04 - Pulang.

2184 Kata
  "Kak Rafa bangun!" Teriak Rifa menggelegar.   Tak kunjung ada jawaban dari Rafa, membuat Rifa kesal mengingat ia sudah berkali-kali berteriak dan mengetuk pintu kamar Rafa tapi sepertinya Rafa belum juga terbangun dari tidur pulasnya.   Rafa memang termasuk orang yang sangat sulit jika di bangunkan meskipun sebenarnya Rafa sudah dewasa dan seharusnya bisa bangun sendiri. Sebenarnya terkadang Rafa memang bangun sendiri tapi lebih banyak di bangunkan orang lain ketimbang bangun sendiri.   Cklek...   "Ternyata pintunya sama sekali enggak di kunci," gumam Rifa begitu ia berhasil membuka pintu kamar Rafa. Biasanya Rafa selalu mengunci pintu kamarnya, tapi mungkin semalam Rafa mengunci pintu kamarnya.   Rifa membuka lebar-lebar pintu kamar Rafa, lalu memasuki kamar Rafa dan ia melihat sang Kakak yang masih bergelung di bawah selimut tebalnya dengan posisi tertelungkup.   Rifa duduk tepat di hadapan wajah Rafa. Senyun jahil terbit di sudut bibir Rifa begitu sebuah ide jahil melintas dalam pikirannya.   Rifa berdeham, lalu menunduk, memposisikan wajahnya di dekat telinga Rafa. Rifa tahu kalau Rafa akan sulit di bangunkan karena itulah ia akan berteriak tepat di telinga kanan Rafa dan bisa Rifa jamin kalau Rafa akan terbangun.   "Kak Rafa bangun!" Rifa akhirnya berteriak, teriakan yang mampu membuat Rafa seketika terlonjak bangun dari tidurnya.   Rafa mengusap telinga kananya yang berdengung, menatap Rifa dengan tajam. Sementara Rifa terus tertawa, sama sekali tidak peduli dengan tatapan tajam yang Rafa berikan padanya.    Rifa sontak berdiri, menjauhi Rafa saat melihat Rafa berniat untuk menyentil keningnya. Untung saja Rifa membaca pergerakan Rafa, jadi Rafa tidak berhasil menyentil keningnya.   Sentilan Rafa itu cukup menyakitkan karena Rifa sudah berkali-kali merasakannya.    Mungkin ada yang bertanya siapa Rifa?   Rafa dan Rifa itu saudara kembar, dan yang menjadi Kakak di sini adalah Rafa, karena Rafa lahir lebih dulu ketimbang Rifa yang menyusul beberapa menit kemudian.   "Berhenti tertawa Rifa," desis Rafa tajam.   Rifa memegang perutnya yang terasa sakit lalu berdeham, mencoba meredam tawanya, meskipun sebenarnya sia-sia, karena Rifa tetap saja tertawa meskipun sudah tak sehebat tadi. "Sudah pagi Kak, sudah waktunya Kakak bersiap untuk pergi ke kantor. Papah dan Mamah sudah bangun sejak pagi dan sibuk masak di dapur."   Rafa sontak mengalihkan pandangannya pada jam di dinding kamarnya, mengerang saat melihat jarum jam yang sudah menunjukan pukul 5 lewat 10 menit. Padahal semalam Rafa sudah memasang alarm di ponselnya, tapi kenapa tidak alarmnya tidak menyala?   Rafa meraih ponselnya yang berada di nakas, mendengus saat tahu kalau ia sama sekali tidak mengaktifkan nada, jadi saat alarmnya berbunyi hanya ada getar saja, pantas saja ia tidak mendengar alarm yang ia pasang berbunyi.   "Kak Rafa dengar gak sih?" tanya Rifa dengan nada merajuk. Rifa tentu saja kesal karena Rafa malah mengabaikannya dan memainkan ponselnya.   "Dengan Rifa, sudah sana keluar. Kakak mau mandi," jawab dan usir Rafa. Rafa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu beranjak bangun dari tidurnya.   "Bilang terima kasih kek karena udah Rifa bangunin," gerutu Rifa yang bisa di dengar dengan jelas oleh Rafa.   "Terima kasih ya adik Kakak yang cantik karena sudah membangunkan Kakak." Rafa terkekeh, seraya mengacak rambut Rifa, membuat tatanan rambut Rifa yang tadinya rapi kini berubah menjadi acak-acakan.   "Kak! Rambut Rifa jadi acak-acakan kan," jerit Rifa seraya menepis tangan Rafa dari kepalanya.   Tawa Rafa sontak lolos begitu mendengar teriakan kesal adiknya. Menjahili Rifa adalah satu hobi Rafa. Dulu, Rafa tidak akan berhenti menjahili Rifa kalau Rifa belum menangis, tapi sekarang Rafa tidak mungkin menjahili Rifa sampai menangis, karena Mamahnya pasti akan marah besar dan Rafa tidak mau mendapat amukan kemarahan dari Hesti.   Rifa berniat memukul Rafa, tapi Rafa sudah terlebih dahulu menghindar. Rifa mendengus, memilih keluar dari kamar Rafa dengan kaki di hentakan. Rafa menggeleng dan setelah memastikan kalau pintu kamarnya tertutup, Rafa bergegas menuju kamar mandi guna membersihkan tubuhnya.   Tak butuh waktu lama bagi Rafa untuk mandi, kini Rafa sedang berada di walk in closet, ia sedang memakai pakaian kerjanya yang di d******i warna hitam.    "Enaknya kalau punya istri, pasti ada yang bantu siapin semuanya," gumam Rafa seraya memasang dasinya.    Seorang istri? Terkadang Rafa berpikir, wanita seperti apa yang kelak akan menjadi pendampingnya, hidup menua bersama dengannya sampai ajal memisahkan. Sampai saat ini, Rafa belum juga menemukan seorang wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta.   Cinta?    Rafa sendiri tidak tahu apa itu cinta karena Rafa belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta di saat teman-teman atau sahabat-sahabtnya yang lain jatuh cinta. Rafa teramat sangat ingin merasakan yang namanya jatuh cinta dan Rafa sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba, hari di mana ia merasakan jatuh cinta seperti orang lain.   Setelah bersiap-siap dan memastikan kalau penampilannya rapih, Rafa bergegas keluar dari kamarnya, menuju ruang makan, di mana kedua orang tuanya pasti sudah menunggu kedatangannya.    "Selamat pagi Pah, Mah."   "Selamat pagi juga Rafa." Pramudya dan Hesti menjawab sapaan Rafa dengan kompak.   "Mana adik kamu Raf?"   Rafa mengedikan bahu tanda tak tahu. "Mungkin masih bersiap-siap di kamarnya Mah."   Ketiganya kompak menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat dan itu adalah suara langkah kaki Rifa. Rifa sudah rapi dan sama seperti Rafa, Rifa bersiap untuk pergi bekerja. Pekerjaan Rifa berbeda dengan Rafa, jika Rafa adalah seorang CEO maka Rifa adalah seorang model.   Rifa lantas duduk di samping Hesti dan mereka pun mulai menikmati sarapan yang sudah tersedia di meja makan dengan penuh canda tawa.   Inilah salah satu hal yang Rafa syukuri di antara kenikmatan lain yang ia rasakan. Rafa bersyukur karena ia masih bisa menikmati sarapan bersama dengan kedua orang tua dan juga adiknya di saat banyak orang di luar sana yang tidak bisa merasakan apa yang kini ia rasakan.     Sementara itu di tempat yang berbeda.   Keira yang baru saja bersiap-siap untuk menikmati sarapan yang ia buat begitu ie mendengar suara getar ponselnya yang berada dalam tas.   Keira merogoh tasnya guna mencari di mana ponselnya berada. Setelah berhasil meraih ponselnya, Keira lantas menghela nafas panjang saat tahu kalau orang yang baru saja menghubunginya adalah sang Ibu, wanita yang sangat ia rindukan.   Tanpa berpikir panjang, Keira menggeser ikon hijau pada layar ponselnya, menempelkan benda pipih tersebut di telinga kanannya.   "Halo Ibu." Keira mencoba menjaga agar nada suaranya terlihat normal, padahal kini matanya sudah memerah, bersiap menumpahkan tangisnya.   Keira sangat merindukan Ibunya mengingat sudah lama sekali mereka tidak bertemu, mungkin sudah hampir 6 bulan lamanya. Sebenarnya mereka cukup sering berhubungan lewar sambungan telepon, terkadang melakukan video call, tapi tetap saja rasanya berbeda.   "Halo Sayang, sudah sarapan?"   Keira diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Ibunya, fokus matanya kini malah tertuju pada menu sarapan yang ia buat. Biasanya setiap sarapan bersama saat di rumah kedua orang tuanya, ia akan menikmati makanan kesukaannya yang di masak langsung oleh sang Ibu, tapi semenjak ia kabur dari rumah, ia tidak bisa lagi menikmati sarapan bersama dengan keluarganya dan juga masakan buatan Ibunya.   Hiks, Keira sangat merindukan Ibunya, bukan hanya Ibunya, tapi juga seluruh orang rumah.   Keira ingin sekali pulang, tapi ia takut.   "Keira, kenapa diam Sayang?"   Keira sontak tersadar dari lamunannya begitu mendengar pertanyaan Ajeng. "Ini Keira lagi sarapan, Ibu sama Ayah sudah sarapan?" Keira mulai menyendokan makanan yang tadi ia buat dan rasanya benar-benar berbeda, padahal semua bumbu dan bahan yang ia gunakan untuk masak sama seperti yang biasa Ibunya pakai.   Obrolan antara Ajeng dan Keira pun berlanjut, terhenti saat Keira pamit untuk segera pergi bekerja.                                           ***   Saat Keira sampai di kantor, ternyata Rafa belum tiba dan Keira bersyukur akan hal itu. Sebisa mungkin, Keira selalu berangkat pagi dan tiba di kantor sebelum bosnya tiba.   Keira sontak berdiri dari duduknya begitu ia mendengar suara pintu lift terbuka dan keluarlah Rafa yang pagi ini terlihat sangat tampan dan juga mempesona.   "Selamat pagi Pak."   "Pagi Keira."    Layaknya atasan dan bawahan, Rafa dan Keira berbicara dengan formal, tentu saja mereka harus bisa bersikap secara profesional. Keira lantas mengikuti langkah Rafa, seperti biasa, ia akan membacakan jadwal apa saja yang akan Rafa lakukan hari ini.    Jadwal Rafa hari ini benar-benar snagat padat, itu artinya pekerjaan Keira juga akan sangat banyak. Keira harap kalau Rafa tidak beniat untuk lembur, karena ia ingin pulang. Pulang mengunjungi kedua orang tuanya tepat sebelum jam makan malam tiba.   Hari sudah beranjak sore, sudah tiba waktunya untuk Rifa pulang. Rifa baru saja keluar dari ruangan Rafa, pamit pada Rafa yang mungkin berniat lembur.   Pekerjaan Rafa dan Keira hari ini benar-benar sangat padat. Keira bersyukur karena Rafa tidak mengajaknya untuk lembur, mengerjakan berkas-berkas yang menumpuk.   Mungkin Rafa merasa sungkan padanya, karen itulah Rafa tidak mengajaknya untuk lembur. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Keira, mungkin jika Rafa mengajaknya untuk lembur Keira juga akan menolak.   Ting...   Keira bergegas keluar dari lift, melangkah menuju tempat parkir di mana mobilnya berada. Untung saja tadi pagi ia parkir di dekat lift, jadi ia tidak perlu melangkah jauh-jauh mengingat kedua kakinya sudah terasa pegal akibat sehatian bulak-balik ruangan Rafa.   Keira melirik jam di pergelangan tangannya, tersenyum saat ia tahu kalau ia bisa sampai di rumah kedua orang tuanya dengan tepat waktu, tapi itupun jika jalanan tidak macet parah.   "Semoga enggak macet," gumam Keira yang kini mulai melajukan mobilnya keluar dari area kantor, berbaur dengan jalanan yang ramai, penuh dengan kendaraan roda dua ataupun 4.   1 Jam adalah waktu yang Keira tempuh untuk samapi di kediaman kedua orang tuanya, cukup lama mengingat jalanan yang benar-benar macet.   Keira memakirkan mobilnya di garasi, lalu bergegas keluar mobil, sedikit merapihkan penampilannya agar terlihat lebih rapi.   Keira melangkah menuju pintu rumahnya yang tertutup rapat, menghela nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Secara perlahan, Keira membuka pintu, melongokan wajahnya untuk melihat bagaimana keadaan dalam rumah dan ternyata seperti yang Keira duga, rumah dalam keadaan sunyi sepi.   Keira membuka pintu semakin lebar, kembali menutup pintu begitu ia berhasil memasuki rumah. "Ibu, Keira pulang!"   Ajeng yang kebetulan sedang menyiapkan makan malam langsung berlari menuju teras depan begitu mendengar suara dari orang yang teramat sangat ia rindukan.   "Keira!"   Keira menoleh ke arah dapur, senyum di wajahnya seketika mengembang dengan sempurna begitu ia melihat Ibunya. Keira berlari menghampiri ibunya yang juga berlari ke arahnya.   Ajeng merentangkan kedua tangannya, memeluk Keira dengan erat, begitu pun dengan Keira yang membalas erat pelukannya.   "Ya ampun Keira, Ibu kangen banget sama kamu Sayang," bisik Ajeng seraya terus menciumi puncuk kepala Keira, menghirup dalam-dalam aroma Keira yang sangat ia rindukan.   "Keira juga kangen banget sama Ibu," lirih Keira dengan mata terpejam. Keira ingin menangis, tapi ia tahan, ia tidak mau membuat Ibunya ikut menangis.   Ajeng melerai pelukannya, menjauhkan wajahnya agar ia bisa dengan jelas melihat wajah putrinya. "Pasti makannya enggak teratur," ujar sendu Ajeng dengan kedua tangan yang kini menangkup wajah tirus Keira.   "Iya, masakan yang Keira masak enggak seenak masakan buatan Ibu," jawab Keira dengan raut wajah kecut.   "Makanya jangan kabur," ujar Ajeng gemas seraya menjepit hidung mancung Keira. Keira hanya terkekeh, membiarkan Ajeng menjepit kuat-kuat hidungnya.    "Jadi akhirnya anak Ayah pulang juga."   Ajeng dan Keira sama-sama melepas pelukan mereka, lalu menoleh pada asal suara. Saat itulah mereka melihat Erlangga yang sedang menuruni anak tangga.   "Kenapa? Ayah enggak suka kalau Keira pulang?" Keira merenggut dengan raut wajah yang semakin berubah kecut.   "Senang dong, itu artinya sogokan Ayah berhasil," sahut Erlangga dengan santainya. Erlangga duduk di sofa di ikuti Ajeng dan juga Keira yang kini duduk berdampingan, duduk tepat di hadapan Erlangga.   Mata Keira sontak membola, menatap horor Erlangga. Jadi ternyata memang benar kalau mobil yang Erlangga berikan padanya memang sebuah sogokan agar ia mau pulang.   "Jadi Ayah benaran mau nyogok Keira ya?"   "Enggak salah dan juga enggak benar." Lagi-lagi Erlangga menjawab pertanyaan Keira dengan santainya.   "Ya sudah, kalau begitu mobilnya Keira balikin lagi sama Ayah." Sedetik kemudian Keira menyesali kat-kata yang baru saja ia ucapkan.   Mobil yang tadi pagi Erlangga berikan padanya adalah mobil yang sudah sejak lama ia impikan dan kini belum juga sehari ia memakainya, ia malah berniat mengembalikan mobil tersebut pada Erlangga.   Alis Erlangga bertaut, menatap Keira dengan intens. "Yakin mobilnya mau di kembalikan?" Tanyanya dengan nada menggoda.   Keira diam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan Erlangga, karena sebenarnya ia tidak mau mengembalikan mobil yang sudah Erlangga berikan padanya. Tapi beberapa detik kemudian Keira mengangguk dengan mantapnya. "Iya," jawabnya dengan nada meragu.   Ajeng yang duduk di samping Keira gemas saat melihat raut wajah Keira yang kini berubah kecut. Ajeng tahu kalau sebenarnya Keira tidak mau mengembalikan mobil yang ia dan Erlangga beli kemarin.   Erlangga berdiri, melangkah menuju meja makan. "Enggak usah, Keira pakai aja mobilnya, lagian Keira senang tuh pas di kasih mobil dari Ayah sama Ibu."    "Siapa yang bilang kalau Keira senang?" tanya Keira dengan nada merajuk dan bibir cemberut.    "Ayah barusan."   "Ih, pasti Pak Mamat ya yang bilang sama Ayah." Kini Keira dan Ajeng berjalan tepat di belakang Erlangga, mengikuti langkah Erlangga yang akan pergi menuju meja makan, mengingat ini sudah waktunya menikmati makan malam.   Ah, sudah lama sekali Keira tidak makan malam bersama dengan kedua orang tuanya dan Keira benar-benar senang, ia sudah tidak sabar untuk segera menikmati makanan yang di masak secara langsung oleh Ajeng.   "Enggak kok, kan Ayah lihat sendiri pas Putri Ayah senang dengan kado pemberian Ayah dan juga Ibu."   Lagi-lagi Mata Keira sukses membola begitu mendengar penuturan Erlangga. Jika Erlangga melihatnya, itu artinya Erlangga berada di dalam mobil yang terparkir tepat di samping mobilnya saat itu. Seharusnya Keira sudah bisa menebak kalau saat itu Erlangga berada di dalam mobil, mengawasinya secara diam-diam.   "Sudah, sebaiknya kita makan malam dulu, Ibu sudah lapar." Ajeng langsung menyela, padahal Keira baru saja akan membalas ucaoan Erlangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN