Bab 7

1111 Kata
Shankara keluar dari mobil seraya membawa tas laptop dan setumpuk lembar tugas mahasiswanya. Ketika keluar dari garasi mobil, Shankara melihat seorang perempuan tengah berjalan melewati gerbang rumahnya. Shankara merasa tidak asing dengan postur tubuh perempuan itu. Tapi, Shankara tidak tahu siapa perempuan itu. “Papa!” panggil suara dari arah pintu ruang tamu. Senyum Shankra sontak merekah ketika melihat Lavanya sudah berlari kecil ke arahnya. “Halo, Baby,” sapanya seraya berjongkok untuk memeluk Lavanya. “Papa kenapa baru pulang, sih?” tanya Lavanya dengan manja. “Ini Papa tadi udah cepet banget tahu, pulangnya,” balas Shankara. “Terus, tadi apa Papa ketemu sama Missnya Lavanya?” “Ah, guru les kamu?” Lavanya menganggukkan kepala dengan semangat. “Iya. Tadi baru aja pulang. Apa Papa ketemu?” “Tadi Papa sempat lihat,” kata Shankara. “Miss kamu itu masih muda banget, ya?” “Iya, Pa. Masih muda dan cantik,” balas Lavanya seraya terkekeh. “Miss itu masih kuliah, Pa.” “Oh gitu,” balas Shankara menganggukkan kepala mengerti. Pantas saja Shankara merasa tidak asing. Sepertinya Shankara teringat pada mahasiswinya di kampus. Guru les Lavanya terlihat mirip dengan mereka. “Ya udah, ayo masuk.” Lavanya menganggukkan kepala seraya menggandeng tangan papanya lalu menariknya untuk masuk ke dalam rumah. “Miss itu kayak Lavanya, Pa,” kata Lavanya ketika mereka berdua melewati ruang tamu. “Mamanya Miss udah di surga. Sama kayak mamanya Lavanya.” Ucapan Lavanya itu membuat Shankara menoleh cepat ke arah putri kecilnya itu. “Kamu tanya-tanya soal orang tua, Miss-nya?” tanyanya seraya berhenti lalu berjongkok untuk menatap wajah Lavanya. Lavanya menggelengkan kepala. “Nggak. Miss sendiri yang bilang. Terus, siapa tahu mamanya Miss sama mamanya Lavanya sama-sama ketemu di surga.” Shankara tersenyum tipis. “Kalau Miss sendiri yang cerita nggak apa-apa. Kamu nggak boleh ya, tanya-tanya hal yang terlalu pribadi ke Miss atau ke orang lain. Takutnya dikira nggak sopan,” katanya menasihati Lavanya. “Iya, Pa. Lavanya tahu,” balas Lavanya mengangguk mengerti. “Tapi, Pa, Miss itu baik loh. Kalaupun Lavanya tanya-tanya, Miss juga selalu jawab kok. Kayak tadi Lavanya tanya soal pelajarannya Miss di kampus susah apa enggak, Missnya bilang biasa aja, gitu. Katanya yang susah itu dosennya,” lanjutnya seraya tertawa kecil, mengingat ekspresi wajah Asia yang tampak lucu ketika bercerita. “Dosennya susah?” tanya Shankara seraya kembali bangkit ke posisi berdiri seraya menggandeng Lavanya untuk memasuki ruang keluarga. “Iya,” jawab Lavanya. “Katanya Miss, ada dosen yang susahnya minta ampun. Miss telat ngumpulin tugas beberapa menit saja katanya nggak diterima. Kasihan Missnya Lavanya, ya, Pa.” Shankara tersenyum kecil mendengar celotehan Lavanya. “Padahal, Miss bilang udah susah payah ngerjain tugasnya. Terus Miss juga bilang butuh usaha lebih buat bisa ngumpulin tugas itu karena sebelumnya tugasnya kebawa sama saudara tirinya Miss. Tapi, dosennya Miss tetap nggak mau terima. Miss bilang sampai pusing sendiri,” ucap Lavanya. “Andai dosennya Miss itu Papa, pasti Papa nggak akan kayak gitu kan, ya?” Lavanya mengangkat kepala untuk menatap papanya. Shankara menganggukkan kepala. “Tentu aja.” Senyum Lavanya melebar. “Iya. Papa kan baik! Paling baik satu dunia!” katanya seraya memeluk tubuh Shankara. “Kamu juga putri paling baik satu duania,” balas Shankara seraya meletakkan tas laptop dan tentengannya yang lain ke atas sofa lalu menggendong Lavanya. “Iya!” seru Lavanya girang sendiri. “Kalau gitu, ayo makan, Pa. Lavanya lapar.” “Oke.” Kemudian mereka berdua pergi ke meja makan untuk makan malam. Di meja makan, Lavanya bercerita mengenai kegiatannya di sekolah. Lalu, Lavanya kembali bercerita mengenai PR Matematikanya yang jadi lebih mudah berkat bantuan guru lesnya. Mendengar cerita Lavanya itu membuat Shankara tersenyum kecil. Tampaknya Lavanya menyukai guru lesnya itu. Selesai makan malam, Lavanya pergi ke kamarnya bersama dengan Bi Darsiah untuk mencuci kaki dan tangan sebelum tidur. Shankara sendiri pergi ke ruang belajar Lavanya, mengecek ruangan itu sebelum mematikan lampunya. Ketika Shankara menyisir ruangan tersebut, Shankara menemukan sebuah jaket berbahan jins tersampir di salah satu kursi yang berada di depan meja belajar Lavanya. Shankara mengambil jaket itu. Bau parfum yang harum dan lembut tercium dari jaket tersebut. “Apa jangan-jangan milik guru les Lavanya?” gumam Shankara. “Ketinggalan, sepertinya.” Tanpa memikirkan lebih lanjut, Shankara langsung melipat jaket itu dengan rapi lalu meletakkannya ke atas meja belajar. Namun, karena takut kotor, akhirnya Shankara membuka lemari kecil yang berada di samping meja belajar dan memasukkan jaket itu ke dalam. “Apa sebaiknya dicuci sekalian?” gumam Shankara yang langsung membuat Shankara menggelengkan kepala. “Nggak perlu. Rumah ini bukan tempat laundry.” Dengan begitu, Shankara mematikan lampu lalu keluar dari ruangan tersebut. *** Asia merebahkan badannya ke atas kasur. Dirinya baru saja sampai rumah. Dan beruntungnya, ia pulang ketika keluarganya sudah selesai makan malam. Jadi, malam ini Asia tidak perlu melewati makan malam yang menyiksa bersama dengan papanya, mama tirinya dan juga Clara. Mata Asia melirik ke arah map bening yang ada di atas meja belajarnya. Melihat benda itu sukses membuat d**a Asia berdenyut sakit. “Tugas Pak Shan,” rengeknya merasa sedih. “Nilai gue tak terselamatkan,” tambahnya dengan helaan napas dalam. Kenapa juga Asia harus bertemu dengan Shankara di semester ini? Asia kan tersiksa. Dosen itu benar-benar membuat Asia gila. Asia bangkit ke posisi duduk. Diliriknya pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka. Kini sosok Clara sudah berjalan memasuki kamarnya seraya memegang ponsel di tangannya. “Kenapa temen lo nggak ngefollow gue balik?” tanya Clara tanpa basa-basi. “Hah?” Asia menatap Clara dengan kernyitan di dahinya. “Temen lo. Cowok. Ganteng. Yang pernah lo ajak ke kampus gue. Cakra,” ucap Clara dengan santai. “Kenapa dia nggak ngefollow gue balik?” tanyanya lagi. Asia menghela napas kasar mendengar pertanyaan Clara itu. Berani-beraninya meminta follow balik dari Cakra! Memangnya Clara siapa? Kenal saja tidak. Dasar tidak tahu malu memang Clara! “Oh itu,” balas Asia seraya bangkit dari posisi duduknya lalu berjalan menuju pintu kamarnya. Clara yang penasaran dengan jawaban Asia sontak mengikuti Asia ke arah pintu hingga keluar dari kamarnya. “Kenapa?” tanya Clara menoleh ke arah Asia yang tengah berada di ambang pintu. “Karena…,” jawab Asia menggantung seraya menyentuh ganggang pintu. “Mana gue tahu!” lanjutnya langsung menutup pintu tepat di depan wajah Clara lalu menguncinya. “Dasar! Kurang ajar ya, lo! Berani-beraninya banting pintu di depan muka gue!” seru Clara terdengar kesal. “Bodo amat,” gerutu Asia tak peduli seraya kembali ke arah kasur. “Cakra itu punya gue. Jangan berani-berani deketin dia. Awas lo,” ucap Asia melirik ke arah pintu seraya menunjukkan sebuah tinju yang tentu saja tidak bisa dilihat oleh Clara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN