Macaroon
"Hai Macaroon!"
"Kapan kamu datang?"
"Baru saja."
Aku langsung memeluk Helina. Aku sangat merindukan Helina. Satu-satunya pelayan di rumahku. Oh ya kenapa aku jarang menceritakan tentang Helina? Karena dia sedang sakit setelah dia pulang bersamaku mengantarkan telur dari pasar. Aku sangat sedih, karena Helina harus pulamg selama beberapa hari ke rumahnya. Syukurlah dia sudah kembali. Aku sangat senang. Aku sudah menganggap Helina sebagai kakak perempuanku sendiri yang selama ini tidak pernah aku miliki. Jika Helina sudah datang hidupku tidak akan kesepian lagi. Sekarang aku punya teman bicara lagi sementara orang tuaku sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Aku sangat merindukanmu,"kataku.
"Aku juga."
"Apa kamu sudah sembuh?"
"Iya. Aku sudah sembuh." Helina tersenyum.
"Kamu jangan sakit lagi."
"Mulai sekarang aku akan lebih menjaga kesehatanku."
"Itu lebih baik."
Sekali lagi aku memeluknya. "Aku sangat senang kamu sudah kembali."
"Aku merindukan semua hal yang ada di sini. Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik."
"Senang mendengarnya. Oh ya apa yang kamu lakukan di sini?"
"Ah aku lupa. Aku harus mberikan semua benih sayuran ini pada Ayah."
"Sebaiknya segera berikan kepadanya."
"Lalu apa yang kamu lakukan di sini?"
"Oh aku mau mengambil alat kebersihan. Aku mau membersihkan halaman depan. Di sana sudah tumbuh rumput-rumput liar. "
"Baiklah. Nanti kita bicara lagi. Aku akan menemui Ayah dulu."
Helina menganggukan kepalanya dan aku keluar dari gudang sambil membawa satu keranjang benih sayuran ke halaman belakang. Aku melihat ayah sedang duduk beristirahat sesekali menyeka keringat di dahinya.
"Ini benihnya."
"Kenapa kamu lama sekali?"
"Maaf tadi di gudang aku bertemu dengan Helina dan aku sangat senang bertemu lagi dengannya. Kami bicara dulu tadi sebentar."
"Oh jadi dia sudah kembali."
"Iya. Helina sudah sembuh."
"Syukurlah. Ayah turut senang."
"Apa aku harus membantu Ayah menanam benih ini?"
"Tidak. Sebaiknya kamu bantu saja Ibumu di dapur."
Aku memasang wajah cemberut. "Jadi Ayah masih belum mempercayaiku untuk menanam benih sayuran ini?"
"Iya. Ayah tidak ingin semuanya kacau gara-gara kamu. Semua benih yang jamu tanam tidak ada satu pun yang tumbuh."
"Itu kan kejadiannya sudah lama."
"Ayah tahu, tapi Ayah tidak ingin gagal kali ini."
"Terserah Ayah saja."
Aku pergi ke dapur. Di sana seperti biasa ibu sedang sibuk memasak. Dunia ibuku seputar dapur dan dapur. Ibu melihatku masuk.
"Kamu sudah kembali."
"Ayah tidak mengizinkanku membantunya menanam benih sayuran. Dia takut gagal lagi jika aku yang melakukannya. Aku rasa kali ini jg akan gagal, karena cuaca tidak mendukung. Mana ada sayuran akan tumbuh di saat akan memasuki musim dingin. Apa Ayah tidak tahu hal itu?"
"Kamu juga tidak tahu lobak dan kubis dapat tumbuh di musim dingin, jadi Ayahmu akan menanam itu."
"Oh aku tidak tahu itu. Apa Ibu perlu bantuanku?"
"Persiapan makan siang sudah selesai, jadi kamu boleh membantuku untuk menyiapkan meja makan."
Aku segera mengambil piring, sendok, garpu, dan gelas di lemari, kemudian menatanya di meja.
"Ibu kenapa tidak memberitahuku kalau Helina akan datang hari ini?"
"Sebenarnya Ibu juga tidak tahu. Dia tiba-tiba datang begitu saja, tapi sekarang Ibu merasa lega kalau Helina sudah sembuh. Dia bisa kembali bekerja di sini."
"Aku juga senang dia sudah sembuh. Aku kira dia akan kembali dalam waktu yang cukup lama."
Setelah aku selesai menata meja makan, aku pergi ke halaman depan dan Helina berada di sana masih mencabuti rumput. Aku memandang ke sekeliling halaman depan rumah menjadi bersih dan enak dipandang. Helina melihat kehadiranku dan dia tersenyum.
"Halaman depan rumah terlihat indah karena dirimu."
"Itu karena aku ingin semua tanaman yang ada di sini semuanya terawat."
"Aku merawat mereka seadanya."
Aku duduk di tangga teras depan sambil melihat Helina bekerja.
"Bagaimana kabar orang tuamu dan saudara-saudaramu?"tanyaku.
"Mereka semua baik-baik saja."
"Itu bagus."
"Mereka merawatku selama aku sakit."
"Keluargamu sangat perhatian padamu. Kamu beruntung memiliki keluarga yang menyayangimu."
"Kamu juga beruntung."
"Tapi sepertinya aku tidak beruntung dalam hal percintaan."
"Kamu suka Chris, bukan? Aku melihatmu cemburu dan sedih ketika melihat pria itu berciuman dengan wanita lain."
Aku mengangguk. "Dia sedang pergi ke Geneva dan sepertinya belum kembali."
"Ngomong-ngomong tentang dia, aku tadi melihatnya saat menuju ke sini."
Aku langsung berdiri. "Chris sudah pulang?"
"Memamgnya dia sedang pergi ya?" Helina balik bertanya.
"Chris pergi ke Geneva selama beberapa hari."
"Mungkin dia memang sudah pulang."
"Aku akan pergi ke peternakannya."
"Sepertinya dia belum kembali."
"Ala maksudmu?"
"Dia sedang pergi naik kuda tadi. Aku tidak tahu kemansa. Dia tidak melihatku dan aku juga tidak menyapanya. Sepertinya dia sedang terburu-buru pergi."
Aku kecewa dan duduk lagi.
"Kira-kira Chris pergi kemana ya?"
"Aku tidak tahu."
"Aku merindukannya. Aku bermaksud akan menyatakan perasaanku padanya begitu dia kembali eh sekarang dia sedang pergi."
"Akhirnya kamu punya keberanian juga untuk melakukan itu sebelum si Gadis bar merebut Chris darimu."
"Itu yang aku cemaskan."
Aku bercerita tentang pertemuannya dengab Elisa pada Helina dan apa yang dikatakan oleh wanita itu kepadanya.
"Jangan percaya pada kata-katanya! Dia sudah berbohong kepadamu."
"Benarkah?"
"Iya. Tentu saja. Coba kamu pikirkan mana mungkin Chris mau jadi kekasih Elisa sementara dia tidak mencintai Elisa."
"Kenapa kamu bisa tahu perasaan Chris?"
Helina terlihat gugup dan sepertinya dia sudah menyembunyikan sesuatu darinya
"Aku hanya tahu saja."
Aku menatap Helina mencoba mempercayai apa yang dikatakannya.
"Baiklah. Kita lihat saja nanti setelah aku bertemu dengab Chris."
Ibuku membuka pintu depan dan memberitahu kami saatnya untuk makan siang. Aku dan Helina masuk. Kami makan siang bersama.
"Kata Helina, Chris sudah pulang, jadi aku akan menemuinya."
"Itu kabar bagus. Semoga kamu berhasil untuk menyatakan perasaanmu itu,"kata ibu.
"Kamu bisa pergi dengan Helina ke sana dan menemanimu,"kata Ayah.
Aku menoleh pada Helina untuk meminta persetujuannya.
"Tentu. Aku bersedia menemaninya."
"Terima kasih, Helina."
Sebelum aku menghabiskan suapan terakhir, aku kembali teringat dengan perdebatan ibunya dengan Mrs. Hauston.
"Apa Ibu sedang marah pada Mrs. Hauston?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Karena aku melihat kalian berdua berdebat dan bertengkar."
"Kami tidak bertengkar. Kami ada selisih paham, tapi sekarang semuanya baik-baik saja."
"Kalau boleh tahu kenapa?"
Ibu melirik pada ayah.
"Apa karena ramalan tentang diriku?"
"Bukan karena itu, tapi hal lain."
"Ya sudah kalau Ibu tidak ingin mengatakannya."
Setelah selesai makan, aku dan Helina membantu membereskan meja. Helina mencuci piring dan aku menyapu lantai. Ibu membereskan bahan-bahan kue di tempatnya. Kami tidak bicara sama sekali.
"Ibu, aku sudah selesai. Sekarang aku dan Helina akan pergi menemui Chris."
"Baiklah. Pergilah! Kalian pergi jangan lama-lama."
"Kami akan segera kembali."
Aku mengajak Helina untuk pergi.