Bab 4. Tiga Sahabat Konyol

1817 Kata
Pertemuan dua keluarga mereka memang berakhir tidak mengenakan, tapi juga menyisakan lega di hati Daren. Meski papa Nay kukuh menentang, paling tidak dia sudah mengantongi restu dari keluarga Lin. Terlebih mama Nay sudah membukakan pintu rumah mereka lebar-lebar untuk Daren kapanpun dia mau datang. Bukan tanpa alasan, Rena hanya tidak ingin anaknya justru harus sembunyi-sembunyi bertemu Daren tanpa sepengetahuan mereka. Itu jauh lebih baik dan membuat mereka tenang, karena tahu sudah ada yang bertanggung jawab atas Nay ketika sedang di luar. Hanya saja, Daren memang benar-benar harus siap mental berhadapan dengan Satria Lin yang mulutnya pedas bukan main. Pesta pernikahan Liam sepupu Nay sudah selesai. Ketika semua sudah memilih pulang, di kamar hotel masih terdengar suara bincang Daren, Liam dan abang sepupu Nay satunya lagi, Cello. Berawal dari persahabatan mereka bertiga lah yang kemudian membuat daren mengenal Nay, dan jatuh hati pada gadis cantik dengan sifat polosnya itu. “Sampai bengkak begini matanya nangis terus!” Daren mengusap lembut wajah Nay yang tidur di pangkuannya. Dia diizinkan pulang belakangan karena ada Cello disana. Mamanya pulang duluan untuk meredam amarah papa Nay, supaya nanti tidak lanjut ribut lagi ketika bertemu di rumah. “Ini kali pertama dia membangkang larangan Om Sat. Dulu saat dekat dengan Sean meski juga diam-diam bertemu di luar, tapi tidak sampai terang-terangan membantah,” kata Cello menatap iba adik sepupu yang sejak kecil tumbuh bersamanya itu. “Iya, sekarang sekalinya berontak malah minta nikah. Mana sama pria tengil lagi. Pantas saja Om Sat mencak-mencak!” cibir Liam melirik Daren sinis, tapi sahabatnya itu justru tertawa terkekeh membetulkan jasnya yang dipakai untuk menyelimuti Nay. Hari ini perjuangannya untuk meraih hati Nay memang terwujud, namun sekaligus jadi awal perangnya dengan sang calon mertua. “Aku paham apa yang dirasakan Om Satria. Begitupun orang tuaku. Jujur saja, kalau aku di posisi dia juga tidak akan melepaskan anak perempuanku untuk diperistri pria yang hidupnya bergelut dengan bahaya. Jadi ya jalani saja dulu. Berharap aku tidak butuh waktu lama untuk bisa meyakinkan papa Nay, kalau aku sanggup menjaga dan melindungi anak kesayangannya," ucap Daren dengan mimik serius. “Tapi untungnya orang tuamu bisa sabar menghadapi omongan kasar Om Sat. Tidak serta merta menelan mentah-mentah ucapan pedasnya. Kalau orang lain mungkin sudah ikutan emosi, dan ujung-ujungnya hubungan kalian yang berantakan,” ujar Cello. “Orang tuaku memang gitu, biasa tenang menghadapi masalah. Lagi pula sebelumnya sudah diwanti-wanti Om Ibra supaya tidak terpancing iparnya yang katanya gampang terbawa emosi.” “Biarpun emosian, tapi bagi yang sudah kenal akrab Om Sat pasti tahu kalau aslinya juga konyol. Dia itu musuhku dari aku kecil. Usil dan menyebalkannya minta ampun, tapi sayang banget ke keluarga.” Senyum tersungging di bibir Cello. Seperti sedang kembali ke masa dulunya, lalu pandangan Cello kembali tertuju ke Nay yang tidur memeluk lengan Daren. “Jangan salahkan Om Sat yang terlalu over protektif ke Nay. Kamu bisa tanya ke Liam, setulus apa kasih sayangnya ke Nay selama ini. Meskipun mantan buaya, tapi Om Sat menyayangi Nay sejak kecil seperti ke anak kandungnya sendiri. Cinta tanpa syarat, sampai-sampai Om Sat nyaris gila ketika Nay tiba-tiba menghilang diculik oleh ayah kandungnya sendiri,” lanjut Cello. Liam beranjak mengambil sebotol air dingin dan meneguk nyaris setengahnya. Pengantin baru yang menikahi kakak iparnya sendiri itu kembali duduk dan menyandarkan punggungnya dengan muka lelah. “Kuncinya cuma sabar. Yakinkan Om Sat kamu memang pantas dan mampu untuk mengambil tanggung jawab menjaga juga membahagiakan anaknya. Sekarang mungkin dia sedang kecewa. Sudah merawat dan menyayangi Nay dari kecil, tapi demi kamu yang bahkan baru beberapa bulan Nay kenal justru memilih membantahnya. Sakit hati banget pasti!” kata Liam ada benarnya juga. Iya, hal itu hampir luput dari pikiran Daren. Tadi terlalu bahagia sekaligus kaget mendengar permohonan Nay ke papanya, dia sampai tidak berpikir ke hal itu. Ucapan terakhir papa Nay sebelum pergi tadi benar-benar terdengar sakit dan sarat kekecewaan. Terserah, toh restunya tidak penting. Karena sepenggal kalimat itu Nay sampai tantrum tidak bisa berhenti menangis. “Om Ibra sudah mengalihkan Jeje untuk mulai menjaga Nay. Mulai sekarang lebih hati-hati kalau mengajaknya keluar. Kalau Vian bisa tahu gerak-gerik kita, berarti juga sangat mudah baginya untuk datang ke Nay. Semoga saja dia masih Vian yang dulu sangat menyayangi adiknya,” ucap Liam menatap Nay was-was. “Boleh aku tanya?” Daren tampak penasaran. “Apa?” sahut Cello. “Vian orangnya seperti apa?” tanyanya masih dengan ibu jarinya membelai lembut luka di ujung bibir gadis kesayangannya. Tidak langsung menjawab. Liam dan Cello yang sama-sama teman kecil abang Nay itu saling lempar pandang dengan senyum getirnya. “Vian itu tidak begitu banyak omong. Awalnya dia tidak suka ke Nay, tapi lama-lama kemudian sayang banget ke adiknya. Dia jago main biola. Sama sepertiku, Vian juga introvert yang sulit dekat dengan orang dan lingkungan baru. Makanya dulu sebelum ada Liam, kemana-mana kami selalu berdua. Bahkan di sekolah juga kami tidak punya teman. Papanya pria b******k yang suka main perempuan. Jadi mungkin karena itu dia mencari figur ayah pada papaku. Kami pernah bermusuhan gara-gara dia terlalu mendominasi dan seperti ingin merebut papaku. Terlebih Tante Lena, mama Vian juga sangat terobsesi ke papaku. Dia diam-diam membenciku dan berusaha dengan cara halus memperburuk hubunganku dengan papa.” Cello terus bercerita tentang sosok Vian, abang kandung Nay beda ibu, dan juga Lena Iskandar mamanya. Sedang Liam sesekali menimpalinya. Dari sinilah Daren sedikit banyak mulai paham tentang calon iparnya itu. Ponsel Daren berdering dengan pesan masuk. Dia buru-buru membukanya setelah melihat mama Nay yang mengirim chat. “Bagaimana keadaan Nay? Bujuk dia. Jangan biarkan menangis lagi,” tulis mama Nay yang masih mengkhawatirkan anaknya “Tante jangan khawatir, Nay baik-baik saja. Dia sedang tidur. Kami bertiga masih menunggunya bangun. Nanti setelahnya kami akan mengajak Nay makan malam dan mengantarnya pulang.” balas Daren. Nay sudah setengah jam lebih tertidur. Tadi dia duduk mendepis di sampingnya. Mungkin karena capek dan bengong mendengar kami bertiga mengobrol, tahu-tahu saja Nay sudah tertidur menyandar punggung Daren. “Mulai sekarang Tante percayakan Nay ke kamu, Daren. Tolong jaga dia untuk Tante. Ajak bicara, dekati dan buat Nay senyaman mungkin denganmu supaya dia mau berbagi beban. Selama ini dia terlalu tertutup. Mungkin saja kalau denganmu dia bisa lebih terbuka.” Pesan dari calon mertuanya itu masuk lagi ke nomor Daren. “Iya, akan saya coba. Terima kasih sudah berkenan mempercayakan anak Tante yang paling cantik ke saya,” balasnya. Liam mulai kelicatan. Pengantin baru itu sudah bolak-balik melihat ponselnya. Iya, Daren tentu saja tahu dia sudah ingin menghabiskan waktu berduaan dengan istrinya. “Tadi harusnya kita beritahu Om Sat tentang Vian dan Tante Lena yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda telah kembali. Mungkin itu akan sedikit membuatnya bisa menurunkan ego menerima Daren untuk ikut menjaga Nay,” lontar Cello. “Nanti biar Om Ibra saja yang bicara dengannya,” sahut Liam. “Kamu sebenarnya pakai pelet apa sih, sampai bisa bikin adikku keblinger gitu?! Muka pas-pasan, tengil nggak kira-kira, pecicilan lagi. Bisa-bisanya meski tahu kamu ikut terlibat bisnis gelap papamu, Nay masih jatuh cinta ke kamu!” ucap Cello dengan tatapan tidak sukanya. Daren tertawa. Gemas sekali ingin mencicipi lagi bibir mungil Nay. Sedikit konyol karena dia bisa tergila-gila pada gadis yang masih sangat muda ini. Beruntung, dia bisa mendapatkan hatinya. “Nggak usah pelet. Cukup berusaha selalu ada untuknya. Mungkin karena aku datang saat dia sedang terluka, dan selama beberapa bulan terakhir tidak pernah menyerah untuk mendekatinya. Meski kadang dengan memaksa,” jawab Daren. “Dasar mata Nay memang selalu keliru kalau pilih pria. Bego banget. Gemes, ih!” ucap Cello menarik pelan hidung Nay saat melintas hendak ke toilet. “Haish!” sungut Daren kesal menepis tangan Cello yang usil, tapi Nay sudah terlanjur menggeliat bangun. Meneguk habis sisa air di botol minumannya, Liam kemudian beranjak menyambar ponselnya. Tuh kan, Daren bilang juga apa. Pengantin baru sudah tidak sabaran, padahal ini masih sore. “Jadi ikut makan malam, nggak?” tanyanya. “Nanti aku tanya istriku dulu,” sahutnya. "Kalau sudah masuk kamar, biarpun sampai besok pagi tidak makan tidak minum juga betah kalian!" sindir Daren ke pengantin baru yang tergelak itu. Liam baru saja beranjak ketika Cello keluar dari toilet. Mulut-mulut usil mereka mulai saling meledek. “Aku ketiduran ya? Ini jam berapa? Nanti kalau pulang kemalaman bisa kena omel papa!” Nay yang baru bangun terlonjak kaget. “Nggak, aku sudah bilang ke mamamu kok. Nanti aku antar pulang setelah makan malam,” jelas Daren sebelum Nay makin panik. Dia bangun dan duduk dengan mata masih mengernyit sayu. Daren menyampirkan jasnya untuk dipakai Nay karena AC yang dingin, lalu merapikan rambut panjangnya yang berantakan. “Haus …,” ucapnya serak. “Sebentar!” Daren beranjak mengambil sebotol air mineral. Cello yang masih cekikikan kembali ke sofa setelah Liam balik ke kamarnya. Malam ini dia dan istrinya memang masih menginap disini. “Minum dulu!” Darin memberikan botol minuman setelah membuka tutupnya. Namun, Nay meringis saat hendak meneguk minumnya karen luka di ujung bibirnya yang makin bengkak membiru. “Aughh ….” “Makanya lain kali jangan sok pahlawan! Biar saja dia digebukin papamu sampai bonyok. Resiko ketahuan sudah main sosor ke anak orang!” cibir Cello ke Daren yang beranjak lagi mengambil sedotan. “Nggak usah nyinyir! Ingat, kamu juga lagi tunggu giliran bonyok di tangan Liam! Nanti kalau ketahuan kamu sudah pacari adiknya dan sering kamu ajak cipokan, bakal babak belur kamu di tangan dia!” balas Daren untuk nyinyiran sepupu Nay itu. Cello langsung mingkem. Sepertinya memang harus secepatnya mencari waktu untuk mengajak Liam bicara, dan jujur tentang hubungannya dengan Letta. “Lapar? Kamu dari tadi siang belum makan!” Daren meraih tangan Nay yang masih bengong. Mungkin nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, atau ingat lagi keributan di kamar sini tadi. “Nggak lapar. Nanti aku beli sup daging kesukaan papa saja, terus makan di rumah. Papa kalau lagi marah maunya di bujuk. Mudah-mudahan kali ini marahnya ke Nay nggak pakai lama. Sumpah, aku merasa bersalah banget ke papa, tapi juga tidak bisa mundur lagi. Terus aku harus gimana?” keluhnya dengan muka muram. “Harus sabar, karena selama kamu tidak menurut Om Sat pasti akan betah dengan marahnya!” ucap Cello. Daren hanya bisa tersenyum saat Nay menoleh dengan bibir mencebik. Matanya sudah mulai memerah. “Sup dagingnya beli dimana? Ayo kita makan dulu disana, nanti pulang beli buat papamu dan orang rumah. Mau?” Daren segera beranjak sambil mengganddng tangan Nay setelah gadis kesayangannya itu mengangguk. Cello celingukan mencari ponsel juga jasnya, lalu buru-buru menyusul. “Ke kamar Liam dulu!” seru Cello. “Paling kita juga nggak bakal dibukakan pintu. Orang dia lagi jebol gawang. Mana mau diganggu!” “Jebol gawang? Memangnya di kamar Bang Liam ada lapangan bolanya?” sahut Nay sontak membuat Daren dan Cello tertawa ngakak. “Jangan lemot-lemot kenapa, Beb. Bikin gemas tahu nggak!” ucap Daren merangkulnya keluar dari kamar. Nay tidak ambil pusing. Benaknya masih terus dipenuhi rasa bersalah dan memikirkan cara untuk mendapatkan maaf papanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN