"Where have you been? (Dari mana saja kau?)" Mikha bertanya dengan mata menyipit. Kedua tangan perempuan itu bertengger manis di pinggang. Shween baru kembali setelah beberapa saat menghilang. Tentu saja dia khawatir.
"Habis dari ngerjain Ron," jawab Shween cekikikan.
Mikha menggeleng, perempuan berkulit tan itu mengembuskan napas melalui mulut. Lega karena sahabatnya tidak kenapa-kenapa.
"Jadi cewek usil banget sih!" sungut Mikha gemas. "Ntar dikira ngasih harapan lagi."
Kali ini Shween yang menggeleng. "Nah nah, I know what I'm doing (Tidak tidak, aku tahu apa yang aku lakukan). Dia nggak sungguh-sungguh mau aku, kecuali buat hangatin ranjang dia." Senyum mengejek terbit di bibir sexy Shween. "Which will never happen (Yang tidak mungkin akan terjadi)."
"Be careful with your mouth (Hati-hati dengan ucapanmu)."
Shween dan Mikha serempak menoleh. Mendapati Arnavh menghampiri mereka dengan raut wajah sulit ditebak. Kedua perempuan cantik itu berpandangan kemudian sama-sama mengangkat bahu mereka tanda tak mengerti.
"What happen, baby? (Ada apa, Sayang?)" Mikha yang bertanya. Sifat mudah cemasnya menangkap sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada kekasihnya. "Is something bad happen?( Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi?)"
Arnavh mengibaskan tangan kacau. "Nothing. It's just ... (Tidak ada apa-apa. Hanya saja ...). Mending kita pergi dari sini."
"What? Why? (Apa? Kenapa?)" pekik Mikha tak terima. "Nggak bisa dong, babe. Kan balapannya belum dimulai." Mikha cemberut. Perempuan itu bergelayut manja di lengan Arnavh. Menatap pemuda itu dengan tatapan seekor anak anjing yang menggoda. Mikha tahu, Arnavh biasanya tidak tahan dan akan luluh.
"Mending kita pulang sekarang sebelum balapan." Arnavh bersikeras. Kali ini tatapan anak anjing Mikha tidak berhasil. "As soon as possible! (Secepatnya!)"
Shween mengerutkan kening melihat wajah serius Arnavh. "Why? (Kenapa?)" tanyanya bingung. "Tell me the reason (Katakan padaku alasannya)." Shween berkacak pinggang.
Arnavh menatap Shween serba salah. Ragu untuk mengatakan alasan yang diminta sahabat cantiknya itu. Dia takut Shween marah dan tersinggung, karena ini menyangkut dirinya. Arnavh mengusap wajah kasar, berpikir untuk jujur atau tidak.
"Just tell us, babe (Katakan saja pada kami, Sayang)." Mikha memberikan ciuman membujuk di bibir Arnavh. Menatap kekasihnya itu dengan tatapan yang itu-itu juga. "Please."
Arnavh menatap Shween dan gadisnya bergantian kemudian mengangguk. Pria itu menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Ron udah ngejadiin lu sebagai taruhan buat balapannya malam ini, Shween," ucap Arnavh hati-hati. Tatapannya lurus tertuju pada Shween.
Mata cokelat Shween melebar. "What?" pekiknya tertahan, antara percaya dan tidak. Bagaimana mungkin bisa? Dan tanpa sepengetahuannya. Bahkan Ron tadi tidak mengatakan apa pun, padahal mereka bertemu. Apa-apaan pria itu? Fvck! Bisa-bisanya Ron melakukan ini. Beraninya pemuda sialan itu! Ron pikir dia siapa? Mereka tidak memiliki hubungan apa pun. Yang lebih penting, dia bukan barang!
Arnavh mengangguk meyakinkan. "Makanya kita harus cepat pergi dari sini. Bentar lagi balapannya dimulai."
Shween menggeram marah. Wajah cantiknya memerah. "How dare he! (Beraninya dia!)"
"Fvck!" Mikha mengumpat kasar. Kedua tangannya mengepal. "Dia pikir dia siapa? Dasar cowok hobi s**********n!"
Arnavh melotot mendengarnya. Perkataan Mikha, astaga. "Watch your mouth, babe! (Jaga mulutmu, Sayang!)"
Mikha mendelik tajam pada kekasihnya. Dia sedang kesal pada Ron yang tidak tahu malu, dan Arnavh menegurnya dengan perkataan bernada perintah. Hal yang paling tidak disukainya.
"Sabar." Arnavh memeluk perempuannya. Mengecup pucuk kepala yang sudah dicat dengan warna merah beberapa kali. "Ya?"
Mikha mengangguk. Melepas pelukan Arnavh dengan wajah cantiknya yang terlihat masih mengeras.
"Where is he? (Di mana dia?)"
Pertanyaan Shween membuat dua sejoli itu kembali memfokuskan perhatian mereka padanya. Wajah cantik perempuan itu memerah.
"Where is Ron? (Di mana Ron?)" ulang Shween tak sabar. Dia sangat kesal sekarang. Ah, bukan hanya kesal, dia juga marah. Percayalah, seandainya Ron di depannya saat ini, dia pasti sudah menendang senjatanya yang menjijikkan itu. Agar Ron tidak lagi bisa membanggakannya.
"I don't know (Aku tidak tahu)." Arnavh menggeleng. "I left him there (Aku ninggalin dia di sana)." Telunjuknya menunjuk tempat kosong yang tadi memang dihuni oleh Ron dan teman-temannya.
"Fvck!" Shween mengepal. "I'll kill him when I found! (Aku akan membunuhnya kalau aku menemukannya!)"
Arnavh masih mengedarkan pandangan. Mencari seorang manusia seperti Ron di tempat ramai seperti ini sedikit sulit. Terlalu banyak kerumunan. Apalagi Ron tipe pria yang suka membaur. Berbeda dengan lawannya yang lebih suka menyendiri. Terlalu mudah bagi Arnavh menemukan Dav yang berdiri bersandar pada mobilnya. Dav terlihat mengawasi mereka. Atau mengawasi Shween tepatnya. Mungkin menilai perempuan yang dipertaruhkan lawannya. Layak atau tidak untuk menghuni ranjangnya malam ini. Arnavh yakin, Ron sudah memberitahu Dav tentang Shween. Oleh karena itu Dav mengawasi Shween. Arnavh menggeram memikirkan itu. Menyesal karena tadi tidak menghajar Ron.
"Shween!"
Shween menoleh. Tatapan kesalnya tertuju pada Arnavh. Pemuda itu sudah mengganggu konsentrasinya. Dia sedang mencari keberadaan Ron.
"Liat cowok yang bersedekap di sana?" Arnavh menunjuk Dav dengan gerakan kepala. "Dia lawan Ron malam ini."
Shween melihat ke arah yang ditunjuk Arnavh. Tampak seorang pemuda tengah menatap mereka. Matanya memicing, mencoba mengenali pemuda itu.
"Ron yang nantang dia balapan." Arnavh mengusap wajah kasar sekali lagi sebelum melanjutkan. "Dia langganan juara. Namanya Dav, Dav Raymond."
Secepat Arnavh mengucapkan nama itu, secepat itu pula Shween berbalik. Menatap horor Arnavh yang juga menatapnya prihatin.
"What did you said? (Apa katamu?)"
Arnavh mengangguk. Sungguh dia menyesal telah membawa Shween ke sini malam ini. Apalagi melihat bagaimana Shween menatapnya sekarang. Tatapan horor Shween diartikannya sebagai ketakutan sahabatnya itu akan nasibnya yang menjadi taruhan.
Shween berdecak. Kesal pada anggukan Arnavh yang seolah mengasihaninya.
"I asking you, man! (Aku bertanya padamu, Bung!)" seru Shween kesal. Kaki-kakinya mengentak.
Alis tebal Arnavh terangkat sebelah. Dia tidak mengerti dengan maksud perkataan Shween. "You asking me what? (Kau menanyakan apa padaku?)" tanyanya bingung.
Shween mengembuskan napas sebelum menjawab. Berusaha meredakan emosi yang terlanjur memuncak. Jangan sampai dia menumpahkan kemarahan yang seharusnya untuk Ron pada sahabatnya. Sungguh, Arnavh tidak pantas mendapatkannya. Arnavh pemuda yang baik, dan yang lebih penting adalah Arnavh adalah salah satu sahabatnya. Sejak kecil.
"His name (Nama pemuda itu)." Shween mengikuti Arnavh, menunjuk Dav dengan gerakan kepala. "I mean (maksudku), nama cowok itu tadi siapa?"
Cowok itu? Sekarang Arnavh tahu arah pembicaraan Shween. Sepertinya dia ingin tahu tentang pemuda yang ditantang Ron. Well, siapa pun, selama yang dia tahu selama ini, pasti akan bertanya siapa itu Dav Raymond. Dia terkenal. Selain karena wajahnya yang memang tampan, Dav tak pernah tergoda oleh perempuan. Dia selalu dingin kepada mereka. Perempuan-perempuan itu yang mendatanginya, meski tak membuatnya sombong. Dav juga tak pernah menolak perempuan-perempuan yang datang padanya. Untuk yang satu itu Arnavh memaklumi, sedingin apa pun seorang laki-laki tetap tidak akan perempuan yang membuka s**********n secara sukarela untuknya. Hukum alam, pikir Arnavh miris.
"Dav Raymond?" ulang Arnavh ragu.
Shween memutar tubuh cepat, memunggungi pemuda yang masih saja menatap mereka. Wajah pemuda itu samar, karena posisinya yang membelakangi lampu sorot. Shween menutup mulutnya yang terbuka. Menggeleng dan memencet pangkal hidung.
Bukan. Pemuda itu bukan Dav-nya. Tak mungkin Dav di sini. Meskipun mereka sama-sama di Jakarta sekarang, belum tentu Dav Raymond yang ini adalah Dav Raymond yang dikenalnya. Dav Raymond yang menjadi kekasih dunia maya-nya. Kekasih yang diputuskannya beberapa minggu sebelum mereka lost contact sekitar lebih dari setahun yang lalu. Dia yang memutuskan hubungan mereka dengan menghapus kontak pemuda itu setelah dia tahu Dav kembali berhubungan dengan mantan kekasihnya.
Shween memijit pelipis. Dia harus positive thinking. Belum tentu pemuda itu Dav-nya. Dav-nya? Shween menggeram rendah. Bagaimana mungkin dia masih bisa mengklaim kalau Dav adalah miliknya? Bukankah dia yang meninggalkan pemuda itu? Tapi dia merindukan Dav. Rindu pada semua yang ada pada pemuda itu. Shween tersenyum miris dalam hati. Dia gagal move on! Sialan! Padahal mereka tidak pernah bertemu, tapi cara pemuda itu menjaganya membuatnya tak bisa melupakan Dav. Shween bukan perempuan polos, jauh dari kata itu. Namun Dav menjaganya seolah dia adalah bayi yang tidak boleh terkontaminasi pikiran luar.
Shween berdecak kesal. Kenangan-kenangan itu yang membuatnya tidak bisa melupakan Dav. Meskipun Dav menyebalkan dan labil, pemuda itu begitu perhatian. Sangat berbeda dengan dirinya yang cuek dan tak pedulian. Dav sering mengingatkannya untuk makan, sementara dirinya? Menanyakan bagaimana kabar Dav pun tidak pernah. Namun Dav tetap menjaganya. Pengetahuannya yang minim tentang arti dari kata-kata yang digunakan anak-anak muda di Indonesia membuatnya sering bertanya kepada siapa pun arti dari kata-kata itu. Kebanyakan dari teman-teman dunia maya-nya selalu tidak mengatakan yang sebenarnya. Maksudnya, mereka mengatakan yang bukan arti sesungguhnya. Atau mengatakan arti sebenarnya tetapi dengan bahasa-bahasa yang vulgar dan frontal.
Namun Dav tidak. Dav selalu memberitahu arti kata-kata itu dengan halus. Dav juga melarangnya untuk bertanya kepada teman-teman dunia maya-nya yang lain. Menurut Dav mereka semua menyesatkan. Dav juga selalu melarangnya berkata-kata kasar dan vulgar. Pemuda itu akan marah kalau dia mengumpat, ataupun menceritakan tentang kelakuan teman-temannya yang menganut paham kebebasan dalam bergaul. Dav melarangnya seperti itu. Dav tidak tahu saja kalau dia juga bagian dari penganut paham itu.
Shween kembali memutar tubuh ke arah Dav, kali ini dengan perlahan. Matanya kembali memicing menatap pemuda di sana yang masih menatap ke arahnya dan sahabat-sahabatnya. Shween memencet pangkal hidung lagi. Nama Dav Raymond bukan hanya satu orang, pasti banyak di dunia ini yang bernama Dav Raymond. Iya, pasti begitu. Pasti! Bukan hanya pasti tetapi harus!
Berbekal keyakinan itu, Shween melangkah ke arah Dav. Menghiraukan Arnavh dan Mikha yang memanggilnya mengajak pulang. Dia harus mengenal pria yang mungkin akan memenangkan dirinya malam ini. Mengembuskan napas kuat melalui mulut, Shween meremas kedua tangannya. Entah kenapa, semakin dia mendekati pria muda itu, detak jantungnya semakin tak terkendali. Ada rasa takut tetapi dia juga penasaran, dan rasa penasaran itu yang paling tidak bisa ditolerir olehnya. Dia tidak kuat menahannya.
Jantung Shween semakin bertalu. Jarak mereka tinggal beberapa meter lagi, tapi baginya yang sedang gugup jarak beberapa meter itu seperti beberapa mil. Sangat jauh. Kakinya yang terasa berat juga menjadi masalah, membuat langkahnya terseok. Sehingga jarak semakin jauh baginya. Semua anggota tubuhnya seolah menolak untuk mencari tahu tentang pemuda itu, hanya hatinya saja yang tak kuat dengan rasa penasaran.
Semakin dekat jarak mereka, jantung Shween semakin berdegup kencang. Bahkan rasanya dia bisa pingsan kapan saja saking kerasnya jantungnya berdegup. Rongga dadanya juga sedikit sakit. Tangan kanannya terangkat, meremas d**a kirinya tanpa sadar. Wajah itu sekarang mulai terlihat, tak lagi sesamar tadi. Dia sudah dapat melihat garis hidung dan bibir penuh pemuda itu. Dia juga sudah mulai dapat menduga-duga tinggi badan pemuda itu yang ternyata lebih tinggi darinya.
Shween menggigit bibir gugup. Mereka sudah berhadapan sekarang, dia sudah dapat melihat wajah yang tadi masih samar. Mata cokelat Shween melebar sekejap, kakinya menjadi selemas jelly. Wajah tampan itu sangat mirip dengan Dav yang dikenalnya. Bukan hanya mirip, mereka sama persis. Mungkinkah di dunia ini ada dua orang yang sama persis baik wajah maupun nama? Shween menggeram memikirkan kalau Dav yang ini memanglah Dav-nya.
Pemuda itu menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. Bibir penuh itu masih tertutup rapat, sepertinya sedang menunggunya untuk membuka pembicaraan lebih dahulu. Bukan tipe pemuda pemberani menurut Shween. Bukan tipenya. Pemuda seperti ini tidak akan bisa mengimbanginya. Baik di fldalam pergaulan maupun di atas tempat tidur.
Namun ketika tatapan mereka bertemu, bukan hanya kakinya saja yang terasa lemas. Seluruh tubuhnya juga merasakan hal yang sama. Tatapan itu, dan cara pemuda itu menatapnya membuat seluruh bulu di tubuhnya berdiri. Tatapn dingin dan datar itu seolah menelanjanginya. Tubuhnya terasa memanas tiba-tiba. Apalagi melihat wajah itu yang tak ada bedanya dengan Dav Raymond yang selama ini dikenalnya. Berapa kali pun dia mencoba menyangkal tapi wajah itu sungguh tak ada bedanya dengan Dav-nya.
"Bunny?"
Tak sengaja satu kata itu lolos dari mulutnya. Shween menggigit lidahnya yang sudah keceplosan. Seharusnya dia tidak gegabah menyebut nama itu. Nama panggilan itu adalah panggilan kesayangan yang diberikannya untuk Dav. Bunny yang berarti kelinci, karena bagi Shween Dav itu lucu dan menggemaskan seperti seekor kelinci. Dav juga selalu membuatnya merasa terhibur.
"B-bunny, is itu really you? (Bunny, benarkah itu kau?)"
Pemuda di depannya masih tak merespons. Jangankan merespons perkataannya, bergerak pun tidak. Shween mengembuskan napas lega, pemuda di depannya ini tidak mendengar perkataannya tadi. Syukurlah! Bisa sangat memalukan kalau dia sampai salah orang. Mau ditaruh di mana muka cantiknya. Shween menggeleng. Dia harus menjaga sikap di depan pemuda ini. Jangan sampai menjatuhkan harga dirinya hanya karena gairah.