Bab 8. Pesan Misterius

1750 Kata
Sayangnya rekaman CCTV di Mirror malam itu tidak menunjukkan jejak Vian sama sekali, karena orang yang datang menitipkan minuman jelas bukan dia. Meski tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang, tapi Cello sangat yakin pria itu bukan Vian. Ok, mereka sepertinya memang harus mengakui permainannya begitu rapi. Kenapa begitu? Karena nyatanya biang rusuh yang babak belur dihajar Daren dan Hera juga orang suruhan pria itu. “Luar biasa caranya menyapa sahabat yang sudah puluhan tahun tidak bersua. Kalau orang lain ngajak salaman, tapi Vian pinjam tangan memukul kepalamu dengan botol,” ledek Daren terkekeh menatap Cello yang masih kelihatan bekas bonyoknya. Ditambah luka perban kecil di keningnya itu. “Biar saja sampai dia puas kucing-kucingan terus begini. Apa yang dia takutkan sampai ngumpet tidak berani muncul langsung di depan kami. Pengecut!” geram Cello. “Kebayang nggak kalau say hello nya saja main kepruk kepalamu, terus selanjutnya apalagi? Anehnya sejauh ini dia justru sama sekali tidak menyenggol Nay. Padahal kalau niatnya memang mau balas dendam, pasti Nay dan mamanya adalah target utama mereka.” Benar kata Daren, sampai sekarang Vian tidak mengusik adiknya. “Entahlah, aku juga tidak paham apa maunya.” Cello mengedikkan bahu. Keduanya sempat terdiam. Pandangannya terlempar ke langit bergelayut mendung di luar sana. Sebentar lagi sepertinya hujan, tapi dua orang yang sedang mereka tunggu belum juga tampak batang hidungnya. “Sampai mana, Beb? Sudah mau hujan,” tulis Daren di chat yang dikirim ke Nay. Iya, pulang kerja mereka janjian ketemu di restoran tak jauh dari kantor Daren. Wajah babak belurnya sudah memancing mata orang-orang disana melirik dengan tatapan aneh, tapi baik Daren maupun Cello sama sekali tidak ambil pusing. “Ini sudah hampir sampai kok.” Balasan dari Nay membuat Daren sedikit lega. “Chatmu dibales nggak sama Om Sat,” tanya Cello. Entah beneran tanya atau menyindir. “Ya jelas nggak! Cuma dibaca,” jawab Daren disahut gelak tawa Cello. Jadi tadi dia minta izin ke bapaknya Nay, kalau dia mengajak anaknya pergi makan. Diperjelas dengan menyertakan restoran mana, jam berapa dan sama siapa. Biar calon mertuanya tidak berburuk sangka. Lagipula sekarang ada pengawal yang ditugaskan menjaga Nay, jadi Satria Lin bisa lega ada yang membantu mengawasi anaknya. “Masih mending semarah-marahnya Om Sat masih mau buka chatmu. Liam boro-boro, nomorku saja sampai sekarang masih diblokir,” keluh Cello. Bicara soal Liam yang sudah dua hari di Singapura membuat mereka seketika terdiam. Rasanya ada yang kurang karena biasanya mereka berkumpul bertiga. Apalagi Cello, biarpun terlihat tertawa, Daren tahu dia juga punya beban mental harus perang dingin dan dijauhi begini. “Bukan cuma aku, ke Letta dan Om Sam juga sama sekali tidak membalas pesan. Sumpah, Liam kalau marah totalitas banget! Sampai orang tua dan adiknya pun ikut tidak digubris,” sambungnya. “Coba tempatkan dirimu jika di posisi Liam. Kalian bohongi selama hampir enam tahun. Enam tahun, bukan enam bulan! Mungkin beda masalahnya kalau kalian jujur sejak awal,” sahut Daren yang tahu benar bagaimana Liam hari itu mati-matian menahan marah dan sakit hatinya. “Biarpun jujur sejak awal, endingnya juga tetap sama. Dia pasti marah dan tidak mengizinkan Letta pacaran denganku," ucap Cello. “Iya, tapi aku yakin dia pasti luluh kalau demi kebahagiaan adiknya. Terlebih keluargamu juga tidak menentang. Jadi kesalahan kalian sejak awal itu adalah tidak jujur yang membuat Liam merasa tidak dihargai dan dikhianati. Paham?” Daren melirik sahabatnya yang manggut-manggut. Senyum tersungging di wajah Daren begitu bebebnya muncul dari pintu. Dia datang bersama Letta dan diikuti Jeje. Padahal baru kemarin tidak bertemu, tapi Daren sudah kelimpungan kangen setengah mati. “Sini!” Daren mengulurkan tangan dan membawa Nay duduk di sampingnya. Tak seperti biasanya, Letta hanya diam menyusul duduk di dekat Cello. Sedang Jeje menyingkir setelah mengantar Nay sampai mejanya. Sudah ada Daren, jadi dia tidak perlu khawatir lagi untuk menunggu di luar. “Coba aku lihat lukanya! Masih sakit?” tanyanya melepas masker yang Nay kenakan. “Nggak.” Nay menggeleng, tapi kemudian melotot saat tiba-tiba Daren menciumnya tepat di ujung bibirnya yang masih sedikit membiru. “Paling bisa cari kesempatan!” sindir Cello. “Kan belajar dari kamu,” balasnya nyengir meraih buku menu disana. “Bebebku mau makan apa?” tanya Daren menunjukkan menu di sana ke Nay. Cello menoleh menyodorkan buku menu ke Letta yang masih saja diam. Bundanya bilang Letta sudah izin untuk sementara ini tidak datang membantu ke kantornya. Hal yang membuat Cello takut, Letta punya pikiran untuk mulai pasang jarak. “Makan yang banyak! Kalau kamu sakit nanti aku yang disalahkan abangmu.” Letta tersenyum kecut. Membolak-balik buku menu tanpa minat. Sejak kecil dia lebih dekat dengan kakaknya, dibanding ayahnya. Cello paham sesulit apa jadi Letta yang berat ke dia, tapi juga tidak ingin mengecewakan kakaknya. “Nggak bakal, dia sudah tidak peduli lagi padaku. Saking muaknya melihatku, dia bahkan bilang sekembali dari Singapura akan pindah rumah,” ucap Letta dengan suara serak. “Pindah?!” seru mereka hampir bersamaan. “Hm,” angguk Letta tetap menunduk ke buku menu. Menyembunyikan matanya yang mulai memburam panas. Dua hari ini abangnya tetap mengabaikan pesan dan teleponnya. Letta takut lusa kembali dari sana Liam benar-benar akan pindah dari rumah mereka. Bukan, lebih tepatnya itu adalah rumah abangnya. Karena meski kepemilikiannya diatas namakan ayahnya, tapi semua dibayar lunas dengan uang Liam sendiri. “Kenapa dia jadi seperti istri yang sedang merajuk begitu?” geleng Daren. Tidak ingin merusak suasana, mereka pun tidak membahasnya lebih lanjut. Selesai memesan makanan, lanjut ngobrol soal lain. “Mama tanya kapan kamu punya waktu main ke rumah,” lontar Daren seperti biasa paling hobi mengelus rambut panjang Nay. “Tuh, calon mertua sudah tidak sabaran!” olok Cello. “Tanya papa dulu, boleh nggak. Kalau tidak izin dulu nanti pasti tambah marah.” Nay tersenyum saat pegawai disana mengantar minuman. “Kira-kira kapan kamu bisa? Biar nanti aku ngomong ke orang tuamu.” Nay menoleh, menatap Daren ragu. Tidak menyangka kalau pacar tengilnya ini menanggapi begitu serius hubungan mereka yang bahkan baru resmi beberapa hari lalu. “Apa tidak sebaiknya menunggu papa agak adem dulu?” “Tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama,” sahut Daren ngeyel. “Sabar sedikit kenapa! Om Sat bisa sewot kalau kamu kesannya memaksa gitu!” tegur Cello. “Kamu sendiri tahu keadaan sekarang seperti apa. Aku akan lebih tenang kalau bisa terus di samping Nay.” Mata Nay memincing tajam. Sungguh dia tidak habis pikir kenapa mereka harus mengawasinya. Tadinya dia pikir keberadaan Jeje untuk membatasinya supaya tidak terlalu dekat dengan Daren. Tapi, sepertinya bukan seperti itu. “Keadaan apa? Aku baik-baik saja. Kenapa sekarang harus diawasi?” cecarnya. Saat mereka meringis bingung harus menjawab apa. Ponsel Naya berdenting pelan. Daren menghela nafas lega karena pesan masuk itu mengalihkan perhatian Nay. “Awas, hati-hati!” Menatap bingung isi pesan masuk itu, Nay kemudian meletakkan ponselnya. Nomor asing, dan isi pesannya pun tidak jelas begitu. “Siapa?” tanya Daren mendapati raut aneh Nay. “Nggak tahu. Nomor asing dan isinya aneh,” jawab Nay justru membuat Daren penasaran. “Boleh aku lihat?” Nay mengulurkan ponselnya. Cello mendekat dan ikut melihat isi pesannya. Saat Daren mencoba menghubungi, nomor itu sudah tidak aktif. Keduanya saling lempar pandang. Baru saja diomong, sekarang sepertinya Vian mulai mendekat ke Nay. “Awas, Nay!” Letta tiba-tiba berteriak panik bangun dari kursinya. Sontak mereka menoleh. Entah bagaimana ceritanya, seorang pramusaji dengan dua tangan membawa mangkuk tampak oleng tepat saat melintas di dekat Nay. Daren berdiri dan merengkuh tubuh gadis itu hingga satu mangkok sup panas mengguyur punggungnya. Sedang si pramusaji jatuh tersungkur di lantai. Satu mangkuk lagi terlempar dan pecah di lantai. “Bang …,” Nay panik mendongak mendengar Daren mendesis kesakitan dan suara teriakan orang di sekeliling. “Kamu tidak apa-apa? Buka baju kamu dulu!” Cello menarik Daren duduk. Melihat dia meringis kesakitan dengan kemeja bagian punggung yang basah, Nay dengan tangan gemetar membantu Daren melepas kancing kemejanya. “Sialan! Jalan nggak pakai mata!” umpat Daren mendesis menahan punggungnya yang panas seperti terbakar. “Maaf, tadi kaki saya tersandung,” ucap pramusaji itu menunduk ketakutan. Penanggung jawab restoran bergegas datang dengan membawa kompres dingin dan handuk. Berkali-kali mereka minta maaf, tapi tidak digubris oleh Daren. Selesai melepas kancing, Nay menarik lepas kemeja Daren. Dia sempat kaget mendapati punggung Daren yang ternyata bertato. Menerima handuk dari pihak restoran, Nay menutupi tubuh topless Daren. “Kompres dingin dulu ya? Habis ini ke rumah sakit sebentar,” ucap Nay. “Sini kompresnya!” pinta Cello dengan muka marah dan mata memincing tajam ke pramusaji yang masih berdiri menunduk itu. “Kamu sengaja ya?!” bentaknya keras sampai gadis itu ketakutan. “Nggak, saya tadi benar-benar tersandung.” “Pintar banget kamu pilih tempat tersandung. Ada masalah apa kamu sama adikku? Hampir saja dia yang celaka!” teriaknya marah. Mustahil itu kalau tidak sengaja, karena setelah Nay mendapat pesan berisi peringatan, lalu si tukang saji langsung tersandung di situ. Jeje datang dengan muka khawatir setelah ditelpon oleh Letta. Untung saja Nay tidak apa-apa. “Kamu urus dia, Je! Kalau perlu aku panggil pengacara dan lapor polisi, biar kita bisa lihat CCTV juga ponsel dia. Usut sampai dia mengaku!” ucap Cello sembari berdiri mengajak mereka pergi. “Pak, bisakah kita selesaikan masalah ini tanpa harus lapor polisi dulu? Rekaman CCTV pasti akan saya tunjukkan, dan silahkan bertanya sejelas mungkin ke pegawai kami. Kalau memang nantinya terbukti ada faktor kesengajaan, kami sendiri yang akan menelepon polisi. Silahkan diproses secara hukum!” pinta penanggung jawab restoran. “Sudah, Bang. Mungkin dia memang nggak sengaja,” bujuk Nay yang tidak ingin ribut-ribut. “Nggak, Jeje tetap disini untuk mengusutnya. Kita ke rumah sakit dulu!” tegas Cello mengajak mereka pergi. Nay menggandeng tangan Daren keluar mengikuti Cello dan Letta yang sesekali menoleh khawatir. “Sakit, Beb!” “Nggak usah aleman kamu! Buruan!” sentak Cello, padahal barusan dia membela Daren. Sekarang malah berubah ketus saking kesal karena kumat manjanya ke Nay. Naik ke mobil, Daren yang duduk di belakang meringkuk di pangkuan Nay. Handuk sudah Nay singkirkan supaya dia bisa mengompres punggung Daren yang merah bekas tersiram kuah panas. “Panas, Beb!” “Iya, ini lagi dikompres! Sabar dulu,” sahut Nay. Mobil melaju meninggalkan halaman restoran. Daren meraih ponselnya, lalu mengirim pesan entah ke siapa. Tidak, kali ini dia akan mengusut sampai tuntas siapa yang ingin mencelakai Nay. “Bawa orang secukupnya. Datang ke Table Five, Jeje sudah ada disana. Aku tidak mau tahu, pokoknya buat orang yang tadi hampir menumpahkan kuah panas ke Nay itu buka mulut!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN