Chapter 3 -

789 Kata
Beberapa jam semenjak kepergian mertuanya, Mei masih duduk di sofa itu. Matanya menelusuri ruang tamu yang tidak luas dan sederhana itu. Rumah ini dibeli Aslan hampir 5 tahun yang lalu, sejak pria itu akhirnya dapat menyisihkan uangnya sedikit demi sedikit untuk mencicilnya. Tempat tinggalnya ini hanya memiliki 2 kamar tidur kecil, 1 kamar mandi, 1 dapur beserta ruangan terbuka, ruang tamu dan juga teras. Hal yang paling disukai Mei dari rumah ini adalah halamannya. Halaman berumput itu masih sangat luas dan membuatnya bisa menyalurkan hobi bercocok tanamnya. Ia banyak menanam tanaman hias, dan mereka tumbuh sangat subur. Suaminya itu juga memberi keleluasaan baginya untuk mengatur rumah. Tidak pernah satu kali pun Aslan menolak saat ia meminta rumah itu direnovasi kecil sesuai kemauannya. Selama hampir 2 tahun pernikahan mereka, selama itu pula Mei menganggap rumah ini adalah rumah masa tuanya kelak. Rumah itu sederhana, tapi sangat asri. Ia berhasil membuatnya menjadi rumah impiannya. Impian yang sekarang perlahan retak di matanya. Mengambil nafas panjang beberapa kali, wanita itu akhirnya bangkit dan mulai ke dapur. Saat ia membuka kulkas, yang ada di kepalanya hanyalah apa yang akan dimasaknya untuk suaminya nanti malam. Malamnya, pasangan itu makan dengan tenang seperti biasa. Meminum air putihnya, mata Mei berkelana ke Aslan yang meletakkan sendok garpunya. Pria itu terlihat puas dan kenyang. Wajah lelaki itu yang biasanya dingin, akan sedikit memerah saat ia senang. "Enak mas?" Anggukan antusias yang diberikan suaminya, membuat hati Mei sedikit ringan. "Enak sekali, Mei. Terima kasih. Kamu memang pinter masak." Masih tersenyum, Mei mulai membereskan piring-piring makan kotor di atas meja. Saat melihat Aslan akan membantunya, dengan lembut wanita itu menepis tangannya. "Kata bunda dulu, seorang isteri harus melayani suaminya. Mas cukup duduk saja." Mata pria itu mengerjap, tapi ia akhirnya kembali duduk. Tatapannya tidak lepas ke arah isterinya yang sibuk membereskan peralatan kotor dan mencucinya di wastafel. Sedikit berdehem, Aslan bertanya pelan, "Seharian ini kamu mengerjakan apa saja, Mei?" Tangan-tangan wanita itu masih sibuk mencuci. Pandangannya fokus ke pekerjaannya. "Bunda tadi mampir ke sini." Penjelasan singkat itu membuat kepala Aslan langsung tertunduk. Pria itu tiba-tiba saja diam. Melirik ke arah suaminya, Mei dengan tenang melanjutkan, "Tadi siang bunda sudah menjelaskan, kenapa mas Aslan sampai harus melakukannya. Bunda juga sampai minta maaf ke aku, mas." Kening pria itu berkerut. Pandangannya terarah pada satu tangannya yang saat ini tampak mulai terkepal. Melihat suaminya masih terdiam, Mei mengamati pria itu. Ia masih tidak paham arti ekspresi lelaki itu, meski mereka sudah 2 tahun bersama. Ia baru sadar, ia ternyata belum terlalu mengenal suaminya. Hatinya bertanya-tanya. Apakah ia yang kurang berusaha, atau ia memang tidak peka? "Aku mengerti mas. Aku akan menerima keputusan mas Aslan. Apapun itu." Perkataan itu masih tidak ditanggapi Aslan. Pria itu berdiri dan matanya masih tertunduk. "Aku akan mandi." Tanpa mengatakan apapun lagi, suaminya masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya pelan. Reaksi pria itu membuat Mei menundukkan kepalanya dalam. Apakah ia telah berbuat kesalahan? Saat wanita itu ke kamar tidur, tampak suaminya telah berbaring dalam selimut. Pria itu membelakanginya. Menghela nafas dalam, Mei pun akhirnya mengikuti dan terbaring diam beberapa saat. "Mei?" Suara berat pria itu yang tiba-tiba terdengar, membuat Mei sedikit kaget dan langsung menoleh. "Mas? Belum tidur?" Sejenak, pria itu kembali diam sebelum bertanya ragu-ragu, "Mei? Aku boleh... Malam ini...?" Mata sipit Mei mengerjap pelan. Entah kenapa, permintaan itu membuatnya mendadak sedih. "Boleh saja mas. Aku lagi tidak datang bulan kok." Perlahan, pria itu berbalik ke arah isterinya. Keduanya bertatapan sebentar, dan tangan kanan Aslan terulur untuk menyentuh pipi Mei lembut. Mata cokelat itu bergerak-gerak pelan. "Maafkan aku, Meichan..." Senyuman singkat diberikan Mei dan ia memegang tangan pria itu di pipinya. "Aku mengerti mas. Jangan minta maaf." Kedua alis pria itu berkerut dalam, dan kepalanya menggeleng pelan. "Tidak. Aku benar-benar bersalah padamu, sayang..." Bola mata Mei sedikit membesar saat ia melihat mata pria itu berkaca-kaca. Tapi sebelum ia dapat berkata apapun, lelaki itu langsung menciumnya. Ciuman itu sedikit berbeda dari yang sudah-sudah. Ciuman pria itu lebih agresif dan juga menuntut. Tangan-tangan yang juga biasanya mengelus lembut, kini terasa cukup kasar saat mer*mas tubuhnya. Entah apa yang merasuki Aslan, tapi lelaki itu memberikan percintaan yang jauh berbeda dari yang pernah dialami Mei sepanjang pernikahannya. Malam ini, pria itu berhasil membuatnya melayang ke awang-awang. Kegiatan yang awalnya hanya ia lakukan sebagai kewajiban, kini wanita itu lakukan demi kepuasan. Jika sebelumnya kegiatan tempat tidur itu hanya mereka lakukan seminggu sekali, kini Aslan menuntutnya hampir tiap malam. Entah dari mana energi lelaki itu, tapi ia seolah tidak pernah puas. Lagi dan lagi, suaminya memuaskannya dan membuatnya bahagia. Kebahagiaan itu tidak berakhir, sampai Mei duduk di atas kloset dan mematung memandangi benda kecil di tangannya. Tangannya gemetar tidak terkontrol dan ia menutup mulutnya sendiri. Perasaannya sangat campur aduk saat ini. Ia hamil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN