Macaroon
Ibu sedang sibuk memasak makan malam dan aku merasa heran kemana Helina pergi. Biasanya dia suka membantu ibu memasak, tapi kali ini tidak. Aroma makanan yang harum memenuhi ruangan dapur dan ruangan makan.
"Apa kamu ketiduran lagi?"
"Iya. Aku tidak berniat tidur. Aku ingin menyelesaikan rajutanku, tapi aku ketiduran dan aku tidak bisa menahan rasa kantukku. Itu aneh, bukan?"
"Aneh apanya? Wajar jika orang sangat mengantuk lalu tertidur."
"Maksudku aku tidak pernah merasa sekantuk tadi seolah-olah tubuhku terasa sangat lelah dan seperti ada yang membiusku."
"Jangan bicara yang aneh-aneh!"
"Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan. Apa Ibu pernah mengalami hal-hal aneh ketika sedang tidur."
"Tidak pernah. Misalnya seperti apa?"
"Tiba-tiba Ibu berada di tempat asing dan aneh padahal beberapa detik yang lalu masih berada di kamar."
Ibu menatapku dengan penasaran. "Apa kamu baru saja bermimpi?"
"Aku tidak tahu apa aku bermimpi atau tidak."
"Kenapa kamu bisa tidak tahu. Seharusnya kamu bisa membedakan mana mimpi dan mana bukan mimpi."
"Kali ini aku tidak tahu, karena ini seperti nyata. Apa aku mempunyai kekuatan superhero?"
"Kamu ini. Kekuatan superhero apa? Jangan banyak mengkhayal."
Aku memasang wajah cemberut.
"Mungkin aku punya bakat sihir."
Ibu mengembuskan napas panjang. "Ibu tidak tahu kenapa akhir-akhir ini kamu suka bicara yang aneh-aneh sejak Mrs. Hauston iseng meramalmu."
Aku duduk di kursi meja makan.
"Itu mungkin karena aku lebih sensitif siapa tahu. Mrs. Hauston mempunyai bakat meramal dari leluhurnya dan aku mungkin juga mewarisi bakat dari leluhurku."
Seketika ibu terdiam.
"Leluhurmu tidak punya bakat apa-apa."
Aku merasa kecewa mendengarnya.
"Kita tidak perlu membicarakan ini lagi."
"Terserah Ibu. Oh ya di mana Helina?"
"Ibu tidak tahu. Sejak dari tadi Ibu tidak melihatnya."
"Apa dia disuruh Ayah pergi ke luar?"
"Siapa yang Ayah suruh pergi keluar?"tanyah ayahku yang baru saja datang.
"Helina."
"Ayah tidak menyuruhnya pergi keluar."
"Lalu dia kemana?"
"Mungkin dia ada di kebun?"
"Aku akan mencarinya."
Aku keluar dapur dan mencari di kebun belakang rumah, tapi Helina tidak ada di sana. Tidak biasanya Helina menghilang seperti ini. Aku kembali mencarinya di gudang, kandang ayam, dan halaman depan rumah, tapi Helina tidak ditemukan di mana pun. Aku kemudian mencarinya di kamarnya, tapi dia juga tidak ada di sana.
"Kemana dia pergi ya?"
Aku melihat Hector yang sedang membawa ember menuju gudang.
"Hector, apa kamu melihat Helina?"
"Tidak."
"Ini aneh. Dia tidak ditemukan di mana pun."
"Mungkin dia sedang pergi keluar."
"Biasanya Helina meninggalkan pesan jika pergi keluar."
"Mungkin dia tidak sempat menulis pesan."
"Entahlah. Mungkin saja."
Aku kembali ke dapur dan ibu sudah selesai masak.
"Helina tidak ada. Ini aneh dan tidak biasanya dia menghilang seperti ini."
"Sebentar lagi pasti dia akan kembali."
"Apa Ibu tidak mengkhawatirkannya? Aku lihat Ibu dan Ayah tenang-tenang saja."
"Helina sudah dewasa dan dia pasti tahu jalan pulang. Kamu seperti anak ayam yang kehilangan induknya."
"Selain dia pelayan kita satu-satunya, dia juga teman baikku. Tentu aku cemas."
Makan malam pun tiba dan aku makan malam sambil memikirkan di mana Helina. Aku melirik ke samping kursi yang kosong di mana biasanya Helina duduk. Sampai makan malam selesai pun Helina masih belum pulang. Jam sudah menunjukkan jam delapan malan.
"Ini sudah malam."
"Ibu tahu."
"Helina belum pulang."
"Sebentar lagi mungkin dia akan pulang."
"Aku heran kenapa Ayah dan Ibu sama sekali tidak mencemaskannya. Apa kalian berdua sudah tahu kemana Helina pergi?"
"Ayah tidak tahu."
"Ibu juga tidak tahu."
"Jika dalam setengah jam lagi, Helina belum pulang, kita harus mencarinya. Di luar sudah sangat gelap bagaimana kalau ada orang jahat yang menyakitinya."
Ibu menyentuh kedua bahuku. "Tidak akan ada orang jahat yang akan menyakiti Helina."
Aku menatap mata ibuku dan mencari tahu apa yang sebenarnya ibu ketahui dan tidak ingin memberitahuku. Kalau dipikir-pikir akhir-akhir ini sikap ibu agak aneh seperti ada banyak rahasia yang disimpan olehnya atau mungkin ini hanya pikiranku saja.
"Sebaiknya kamu ke kamarmu dan tidur. Besok pagi mungkin Helina sudah kembali."
"Bagaimana aku bisa tidur disaat aku mencemaskan Helina? Hatiku tidak tenang."
"Baiklah. Kita minum teh saja sambil mengobrol."
"Itu lebih baik."
Ibu menuangkan teh ke dalam cangkir. Aroma tehnya sangat harum. Aku meminumnya dan terasa sangat enak. Sesekali aku melihat ke arah jendela atau pintu berharap Helina sudah pulang, tapi di luar tidak ada siapa-siapa dan hanya ada kegelapan malam saja. Tiba-tiba aku merasa mengantuk dan tertidur.
Keesokan paginya, aku terbangun. Aku berada di kamarku. Aku tidak ingat kapan aku pergi ke kamarku. Aku teringat kembali dengan Helina. Apa dia sudah pulang atau belum? Aku cepat-cepat bangun dan merapihkan diriku, lalu keluar kamar. Aku sangat terkejut sekaligus senang, Helina sudah pulang dan sedang membantu ibu menyiapkan sarapan pagi.
Ibu melihatku turun.
"Pagi, Macaroon!"
"Helina, kapan kamu pulang?"
"Kemarin malam jam sepuluh malam."
"Kamu pergi kemana saja? Kenapa tidak memberitahuku? Aku mencemaskanmu sepanjang sore dan malam."
"Maaf. Aku tidak sempat memberitahumu kemana aku pergi, karena tidak ada waktu untuk memberitahumu. Aku kemarin siang pergi ke rumah teman yang sedang sakit."
Aku memeluk Helina dan hampir menangis.
"Maaf sudah membuatmu cemas."
"Ibu sudah bilang padamu, Helina pasti akan baik-baik saja."
Helina dan ibu saling menatap satu sama lain.
"Lalu siapa yang membawaku ke kamar?"
"Siapa lagi kalau bukan Ayahmu. Sebaiknya kita sarapan pagi dulu."
Aku mengangguk. Sekarang aku sudah merasa lega melihat Helina baik-baik saja. Setelah sarapan pagi, kami bersiap-siap menyambut kedatangan saudara jauh ibu dan anaknya. Ayah sudah pergi menjemput mereka. Aku mengganti pakaianku dengan gaun terbaik yang aku punya, karena ini pertama kalinya aku akan bertemu keluarga ibuku dan aku ingin memberikan kesan yang baik. Helina membantuku merapihkan rambutku.
"Menurutmu seperti apa saudara Ibuku itu?"
"Aku tidak tahu. Mungkin baik dan ramah."
"Semoga saja tidak galak."
Aku dan Helina tersenyum. Sekarang rambutku sudah terlihat sangat rapih. Helina membuat ikal-ikal di rambutku dengan sangat bagus dan pita berwarna pink menghiasi ikatan ekor kuda di tengah kepalaku. Aku berdiri.
"Bagaimana penampilanku?"
"Kamu sangat cantik seperti seorang putri."
"Kamu bisa saja. Aku tidak pernah berdandan serapih ini, karena aku jarang menerima tamu dari jauh."
Aku memutar-mutar tubuhku di depan cermin dan merasa puas dengan penampilanku.
"Terima kasih sudah membantuku."
Helina hanya tersenyum.
"Ayo kita keluar! Mungkim sebentar lagi mereka akan datang,"kata Helina.
Aku mengangguk. Helina membuka pintu dan menyuruhku untuk keluar duluan.
"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka."
Aku dan Helina turun dari tangga. Ibu melihatku dengan tatapan terkesima.
"Kamu cantik sekali. Ibu hampir tidak mengenalimu."
"Aku sendiri pun hampiri tidak mengenali diriku sendiri. Ibu juga terlihat cantik."
Kami menunggu di ruang tamu, tapi tiba-tiba muncul seseorang yang tidak aku harapkan kehadirannya sekarang. Chris sekarang ada di depanku dan dia berdiri mematung saat melihatku. Pria itu adalah tamu tidak terduga.