Tadinya Daren ingin datang bikin rusuh menggedor kamar pengantin laknat, yang sudah mengerjainya dengan pamer desahan sialan yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Tapi, dia urung kesana dan memilih merecoki Cello yang sedang makan siang bersama ayangnya. Menyusul ke restoran tempat mereka kencan, Daren lahap menyantap nasi ayam madu yang sudah lebih dulu dipesankan oleh Cello tadi.
“Salah sendiri jam segitu telepon orang yang lagi menikmati malam pengantin. Dasar kurang kerjaan!” dengus Cello setelah mendengar cerita Daren tentang yang semalam. Sedang Letta yang duduk menikmati sup jagungnya tertawa terkekeh. Padahal yang sedang mereka bicarakan adalah abang dan iparnya.
“Pikirku ngobrol sebentar sama si kampret biar tidak ngantuk! Kerjaanku kan numpuk semalam,” sahut Daren kesal.
“Terus?” tanya Cello penasaran.
“Bukan cuma kantuknya yang hilang, tapi beneran nggak bisa tidur sampai sekarang gara-gara terngiang terus desahannya! Bikin aku gagal fokus buat melanjutkan kerjaan. Sialan memang, si Liam! Niat banget pamer cetak anak!”
Letta dan Cello tertawa ngakak sampai beberapa pengunjung di dekat meja mereka menoleh. Sumpah, apapun suasananya kalau ada si tengil satu ini pasti ujung-ujungnya bikin bengek. Pantas, pantas saja Nay bisa kesengsem. Selain konyol, Daren juga bucinnya nggak ketulungan.
“Kamu kenapa nggak cari bebebmu? Malah ngerusuh kesini!” tanya Cello menyuapkan sepotong daging ayam untuk Letta.
“Hari ini nggak ada kuliah, jadi dia juga malas keluar. Katanya malu bibirnya bonyok nanti diliatin orang.”
"Orang normal pasti malu. Beda dengan kamu, keluyuran dengan muka babak belur gitu!" cibir Cello melirik muka Daren yang lebam-lebam bekas kena bogem papa Nay kemarin.
"Tetep ganteng kok kata bebepku," sahutnya dengan senyum merekah.
“Habiskan nasinya!” tegur Cello melihat Letta meletakkan sendoknya, padahal masih menyisakan nasi di piringnya.
“Kenyang,” geleng adik Liam itu.
“Aku suapin, ya?” bujuk Cello yang mengundang decak sinis Daren.
“Berani bucin gitu di depan Liam, aku langsung sungkem ke kamu!” oloknya.
Disinggung soal hubungan backstreet mereka, Letta hanya tersenyum kecut. Bahkan makin kesini, makin banyak orang di sekitar mulai mengendus hubungan mereka. Tapi, harus bagaimana lagi sedang dia benar-benar belum siap untuk jujur dan mengecewakan abangnya.
“Bukan tidak berani, tapi belum dikasih izin. Tantangan seperti itu harusnya kamu lontarkan ke ayangku. Kan dia yang pengennya ngumpet terus!” sahut Cello merangkul leher Letta dan mencium pipinya gemas. Mau marah tetap nggak bisa. Karena sudah terlanjur cinta, jadi ya terpaksa manut apa mau Letta.
“Nggak capek kucing-kucingan gitu, Ta?” tanya Daren, tapi Letta hanya tersenyum mengedikkan bahu.
“Saranku mending buruan jujur, daripada kucing-kucingan terus. Nggak pengen gitu ganti main kuda-kudaan?!”
“Dasar mulut sialan!” umpat Cello hampir melempar sahabatnya itu dengan garpu. Mulutnya beneran tidak dipasang filter ngomong sama Letta.
Tertawa cengengesan, Daren meletakkan sendoknya dan meraih ponselnya yang berdering. Dia kemudian buru-buru bangun karena dicari oleh papanya.
“Aku balik ke kantor dulu!” pamitnya, tapi Cello justru ikutan beranjak dari duduk.
“Ayo, aku antar ke kantor bunda! Habis ini aku juga ada meeting di Pradipta grup,” ajaknya menggandeng tangan Letta.
“Paling enak jadi kamu! CEO di kantor ayahmu, dan punya separuh lebih saham di perusahaan papamu. Pantesan kerja juga semaunya. Mau kamu tinggal ngorok juga duit datang sendiri!” ucap Daren menggerutu iri dengan keberuntungan Cello yang punya dua pasang orang tua tajir semua.
“Andai saja hidupku memang sebahagia itu, Bro. Kamu tidak akan pernah mengerti sesulit apa harus memilih, antara papa kandung dan ayah sambung yang sama-sama berarti.”
“Maksudnya?”
Daren mengernyit tidak paham, karena selama ini biarpun Cello menyandang nama belakang ayah sambungnya Nugroho, namun hidup mereka tetap rukun dengan keluarga papa kandungnya Aksa Pradipta. Bahkan, rumah mereka pun saling berdekatan di komplek yang sama di tempat orang tua Nay.
“Aku jelaskan juga percuma. Otakmu tidak akan nyangkut kesana!” olok Cello nyelonong melewati Daren dan menggandeng Letta keluar.
“Penghinaan! Ganteng-ganteng gini aku juga lulusan terbaik Harvard!” protes Daren mengekor di belakang mereka.
“Justru itu masalahnya. Kok bisa yang otaknya kurang setengah ons kayak kamu jadi salah satu lulusan terbaik sana?!” ledek Cello terkekeh.
“Sialan!” sungut Daren bergegas menuju ke arah mobilnya diparkir.
“Aku duluan!” serunya berpamitan sebelum kemudian naik ke mobilnya. Tadi dia dari meeting di luar, jadi sekalian cari teman makan siang.
Cello dan Letta menatap mobil sport biru itu hingga melaju keluar area parkir restoran, lalu keduanya melangkah menyusuri trotoar menuju ke kantor bunda Cello di sebelah. Tahun ini Letta lulus dari kuliah hukum, dan sudah setahun terakhir dia setiap hari datang membantu di kantor bunda Cello. Punya kesempatan belajar langsung dari pengacara kondang, adalah hal luar biasa yang tidak mungkin Letta lewatkan.
Satu hal yang membuat Cello tersentuh. Letta rela melepas tawaran dari omnya untuk melanjutkan magister nya di London. Bukan tidak ingin, tapi dia berat kalau harus berpisah lagi darinya. Yang benar saja, mereka sudah pernah menjalani LDR lima tahun lebih selama Cello menempuh pendidikan di London.
“Ta …”
“Hm …”
“Kamu nggak ingin mempertimbangkan saran Daren tadi?” tanya Cello yang merangkul kekasihnya itu. Mereka sudah berbelok masuk ke halaman kantor bundanya.
“Saran yang mana?” tanya Letta pura-pura tidak paham, karena tidak ingin diungkit soal itu lagi. Namun, jawaban Cello justru membuatnya tergelak.
“Yang main kuda-kudaan.”
Gemas Cello merangkul leher Letta. Baru saja dia hendak mencium kening gadisnya, tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara klakson nyaring. Hampir saja Cello mengumpat, namun malah terbelalak kaget melihat ternyata mobil Liam disana.
“Bang Liam,” cicit Letta lirih dengan wajah pucat pasi.
Iya, apa yang Cello takutkan akhirnya terjadi juga. Liam barusan memergoki mereka. Kakak Letta yang kemarin baru menikah itu turun dengan langkah lebar dan raut merah padam.
“Teman b*****t!” umpatnya menghantamkan tinjunya ke wajah Cello.
Tidak, Cello sama sekali tidak berusaha memberi perlawanan. Membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan sahabatnya yang sedang digulung emosi, karena sadar dirinya yang salah. Dia hanya terkejut ketika Letta yang hendak memisah justru jatuh tersungkur kena dorong abangnya.
“Seperti ini caramu menghargaiku sebagai seorang kakak. Bagus! Luar biasa kamu, Letta!” teriak Liam ke adiknya yang menangis panik.
Meringis, Cello bangun hendak mendekati Letta yang berdiri mematung dengan wajah menunduk terisak di samping kakak iparnya.
“Ada apa ini?!” seru Sasha Dewanti, bunda Cello yang keluar dari kantornya dengan nafas ngos-ngosan setelah ditelpon oleh istri Liam. Pengacara kondang berwajah cantik itu tampak menggeleng mendapati wajah putranya yang babak belur.
Liam pergi begitu saja dengan membawa amarahnya. Meninggalkan mereka yang hanya bisa menatap kepergiannya tanpa bisa berbuat apa-apa. Shera yang mengejar suaminya tampak bicara sebentar dan kembali menjauh membiarkan Liam pergi.
“Kalian sih! Kalau sudah begini gimana coba?!” omelnya menggeleng dengan tatapan iba ke Letta.
“Cello, sebenarnya ada apa? Kenapa kalian bisa ribut sampai kamu bonyok begini? Bikin salah apa kamu sama Liam sampai dia semarah itu?” cecar Sasha menatap penuh selidik ke anaknya.
Dia sangat paham seperti apa Liam. Mereka besar bersama, dan sudah Sasha anggap anak sendiri. Jadi mana mungkin dia tidak memahami sifat masing-masing.
“Aku sudah bohong ke Liam, Bun.” jawab Cello.
“Soal?” Sasha makin penasaran.
“Kita masuk dulu! Malu jadi tontonan. Bisa-bisa nanti malah viral dengan wajah bonyok begini. Malu, aku!” ucap Cello menggandeng tangan Letta yang masih gemetar.
Mereka berempat masuk ke kantor tiga lantai itu. Sasha Dewanti, pengacara yang nyaris tanpa kalah. Cello sebenarnya mewarisi otak jenius bundanya, tapi entah kenapa sekarang justru makin bego. Terlebih setelah berteman dengan si tengil Daren. Kelakuannya makin hari makin membuat orang tuanya elus d**a.
“Maaf,” gumam Letta lirih.
“Nggak apa-apa. Cuma bonyok sedikit kok! Abangmu cuma kasih peringatan. Kalau dia benar-benar niat, sekali gebrak leherku sudah pasti patah.” Cello masih bisa tersenyum menenangkan Letta yang terlihat begitu takut.
Masuk ke ruang kerja bundanya, Cello menggandeng Letta duduk di sampingnya. Sedang Shera kakak ipar Letta itu menghela nafas panjang dengan wajah kalutnya, karena tahu urusannya bakal ribet. Suaminya orang yang keras. Tidak mudah untuk membujuknya.
“Kompres dulu mukamu! Bunda sudah kasih kabar ke papamu. Minta rapat pemegang saham diundur dulu.” Sasha mengulurkan kompres yang diterima Letta dan membantu mengompres beberapa lebam di pipi juga pelipis Cello.
“Papa nggak marah kan?” tanya Cello nyengir melihat bundanya mendelik.
“Kamu itu terlalu dimanja sama papa juga ayahmu. Makanya jadi seenaknya begini! Sekarang bilang, ada masalah apa kamu sama Liam sampai dia bisa semarah itu! Seumur-umur baru sekali ini Bunda lihat dia sebegitu marahnya sampai menghajar kamu begini!” tanya Sasha serius.
Letta menunduk dengan wajah bersalah, sedang Cello nyengir menyembunyikan gugupnya. Asal tahu saja, Cello paling takut ke bundanya yang kalau marah bikin dia bergidik.
“Kenapa diam? Bikin salah apa kamu ke Liam?!” ulang Sasha makin curiga dengan diamnya Cello dan wajah takut Letta.
“Liam marah karena tahu aku dan Letta diam-diam pacaran. Tadi dia memergoki kami sedang jalan rangkulan.”
“Syukurin!” sahut Sasha ketus dengan tatapan kesalnya.
Namun, tanggapannya itu membuat mereka bertiga cengo. Bunda Cello tampak sama sekali tidak kaget tahu anaknya pacaran sama Letta.
“Syukurin? Kok tanggapannya gitu? Harusnya Bunda kaget dong! Aku sama Letta pacaran, Bun. Sejak sebelum aku berangkat ke London,” ucap Cello terheran-heran.
“Terus Bunda harus bilang wow gitu!” balas Shasha dibuat keki bukan main oleh anaknya yang satu itu.
“Kak Sasha tahu mereka pacaran?” tanya Shera, tapi bunda Cello justru tersenyum menggeleng.
“Kalian sepertinya lupa, aku pengacara yang sudah biasa berhadapan dengan penjahat model apapun. Mana mungkin aku sebodoh itu tidak bisa membaca gerak-gerik mereka. Cello itu anakku. Aku tahu kapan dia jujur, dan kapan dia berbohong,” jawab Sasha.
“Maaf, Tante.” Letta menunduk dengan suara gemetar. Merasa bersalah pada orang yang sejak dia kecil sudah menganggapnya anak sendiri itu.
“Bun ….”
“Wajar Liam marah, karena kalian keterlaluan. Kita sama-sama tahu dia itu sejak kecil sangat sensitif. Coba kalau kamu bukan anak kami, sudah dibawa ke rumah sakit kamu sekarang! Selesaikan masalahmu dengan Liam. Bunda tidak ingin hubungan kalian renggang, dan dia menjauh dari kami!” tegas Sasha.
“Nanti aku makin bonyok, Bun!” keluh Cello.
“Minta mamamu kirim ambulan ke tempat kamu menemui Liam! Jadi laki-laki yang gentle, Bang. Kalau nggak, sunat saja lagi sana!”