Jungkook duduk disalah satu anak tangga sembari mengikat tali sepatu, sesekali jemarinya cekatan menepuk-nepuk tiap sudut sepatu. Ia tak ingin usia sepatu yang seharusnya sudah diganti, jadi terlihat oleh orang-orang. Terutama dia.
"Kau pasti pakai uang Jungkook lagi kan, Dojoon?"
Suara ribut-ribut diruang TV membuat Jungkook berhenti sejenak mengikat tali sepatu.
"Jangan marah begitu, Mira sayang. Uang itu Jennie sendiri yang memberi untuk pengobatanmu."
"Itukan uang yang diberi kekasihnya, seharusnya kau tidak boleh terima!"
"Kalau tidak kuterima, bagaimana caranya aku bisa membiayai pengobatanmu? Kau tahu kan, uang sulit didapat pada zaman sekarang."
"Pokoknya besok kalau kau tidak punya uang, kita tidak usah pergi kerumah sakit."
"Jangan begitu, sayang. Aku benar-benar tidak punya uang untuk berobat besok."
Jungkook mendesah berat meninggalkan rumah. Pertengkaran karena masalah uang memang sudah biasa Jungkook dengar tiap pagi.
Han Dojoon dan Ahn Mira. Keduanya adalah sepasang suami-isteri yang menjadi orang tua angkat Jungkook. Sejak kecil Jungkook diadopsi oleh mereka dan dibiayai sekolah hingga tingkat SMP, karena pada awal masuk SMA hingga sekarang Jungkook terpaksa mencari uang dengan caranya sendiri untuk tetap sekolah.
Begitu pula Jin. Tapi setidaknya sepupu Jungkook itu jauh lebih beruntung karena dia masih memiliki kakak yang mengiriminya uang tiap bulan. Mereka yang hidup dikeluarga itu telah terbiasa menghidupi diri masing-masing.
Namun beberapa tahun belakangan, situasi berubah menjadi sedikit sulit karena Mira terkena penyakit ginjal. Mengakibatkan sepasang suami-istri tersebut harus bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah atau sekedar mengontrol kesehatan. Kalau sudah begitu, mustahil sepasang suami-isteri itu tidak membutuhkan bantuan dana dari Jin dan juga Jungkook.
Tanpa menimbang-nimbang keputusan terlebih dahulu, Jungkook langsung mengeluarkan ponsel dari saku roknya dan mulai menghubungi seseorang.
"Hallo," suara laki-laki menyahut di seberang.
"Apakah kau merindukanku, Taehyung?"
Taehyung terkekeh ringan. "Katanya kau banyak test sampai minggu depan?"
"Aku berubah pikiran."
"Boleh tahu karena apa?"
Jungkook memutar bola matanya bosan. Lagi-lagi harus mencari alasan.
"Aku mau membeli sepatu seperti punya Jin. Pacarnya baru saja membelikannya lima pasang sepatu mahal. Aku mau membalasnya dengan membeli sepuluh pasang sekaligus."
"Sepatu lagi?" alis Taehyung menyerinyit. "Kemarin katanya kau mau membeli sepatu, tapi nyatanya sampai sekarang kau masih memakai sepatu jelekmu itu."
Jungkook melirik sepatu yang ia kenakan sekarang.
'Memangnya sejelek itu ya? Sampai-sampai keihatan jelas,' batin Jungkook.
"Yang kemarin itu sudah kubeli kok. Kau-nya saja yang kurang beruntung karena tiap kali bertemu, aku sedang memakai sepatu yang sama."
"Heh? Kau bicara begitu, bukan untuk menutupi kalau uangnya kau pakai untuk berkencan dengan laki-laki lain kan?"
"Kalau memang tidak ingin tidur denganku, ya sudah! Jangan asal menuduhku begitu," kesal Jungkook. "Aku masih bisa mencari laki-laki lain yang mau memberiku uang untuk beli sepatu—"
"Jam empat nanti," potong Taehyung cepat, terdengar nada suaranya agak panik. "Di hotel kemarin."
Jungkook tersenyum lebar. Kali ini dia yang memenangkan adu argument.
"Aku ada jam tambahan setelah pulang sekolah, mungkin aku akan sedikit terlambat."
"Terserah. Selagi kau datang dan tidak tidur dengan laki-laki lain, jam empat nanti aku sudah ada menunggumu disana."
"Oke. Dah… Taehyungie sayang."
.
.
.
.
Taehyung membuka pintu tanpa menghentikan pembicaraan di telepon. Sesuai dugaan, yang mengetuk pintu adalah gadis manisnya. Taehyung tidak berbicara apapun, ia hanya memberi isyarat dengan mundur tiga langkah. Menunggu Jungkook masuk terlebih dahulu, baru menutup dan mengunci pintu tiga kali.
Sofa empuk didekat tempat tidur langsung menjadi incaran Jungkook, tanpa membuang waktu tubuh rampingnya langsung menghempaskan diri ke sofa. Ekor matanya sesekali melirik Taehyung yang masih sibuk berbicara urusan bisnis ditelepon.
Jungkook mendesah jengkel. Jika sudah menyangkut masalah pekerjaan, Taehyung pasti akan cukup lama menangani. Jungkook tahu betul bagaimana Taehyung, pemuda tampan itu selalu menuntut kesempurnaan disetiap pekerjaannya.
Bicara soal pekerjaan. Hampir setengah tahun menjalin hubungan, Jungkook sama sekali belum tahu pasti apa pekerjaan Taehyung. Tiap kali bertemu, yang menjadi topik utama adalah kehidupan sekolah Jungkook. Biaya sekolahnya lah, sampai kejadian apa yang terjadi di sekolah, baru setelah itu mereka akan baku hantam diatas kasur—tempat formal mereka melakukan seks. Tak pernah sekalipun Taehyung menyinggung masalah pekerjaan.
Dimana ia bekerja? Jabatan apa yang ia duduki? Jenis pekerjaan apa yang tengah digelutinya? Kalau semua pertanyaan itu diajukan pada Jungkook, pastilah gadis itu hanya mampu menjawab tidak tahu. Itulah kenyataannya. Tak satupun yang Jungkook ketahui tentang Taehyung selain kenyataan bahwa pemuda tampan itu memiliki banyak uang dan menikmati tidur bersamanya.
Pertama kali bertemu Taehyung saja, Jungkook duluan yang merayu. Tentu saja, begitukan cara berbisnis yang telah temannya—Sana ajarkan sebelum menjual diri? Ia hanya perlu dipinggir jalan—tempat wanita malam lainnya berkumpul, lalu mulai menghampiri laki-laki yang berpotensi memberi uang banyak.
Tiap laki-laki yang muncul adalah kompetisi, dan untungnya diantara banyaknya perempuan, Jungkook lah yang berhasil menarik perhatian Taehyung hingga sekarang.
.
.
.
Flashback…
Jungkook menyibakkan rambutnya yang mulai terasa gerah. Meskipun malam hari, berdiri di pinggir jalan dengan masih mengenakan seragam sekolah tetap terasa panas. Aneh sih, disaat semua perempuan berusaha tampil mencolok, Jungkook malah berpenampilan seperti anak badung yang belum pulang ke rumah sejak pulang sekolah.
Sana sebenarnya sudah meminjaminya baju, tapi tidak mungkin kan ia memakai pakaian Jennie yang volumenya jauh melebihi tubuh Jungkook.
"Eh, eh… lihat mobil Mercedes Benz hitam itu, Nini," tunjuk Jennie pada mobil hitam yang berhenti didepan lampu merah.
Jungkook melirik sekilas, lalu kembali asyik menendangi batu kerikil di trotoar.
"Banyak sekali yang mengerumuni mobil itu."
"Mobilnya bagus sih," sinis Jungkook.
"Bukankah yang seperti itu incaranmu?"
"Kau tidak lihat, semua kursi penumpangnya penuh. Kalau begitu jadi susah menentukan diantara mereka mana yang punya uang banyak dan mana yang tidak punya uang sama sekali."
Jennie merangkul pundak Jungkook, memaksa gadis imut itu mau ikut mengamati si Mercedes Benz hitam.
"Aku berani bertaruh, si rambut pirang yang menyetir pasti paling banyak memiliki uang."
Jungkook melirik Jennie ragu," Kau yakin? Bisa saja dia hanya supir."
"Percayalah padaku, Jungkook. Aku sudah berpengalaman menilai laki-laki. Buktinya pacarku Taeyong adalah orang kaya."
"Umm…" Jungkook berpikir sambil menepuk-nepuk dagunya dengan jari telunjuk.
"Cobalah, Jungkook. Kau tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena tidak membayar uang pertengahan semester yang banyak itu kan? Pergilah kesana, aku yakin kau bisa mendapatkan laki-laki itu karena kau masih perawan. Tiga puluh juta bisa kau dapatkan disana."
"…"
"Uhhh… jangan bilang kau takut kehilangan keperawananmu. Kau sudah melangkah sejauh ini loh…"
"Hhh… oke. Aku kesana."
"Bagus!" Jennie menepuk ringan punggung Jungkook. "Semoga berhasil, Jungkook~"
Jungkook memasukkan kedua tangannya ke saku blazer sekolah, mulai berjalan santai menuju Mercedes Benz hitam incarannya. Ini kesempatan bagus, karena lampu lalu lintas masih menyala merah.
Dengan senyum sensual—ajaran Jennie, Jungkook mengetuk kaca jendela mobil dibagian pengemudi yang sedikit terabaikan oleh beberapa perempuan perayu lainnya karena wajah si pengemudi cukup terlihat menyeramkan.
Kaca mobil diturunkan. Jungkook tak langsung melontarkan rayuan seperti layaknya w************n. Ia hanya perlu menjaga fokus mata incarannya agar tetap pada matanya. Menurun ajaran Jennie—lagi, bagian tubuh Jungkook yang cukup menarik perhatian laki-laki adalah mata hitamnya. Dan meskipun sepasang mata coklat itu menatapnya dengan bosan, setidaknya ia sudah berhasil mendapat fokus mata si makhluk tampan.
"Mau tidur dengan gadis perawan, tuan?" goda Jungkook tanpa memutuskan kontak mata.
"…" si tampan belum bereaksi apapun.
"Heh? Kau perawan?" tanya laki-laki tan yang duduk dibangku penumpan sebelah depan. "Berapa hargamu?" tanyanya penuh minat.
"Dia milikku, Kai!" sergah laki-laki lain yang duduk dibangku penumpang bagian belakang, hampir seluruh badan laki-laki berambut merah itu dihiasi oleh tato. "Kelihatannya kau masih SMA, Nona. Tenang saja, untuk anak SMA aku berani bayar mahal."
Jungkook hanya tersenyum sekilas pada dua laki-laki peminatnya. Ia masih menunggu si pirang bereaksi.
"Cih! Abaikan saja dia, nona," omel si rambut merah kesal karena tidak ditanggapi. "Dia itu kebal terhadap perempuan."
"Oh, ya?" goda Jungkook mengerjapkan mata beberapa kali. "Tapi sepetinya aku hanya tertarik padanya. Kalau dia tidak mau, ya sudah—"
"Kai, Chanyeol." akhirnya si pirang mulai bersuara. "Cepat turun dari mobilku!" perintahnya tanpa memutuskan kontak mata dari Jungkook.
Binggo!
Tebakan Jennie tentang laki-laki ini ternyata benar. Dialah si pemilik mobil.
"Tapi, Boss…" protes si kepala pemuda tan.
"Keluar."
"Ughhh… ayolah, Tae," si rambut merah ikut memprotes. "Katanya kau mau memberi tumpangan sampai kerumah."
Hanya sampai disana protes teman-teman Taehyung bisa didengar, karena setelahnya Taehyung langsung mendorong mereka keluar dari mobil.
Misi sukses untuk Jungkook.
Flashback end…
.
.
.
Jungkook menggeram jengkel. Kali ini bukan karena Taehyung yang begitu lama bertelepon ria, tapi karena perutnya tiba-tiba berbunyi minta diisi. Kalau diingat-ingat, sejak istirahat siang di sekolah, ia memang belum memakan apapun.
"Ya, ya… aku tahu, memang seharusnya begitu kan?" suara Taehyung tedengar jelas karena si rambut pirang itu tengah modar mandir dibelakang sofa yang disandari Jungkook.
"Ambil ini."
Jungkook masih menatap lurus kedepan, merasa kata-kata Taehyung barusan masih terarah pada lawan bicaranya ditelepon. Gadis manis itu baru tersadar kalau Taehyung bicara padanya disaat sebuah kantung plastik jatuh kepangkuannya.
"Bisa tidak memberinya dengan cara yang sopan?" cemberut Jungkook.
"Jangan salahkan aku, karena aku bicara dengan gadis tuli," seringai Taehyung sebelum kembali kepercakapan telepon.
"Sampai dimana tadi?" lanjut Taehyung menjauh dari Jungkook.
Perlahan Jungkook membuka kantung plastik dipangkuannya, ternyata isinya adalah shiratama dan sekotak s**u segar. Inilah yang membuat poin Taehyung lebih unggul dari Jungkook, Taehyung tahu makanan kesukaannya.
Dengan mata berbinar-binar, Jungkook langsung mengambil satu gigitan besar shiratama masuk kedalam mulut. Rasanya benar-benar nikmat sampai ke lidah.
"Kau lahap sekali makannya, tapi sekalipun begitu badanmu tetap kecil," sindir Taehyung.
Pemuda itu telah selesai dengan urusan bisnisnya, jadi kini ia mengambil posis duduk disebelah Jungkook, dan mulai memindahkan kekasih manisnya agar duduk dipangkuan.
"Heh? Kau sudah selesai?" toleh Jungkook hendak mengakhiri acara makannya.
"Lanjutkan saja makannya," perintah Taehyung cepat. "Selama kau makan, aku juga akan makan disini," bisik Taehyung mulai menjilati daun telinga Jungkook.
Jungkook tertawa pelan. "Oke. Karena kau yang punya uang, kau yang menentukan aturan mainnya."
"Deal!" sahut Taehyung setuju.
Jungkook kembali mengunyah shiratama, disaat bersamaan Taehyung mulai menggigit kecil lehernya. Ternyata cukup sulit berkonsentrasi pada makanan disaat orang dibelakang tengah menggerayangi tubuhnya.
"Taeh…" rengek Jungkook.
Jungkook mulai membuka sudut kemasan s**u segar, tangan Taehyung sudah mulai masuk dalam kemeja seragam sekolahnya dan membuka kaitan pakaian dalamnya dari dalam. Rasanya semakin sulit. Ketika Jungkook meneguk s**u, tangan Taehyung telah bermain pada daging daerah depan dadanya yang tak tertutup apapun lagi. Bibir pemuda tampan itu pun masih bermain dilehernya.
"Jangan tumpahkan minumanmu, sayang," bisik Taehyung karena satu garis air s**u mengalir melewati celah bibir Jungkook, turun kebawah tulang dagunya. Taehyung lantas langsung menjilatinya.
"Bisa kita mulai sekarang?" rengek Jungkook terengah-engah, dia sudah dalam mode terangsang penuh. "Aku sudah kenyang makannya."
"Bagus," gumam Taehyung menarik turun rok serta celana dalam Jungkook turun melewati pergelangan kaki. "Karena aku—"
Taehyung mengangkat pinggul Jungkook untuk menarik celananya sendiri turun kebawah. "—aku sudah sangat lapar."
"Ohh… Taehh…" keluh Jungkook karena disaat bersamaan Taehyung mulai menghentakkan anggota bagian bawahnya kedalam Jungkook.
"Kaaau—hhh, hhh, curang," rengek Jungkook dengan nafas mengikuti irama hentakkan Taehyung.
"Ini adil," protes Taehyung. Bibir Taehyung masih menggigit serta menjilati leher Jungkook, tangannya juga masih asyik bermain pada bagian depan tubuh gadisnya.
"Posisi ini bisa—ohh," Jungkook sedikit tersentak oleh gerakan Taehyung yang mulai sedikit cepat. "Mem—hhh… membuatkuhhh… tidak bisa… hhh, hhh, menyentuh-ahh, mu…"
Taehyung terkekeh ringan, jujur ia begitu menikmati posisi ini. Membuatnya bisa menyentuh Jungkook secara keseluruhan. Sepertinya posisi ini akan bertahan hingga beberapa menit kedepan. Dan kelihatannya—soal masalah Jungkook yang mempotes posisi seks mereka, seperti tidak ada masalah. Karena terlihat perempuan itu begitu menikmatinya.
.
.
.
Tbc