibuat terkejut dengan ucapan Raka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN