SC 01 - Rencana Perjodohan

2025 Kata
“Jadi, informasi apa yang sudah berhasil kalian dapatkan?” Pertanyaan bernada tegas tersebut menyambut kedatangan dua orang pria berpakaian serba hitam di sebuah ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Seorang pria berkepala plontos dengan perawakan tubuh tinggi dan kekar, serta lebih berisi. Sedangkan seorang lagi berambut cepak dengan perawakan tubuh lebih pendek dan sedikit lebih kurus dibandingkan pria berkepala plontos. Kedua pria itu tidak lain adalah orang-orang suruhan Wira Wardhanu. Kedua pria itu saling melempar pandang satu sama lain, sebelum akhirnya pria berambut cepak mengangguk kecil. “Begini, Pak. Saya sudah mendatangi rumah kontrakan Ibu Shevi di Jalan Sukun, tapi beliau tidak ada di sana, Pak. Beliau sudah pindah. Rumah kontrakan itu juga sekarang sudah ditempati oleh orang lain. Saya coba tanya ke pemilik kontrakan dan warga sekitar di sana, tapi mereka mengatakan kalau Ibu Shevi sudah lama pindah. Kurang lebih sekitar lima bulan lalu Ibu Shevi pindah. “Pemilik kontrakan juga mengatakan kalau di bulan yang sama dengan kepindahannya, Ibu Shevi hanya tinggal di sana selama lima hari saja. Setelah itu, beliau pergi.” “Lalu?” “Ada salah satu tetangga yang rumahnya berada di depan rumah kontrakan Ibu Shevi mengatakan jika beliau sempat melihat Ibu Shevi dijemput oleh seseorang menggunakan mobil sedan berwarna hitam di hari kepindahannya,” terang pria berambut cepak bernama Rafael. Kerutan samar tercetak di kening Wira. “Dijemput seseorang menggunakan mobil?” “Benar, Pak.” “Siapa yang menjemputnya? Apa dia laki-laki atau perempuan?” tanya Wira beruntun. “Mohon maaf, Pak. Kalau itu saya tidak tahu. Beliau tidak melihat jelas wajah orang yang menjemput Ibu Shevi karena orang itu memakai topi. Tapi beliau bilang, kemungkinan besar orang itu adalah seorang laki-laki. Beliau juga bilang kalau beberapa kali melihat Ibu Shevi diantar atau dijemput dengan mobil tersebut,” jelas Rafael. Terdiam sejenak, Wira mengangguk paham. Ia lalu beralih menatap pria berkepala plontos. “Lalu bagaimana denganmu, Bri? Informasi apa yang sudah kamu dapatkan?” tanyanya pada pria berkepala plontos. Namanya Brian. “Saya juga sudah mendatangi minimarket, tempat Ibu Shevi bekerja, tapi kata pegawai di sana, Ibu Shevi sudah tidak bekerja di minimarket itu lagi. Ibu Shevi sudah berhenti bekerja sejak tiga bulan. Katanya, beliau terpaksa resign karena harus tinggal di rumah kerabat di luar kota dalam waktu lumayan lama. Sudah, Pak. Hanya informasi itu saja yang saya dapatkan, Pak.” Jelas Brian. Wira mengangguk paham. “Baik, terima kasih infonya. Tapi saya minta tolong sama kalian untuk tetap mencari Shevi. Saya tidak mau tahu, kalian harus bisa menemukan keberadaan wanita itu. Dan tolong, informasi apa pun yang kalian dapatkan—entah dari mana sumbernya—tolong segera beritahu saya. Mengerti?” “Baik, Pak. Kami mengerti,” jawab kedua pria itu bersamaan. “Oke, kalau begitu kalian boleh pergi.” Kedua pria itu mengangguk kompak. “Baik, Pak. Kami permisi.” Sepeninggal dua pria tadi, Wira tidak bisa untuk tidak memikirkan di mana keberadaan Shevi. Laki-laki itu mengembuskan napas kasar. Tubuhnya ia hempaskan pada kursi kerjanya. Informasi yang baru saja ia dapatkan justru malah membuatnya pening seketika. “Sebenarnya kamu di mana, Shev?” batinnya bersuara. Suara ketukan pintu berhasil menyadarkan Wira kembali. Laki-laki itu mendongak ke arah sumber suara dan mendapati seorang wanita berambut pendek sebahu yang memakai jumpsuit berwarna navy berdiri di ambang pintu ruangannya sambil mengulas senyum manisnya. “Mau makan siang bersama?” Berbanding terbalik dengan cuaca pagi tadi yang turun hujan, cuaca siang ini malah sangat terik. Mungkin jika terlalu lama berada di luar ruangan, bisa-bisa kulit akan langsung gosong. Hal ini pula yang menjadi alasan bagi Wira untuk tidak meninggalkan ruang kerjanya di tengah cuaca seperti ini. Selain kamarnya, ruang kerja adalah tempat ternyaman kedua menurutnya. Sayangnya, semua alasan itu sama sekali tidak berlaku jika sudah berhadapan dengan wanita berambut pendek di hadapannya ini. Lihat saja, hanya dengan berbekal tatapan memelas, Wira sama sekali tidak bisa menolak keinginan wanita itu. Seperti sekarang ini misalnya, wanita itu menunjukkan tatapan memelas padanya dan Wira tidak bisa menolak ajakan wanita itu untuk makan siang di warung bakso yang berada tepat di depan kantornya. “Kenapa tadi nggak minta tolong Mang Asep aja buat beli baksonya? Jadi, kita nggak perlu repot-repot mengantre begini,” gerutu Wira. Mereka sudah menunggu dari tadi, tapi pesanan mereka belum juga diantar. Memang, warung bakso ini terkenal enak dan harganya pun terjangkau. Jadi, tidak heran jika warung ini selalu ramai pembeli, terutama saat jam makan siang seperti sekarang. “Nah, ini pesanannya datang,” ucap wanita itu bertepatan dengan datangnya pesanan mereka. Dua porsi bakso jumbo dan dua gelas es teh manis kini tersaji di hadapan mereka. Wanita itu lantas mengucapkan terima kasih pada pegawai yang tadi mengantarkan pesanan mereka. “Selamat makan!” Wira hanya menggumam tidak jelas dan mulai meracik baksonya. Ia menambahkan tiga sendok sambal ke dalam mangkok baksonya. Begitu juga dengan wanita di hadapannya yang sudah lebih dulu sibuk dengan baksonya sendiri. “Kenapa tidak makan siang dengan Sakti? Biasanya kalian pergi makan siang bersama.” Wira membuka percakapan. “Aku ingin makan siang bersama Kakakku. Apa itu salah?” Wanita itu membalikkan ucapan Wira. “Tidak. Hanya saja, aku sudah seperti pacar cadangan yang akan kamu hubungi saat kamu tidak bersama pacar aslimu.” Wanita itu berdecak. “Jahat sekali pemikiranmu, tapi baiklah, aku tidak akan meminta maaf untuk itu. Anda sendiri yang menganggap diri Anda pacar cadangan, Bapak Wira yang terhormat.” Wira tak menyahut. Ia hanya merespons dengan tatapan kesal, yang kemudian dibalas tawa kecil nan renyah oleh wanita itu. “Bagaimana hubunganmu dan Sakti, Sas?” tanya Wira, mengalihkan pembicaraan. Sasmita, wanita yang sibuk memotong bakso, pun menghentikan gerakannya. Hanya beberapa detik, karena berikutnya wanita itu sudah kembali menyantap potongan bakso tersebut. “Aku belum bisa melupakan dia.” Jawaban itu berhasil menghentikan gerakan tangan Wira yang ingin menyuapkan makanannya. Ia meletakkan kembali sendok yang dipegangnya dan beralih menatap Sasmita. “Itu karena kamu masih mengharapkan dia,” ucap Wira. “Ya, benar. Aku memang masih berharap jika suatu saat nanti dia akan kembali. Padahal kenyataannya, sampai detik ini, sampai akhirnya aku menikah dengan Sakti, Barra belum juga kembali.” “Kalau begitu berhenti mengharapkannya, Sasmita. Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Karena sekuat apa pun kamu berharap, jika Tuhan tidak mengizinkan kalian bersama, kalian tetap tidak akan bisa bersama dan semua harapan itu hanya akan membuatmu sakit hati. “Jadi, lupakan dia dan cobalah buka hatimu untuk orang baru. Sakti, misalnya,” lanjut Wira. “Itu sulit, tapi aku sedang berusaha mencobanya.” Sasmita beralih menatap Wira. “Lalu kenapa Kakak tidak melakukannya untuk diri Kakak sendiri? Aku yakin Kakak juga harus melakukan itu.” “Maksud kamu? Aku harus melakukan apa?” Sasmita meneguk es teh manisnya yang baru berkurang sedikit. “Kakak seharusnya melupakan Kak Shevi dan mulai mencoba membuka hati untuk orang baru lagi.” “Kamu salah, Sas. Justru Kakak sudah melupakan Shevi. Hubungan kami juga sudah berakhir lama. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk mengingatnya lagi.” “Oh ya? Jadi, Kakak sudah melupakan Kak Shevi?” tanya Sasmita, yang langsung dihadiahi anggukan oleh Wira. “Bohong! Aku tahu Kakak masih belum bisa melupakan Kak Shevi. Sorot mata Kakak nggak bisa bohong. Kakak masih berharap dia kembali, dan itu kenapa Kakak mencarinya,” sahut Sasmita.” “Kakak tidak mencari—” “Tadi aku papasan sama Rafael dan Brian di lobi kantor,” sela Sasmita cepat. “Dan aku yakin mereka baru saja ketemu sama Kakak. Kakak pasti minta tolong sama mereka untuk cari Kak Shevi? Karena Kakak sudah nggak tahu harus nyari Kak Shevi di mana lagi. Aku benar, kan?” Wira tidak langsung menjawab. Ia menunduk menatap mangkok baksonya. Kemudian mengangguk. “Iya, aku memang minta mereka untuk nyari Shevi. Masih ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengannya,” jawabnya. Rasanya percuma ia berbohong kepada Sasmita, adik kesayangannya itu selalu bisa menemukan kebohongan apa yang sedang disembunyikannya. Wanita itu lebih pintar mengartikan tatapan mata seseorang. “Lalu, bagaimana hasilnya? Sudah dapat titik terang di mana keberadaan Kak Shevi?” tanya Sasmita dengan kedua alis terangkat. “Belum. Rumah kontrakannya sudah ditempati orang lain dan dia juga sudah keluar dari minimarket tempat kerjanya.” “Terus sudah cari ke mana lagi? Oh, Kakak sudah coba cari ke rumah sakit, tempat dia biasa cuci darah? Siapa tahu Kak Shevi ada di sana.” Wira tersentak. “Sial! Kakak benar-benar lupa soal yang satu ini, Sas. Makasih kamu sudah ingatin Kakak. Habis ini Kakak akan ke sana untuk memastikan langsung ada Shevi atau tidak,” ujarnya. “Tapi, bukannya habis jam makan siang, Kakak harus gantiin Papa buat meeting, ya?” Sial! Rencana Wira hari ini untuk pergi ke rumah sakit, batal. Selesai makan siang, Wira harus meeting bersama para staf kantor per divisi. Ini adalah agenda rapat bulanan mereka. Ayahnya sedang menghadiri acara pemakaman teman lamanya di luar kota. Jadi, mau tak mau Wira yang harus menggantikan sang ayah untuk memimpin rapat tersebut. Sayangnya, rapat siang itu berlangsung lebih lama dari biasanya. Wira mengevaluasi kinerja pegawainya pada setiap divisi serta meminta para staf yang ikut rapat untuk menyampaikan pendapat mereka masing-masing. Bukankah bos yang baik adalah bos yang mengayomi seluruh pegawainya? Dan ketika rapat sudah selesai, Wira justru harus mengurus beberapa hal lain terkait perusahaan. Jadi, Wira lupa akan agendanya pergi ke rumah sakit. Ia baru ingat ketika sudah sampai di rumah dan bergabung dengan orang tuanya untuk makan malam bersama. Otaknya kembali menyusun rencana. Besok—besok pagi, ia akan langsung pergi ke rumah sakit sebelum berangkat ke kantor. Sebenarnya ia bisa saja menyuruh Rafael atau Brian, atau orang suruhannya yang lain untuk mencari informasi di rumah sakit. Namun, Wira tidak mau melakukannya. Ia menghargai privasi Shevi, terlebih selama ini wanita itu selalu merahasiakan tentang penyakitnya dari orang lain. Makanya akan lebih lega, jika ia yang memastikannya langsung ke rumah sakit. Lagi pula, siapa tahu ia bisa langsung menemui dokter yang menangani penyakit Shevi selama ini. Benaknya masih terus memikirkan tentang Shevi, hingga sebuah suara tiba-tiba menyusup masuk ke indra pendengarannya. “... Aku ingin Wira juga ikut kita ke sana.” Itu suara Roy Wardhanu. “Ikut? Ikut ke mana?” tanya Wira seraya bergantian menatap bingung kedua orang tuanya. “Jadi, dari tadi kamu tidak mendengarkan Papa, Wira? Besok malam, Papa dan Mama akan pergi ke acara ulang tahun pernikahan teman Papa, dan Papa minta kamu untuk ikut ke sana.” Kedua alis Wira terangkat. “Papa minta Wira ikut ke sana? Untuk apa? Papa tahu sendiri kan aku paling malas datang ke acara-acara perayaan seperti itu,” ucapnya. “Kamu harus datang, Wira. Teman Papa punya anak perempuan. Dia cantik dan sopan. Papa yakin kamu pasti langsung menyukainya,” jawab Roy. Wira berdecih. “Alasan klise. Papa minta aku buat ikut datang ke sana karena Papa memang mau jodohin aku dengan perempuan itu, kan? Enggak, Pa. Aku nggak akan ikut kalian ke sana. Mama sama Papa saja yang datang ke sana,” sahutnya. “Papa ingin kamu segera menikah, Wira. Itu saja yang Papa inginkan,” ucap Roy. Lagi, Wira berdecak. “Aku akan menikah, Pa. Tapi nanti, tidak dalam waktu dekat ini.” “Nantinya itu kapan, Wira? Papa dan Mama sudah tua dan satu-satunya yang kami inginkan adalah bisa melihat anak-anaknya bahagia bersama pasangannya. “Ingat, umur kamu itu sudah sangat matang untuk menikah. Memangnya, apa kamu nggak malu dilangkahi oleh adikmu sendiri? Sasmita saja sudah menikah, sedangkan kamu, kamu mau sampai kapan terus menunda menikah?” “Wira tahu, Pa. Wira tahu soal ini, tapi tolong kali ini, Papa jangan terlalu ikut campur dengan kehidupan Wira. Biarkan Wira cari pilihan Wira sendiri. Sudah cukup Papa mengatur kehidupan Sasmita sampai-sampai dia harus menikah dengan laki-laki yang nggak dia cintai.” “Papa hanya ingin yang terbaik untuk kalian,” sela Roy. “Yang terbaik kata Papa? Yang terbaik untuk kita adalah dibebaskan dengan pilihan masing-masing, bukan dengan melakukan perjodohan,” tegas Wira. Diletakkannya sendok dan garpu di atas piring dengan kasar, mengambil gelas di depannya dan meneguk isinya, lalu meraih tisu. “Terserah Papa mau bilang apa, yang jelas Wira nggak mau datang ke pesta itu dan Wira juga nggak mau dijodohkan dengan siapa pun.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN