Bab 10. Tangis Nay

1754 Kata
Bukan cuma Satria yang belum tahu tentang kemungkinan kembalinya Lena dan Vian, tapi sejauh ini mereka juga merahasiakannya dari Nay. Bukan tanpa alasan. Mereka hanya tidak ingin Nay terluka oleh kenyataan tentang abang yang dirindukannya, ternyata tak sesuai harapannya selama ini. Tidak terbayang sesakit apa hati Nay, kalau tahu Vian dan mamanya datang untuk balas dendam. Daren menggenggam erat tangan gadis kesayangannya yang masih dingin dan gemetar setelah diseret papanya tadi. Dia menoleh, mulai was-was Nay akan terpukul setelah ini. “Lena dan Vian sudah kembali,” ucap Ibra. Seperti mendengar gelegar petir, Satria dan Nay terperangah kaget. Gadis itu bahkan tampak cengo dengan mata membulat lebar nyaris tidak berkedip, sebelum kemudian mengerjap syok. “Bang Vian pulang? Dimana dia sekarang? Nay kangen banget, pengen ketemu,” tanya gadis itu sampai gagap saking antusiasnya mendengar tentang kepulangan abangnya. “Sayangnya tidak segampang itu, Nay. Dua puluh tahun bukan waktu sebentar, dan sepertinya sudah mengubah segalanya. Vian bukan lagi yang kita kenal dulu.” Cello menjawab dengan tatapan iba. “Apanya yang berubah? Mau sampai kapanpun Bang Vian tetap kakakku!” Rasa takut mulai menjalar di benak Nay. Benarkah abangnya sudah berubah? Apa karena itu juga selama ini dia tidak pernah sekalipun berusaha menghubunginya? Padahal kalau mau Vian bisa mencarinya lewat media sosial, atau menghubungi papanya di kantor LinZone. Bahkan, setelah kepulangannya pun sang kakak sama sekali tidak mencarinya. “Keterlaluan! Masalah seserius ini kenapa kalian sembunyikan dariku?! Gila! Nyawa anak istriku kalian anggap bahan guyonan!” protes Satria dengan nada meninggi. “Kami tahu juga belum lama ini, Om. Waktu nikahannya Liam saat kami hendak memberitahu Om Ibra dan yang lain, Om Satria malah pergi lebih dulu. Setelah itu terjadi ribut di kamar hotel. Karena Om sendiri lagi emosi, jadi tidak ada dari kami yang berani ngomong,” terang Cello menjelaskan duduk masalahnya. Ibra menatap lekat iparnya yang diam seperti sedang menelaah penjelasan mereka. Berharap setelah tahu gamblang tentang bahaya yang mengintai anak istrinya, Satria berhenti egois dan keras kepala. “Sekarang kamu tahu kan, kenapa Liam dan Cello tidak menghalangi Daren mendekati Nay? Kenapa juga aku mengalihkan Jeje untuk menjaga keponakanku? Kami semua berusaha sebisa mungkin melindungi anakmu, bahkan sampai Daren kena siram kuah panas. Tapi, egomu tetap setinggi selangit dan tidak pernah menghargai orang lain,” lontar Ibra pedas menyengat di telinga Satria. “Aku bisa melindungi anakku sendiri tanpa harus mengandalkan keluarga Bastian,” ketus papa Nay itu benar-benar membuat mereka geleng kepala. “Sombongmu minta ampun. Lupa kamu, selicik apa Lena dulu! Jangankan kamu yang sesumbar bisa melindungi anak istri tanpa bantuan keluarga Bastian, kita semua saja dulu bahkan kecolongan sampai nyaris kehilangan Nay!” cibir Ibra tidak tanggung-tanggung lagi menatar iparnya. “Daren sudah sejauh itu menolong dan mengusahakan yang terbaik untuk melindungi Nay. Jangankan berterima kasih, kamu bahkan masih saja dengan keangkuhanmu. Perlu kamu tahu, kali ini Lena dan Vian sepertinya punya bekingan yang tidak bisa kita anggap remeh. Kalau benar Eliya adalah kaki tangan mereka, maka sudah bisa dipastikan Lena telah menyiapkan semua dengan sangat matang. Teruslah sombong kalau kamu memang merasa bisa sendiri. Tetapi, jangan menyesal kalau nantinya kejadian dulu terulang lagi!” tegas Ibra yang sudah tidak tahu lagi harus bagaimana membuat iparnya ini paham. Tangan Nay yang gemetar meraih ponselnya. Membuka lagi pesan dari nomor asing yang tadi mengirim peringatan anehnya, dan juga galeri foto yang selalu jadi teman dalam sepinya. Sakit, rasanya benar-benar hancur. Bagaimana bisa dia menerima kakak yang selama ini selalu dicari dan dirindukan, justru kembali dengan niat menyakitinya. Apa iya, abangnya setega itu ingin menyiramnya dengan kuah panas? Hening, mereka menoleh ketika mendengar isak lirih Nay yang menunduk menggenggam ponselnya. Suara tangis tertahan menyayat pilu. Dan kemudian makin tergugu menatap fotonya dengan sang kakak saat masih kecil dulu. Siapa yang bisa mengerti rasa sakitnya? “Beb ….,” panggil Daren lembut. Meremas pelan genggamannya di tangan Nay yang tremor. Namun, tangis gadis itu justru makin menjadi. Dia melepas pelan tangannya, lalu beranjak berdiri dan melangkah gontai dengan tangisnya. Satria buru-buru bangun mengejar anaknya yang seperti orang linglung hendak meraih pintu. “Nay …,” Satria menarik bahu anaknya dan mendekapnya erat. Membiarkan putri kesayangannya menangis keras di pelukannya. “Bang Vian, Pa. Nay mau cari Bang Vian. Nay kangen. Nggak, dia tidak mungkin sejahat itu. Abangku paling sayang ke Nay.” Luruh sudah amarah dan keangkuhan Satria bersama air matanya yang mengalir deras. Tangannya mengusap lembut kepala anaknya. Meski Nay selama ini selalu diam dan tidak pernah menanyakan apapun tentang Vian, tapi Satria tahu anaknya memendam semua sendirian. Lukanya, rasa sakit dan kerinduannya pada sang kakak yang dulu tiba-tiba menghilang. “Antar Nay cari Bang Vian, Pa. Semua pasti hanya salah paham. Biar Nay yang jelaskan. Nay salah apa sampai Bang Vian jadi marah gitu? Tolong Nay, Pa!” gumamnya masih dengan tangis berderai. “Nanti setelah mereka menemukan Vian, Papa antar kamu bertemu dengan dia. Ya? Jangan seperti ini, Nay! Kamu baik. Anak Papa yang paling penurut. Nay nggak salah apa-apa,” ucap Satria berusaha menenangkan tangis anaknya. Mereka hanya bisa menatap iba, tanpa tahu harus berbuat apa. Inilah yang mereka takutkan ketika Nay mendengar tentang kakak yang sampai detik ini masih dia cari keberadaannya. Cerita tentang Lena tentu saja Nay sudah tahu sejak dulu. Seberapa jahat sosok tante yang dulu bahkan sudah dianggapnya sebagai ibu sendiri, tapi ternyata orang yang sudah membuatnya nyaris celaka. Nay paham kalau Lena membencinya, karena pasti menyakitkan saat melihat dirinya yang merupakan anak hasil perselingkuhan suaminya. Namun, dia tidak pernah membayangkan jika kakak yang dulu mati-matian melindunginya saat diculik dan disekap oleh papa kandung mereka sendiri itu, kini datang dengan kebencian. Bahkan, ingin mencelakainya. “Duduk dulu! Kita dengar apa yang om kamu sampaikan!” ajaknya menggandeng tangan anaknya kembali ke sofa. Setinggi apapun ego seorang Satria, toh dia luluh dalam sekejap setelah melihat tangis kesakitan anaknya. Demi cinta Nay mungkin bisa bodoh dan menentangnya. Tapi, Satria tahu demi Vian anaknya itu bisa kehilangan akal. Sesayang itu Nay ke kakaknya. Lalu, apa jadinya kalau Vian benar-benar sudah tercuci otaknya oleh mamanya, dan kembali dengan mengincar nyawa Nay. “Apa lagi yang kalian tahu tentang Lena dan Vian?” tanya Satria dengan sikapnya yang melunak. “Sampai sekarang mereka belum menampakkan batang hidungnya, tapi mulai bikin ulah. Vian pernah mengirimi kartu Cello ke kantor, juga saat pernikahan Liam kemarin. Kapan hari mengirim orang bikin rusuh di Mirror. Bahkan, Cello sampai terluka dihantam botol keningnya,” jawab Ibra. Satria dan Nay sontak menoleh ke Cello. Baru paham, kalau luka terbalut perban kecil itu karena ulah Vian. d**a Nay mencelos. Air matanya kembali mengalir. Ingin menolak percaya abangnya bisa sejahat itu ke sahabatnya sendiri, tapi dia dipaksa berhadapan dengan fakta. “Bang Vian kenapa jadi begini?” gumamnya terisak. “Sekarang kita tunggu, apakah Eliya juga kaki tangan Lena! Kalau iya, berarti dia memang sudah merencanakan secara matang sejak jauh hari. Kamu lihat sendiri kan, dia bahkan tahu siapa saja musuh kita yang bisa mereka manfaatkan untuk menyerang Nay! Turunkan egomu, Sat. Karena aku yakin orang di belakang Lena dan Vian pantas kita perhitungkan!” Bungkam, Satria mendesis geram. Tangannya merangkul bahu anaknya yang sesenggukan. Dia tidak peduli siapapun itu. Kalau berani menyakiti anaknya, pasti akan dia balas berkali lipat lebih menyakitkan. Seperti Daniel Sanjaya, ayah kandung Nay yang meregang nyawa di tangannya setelah dulu menculik dan menyekap Nay demi memeras istrinya. Sekarang giliran si pengkhianat Lena dan Vian yang datang. Seujung rambut saja mereka berani menyentuh anak dan istrinya, maka Satria tidak akan berpikir dua kali untuk melempar mereka menyusul Daniel ke neraka. “Bukankah biasanya kamu tidak pernah gagal memburu musuh, Bang. Lakukan sesuatu untuk Nay,” ucap Satria ke iparnya. Ibra mengangguk. Lega karena Satria sudah bisa diajak bicara baik-baik. “Tanpa kamu minta, aku dan Mateo sudah mulai melacak keberadaan mereka. Mencari tahu siapa yang sudah menyembunyikan Lena selama ini, dan sekarang membeking penuh semua sepak terjangnya untuk kembali berulah. Tapi seperti yang aku bilang tadi, tidak segampang itu dan kita butuh waktu. Dari Eliya nanti kita akan cari titik terangnya. Sedang sementara ini kita usahakan melindungi anak istrimu, karena sudah pasti mereka target utamanya.” Satria menoleh ke anaknya. Jantungnya seperti diremas mendapati wajah kesakitannya. Dia yang paling lugu dan tidak salah apa-apa, nyatanya harus jadi yang paling tersakiti lagi. “Papa minta maaf sudah galak dan membuatmu menangis. Tapi Nay, Papa sayang ke kamu melebihi siapapun itu. Kamu tahu kenapa Papa kadang terlalu mengekangmu? Karena tidak ingin anakku tersakiti. Papa hanya menginginkan yang terbaik buat kamu, sampai nanti bisa melepasmu bahagia dengan pria yang tepat. Jangan sampai kisah pahit mamamu terulang di kamu. Itu saja!” Nay menghambur memeluk papanya. Kembali menangis dalam dekap pria yang selama ini tidak pernah membedakan kasih sayangnya dengan kedua adiknya, padahal dia bukan darah dagingnya. “Maaf, Pa.” Mata Satria yang memerah basah menatap lurus ke Daren. Gemuruh perang batin antara melepas atau kukuh menentang. Daren baik, dia tahu itu. Terlebih setelah apa yang terjadi hari ini. Tapi, bersama Daren hidup Nay juga akan selalu berpijak dalam bahaya. Satria tidak ingin Nay bernasib seperti Freya Lin kakaknya, yang dulu hampir meregang nyawa di tangan musuh iparnya. “Terima kasih sudah menyelamatkan anakku.” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulut Satria. “Itu sudah kewajiban saya, Om. Jika Om Satria berkenan memberi saya kepercayaan, izinkan saya mengambil tanggung jawab penuh untuk menjaga, melindungi dan membahagiakan Nay.” Satria tersenyum kesal mendengar tanggapan serius bocah tengil itu. Kenapa pria yang mendekati Nay selalu saja membuatnya merasa seperti dikejar karma. Dulu dia biasa main perempuan, dan sekarang dia ketakutan setengah mati anak gadisnya akan tersakiti pria b******k di luar sana. “Akan aku pertimbangkan.” Sontak saja Nay mendongak menatap papanya kaget. Sedang Daren tersenyum lebar dengan wajah sumringahnya. Serasa tertimpuk durian jatuh sekalian pohon-pohonnya. Cello mendengus. Tidak adil kalau si tengil semudah itu mendapatkan restu. Sedang dia saja yang sudah enam tahun berpacaran dengan Letta justru terancam dipecat secara tidak hormat jadi teman Liam. “Beneran, Pa?” tanya Nay tidak yakin dengan yang barusan didengarnya. “Kan Papa cuma bilang akan mempertimbangkan. Belum tentu setuju,” sahut Satria tersenyum melihat anaknya merengut kecewa. Tidak apa, setidaknya Daren dan orang tuanya sudah sedikit lega karena tidak perlu lagi bermusuhan dengan Satria. Pintu diketuk. Senyum di wajah Satria seketika lenyap berganti seringai sinis melihat Jeje yang datang dengan menyeret Eliya. Wanita b*****t yang dulu sudah menyakiti Nay karena memperebutkan Sean. Mantan foto model yang Satria sudah hancurkan karir dan hidupnya, karena berani mempermalukan dan menyakiti anaknya. Kali ini jangan harap dia akan melepasnya begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN