3. Pria Itu

1244 Kata
Pagi-pagi sekali rumah Merilyn kedatangan tamu. Deana dengan anak perempuannya yang lucu. Perempuan itu menikah empat tahun yang lalu dan sekarang dia telah memiliki anak Perempuan yang sangat lucu. Meskipun begitu hubungan mereka tidak pernah putus. Tidak auh berbeda dengan Tita, adiknya yang satu itu pun sudah menikah dan sekarang memiliki tiga orang anak. Perempuan itu tinggal cukup jauh dari mereka. Tita menikah saat si kembar masih berusia dua tahun. Sudah tiga tahun mereka tidak pernah lagi bertemu. Namun, mereka masih berkomunikasi melalui telepon. "Jadi kamu ada perlu apa, De pagi sekali datang ke rumah Kakak?" Merilyn menatap curiga pada Deana yang juga turut membawa tas besar. Deana tersenyum melihat tatapan yang dilayangkan Merilyn padanya. "Aku mau menginap di sini selama dua hari, Kak. Suamiku lagi kerja ke luar kota dari dua hari kemarin." Raut wajah Merilyn langsung berubah. Dia pikir Deana kabur dari suaminya dilihat dari banyaknya perlengkapan yang perempuan itu bawa. "Benar-benar kerja 'kan, De bukan karena kalian berantem?" Deana tertawa mendengar pertanyaan perempuan yang sudah dia anggap kakaknya itu. "Enggak sama sekali, kalaupun kami berantem aku nggak mungkin lari ke sini. Larinya ke rumah Bapak," kata Deana bercanda. "Abang memang benar-benar kerja ke luar kota kok, Kak Mer. Tepatnya ke Riau selama empat hari," Tambah Deana lagi. Merilyn percaya dan memberikan izin pada Deana untuk tinggal di rumahnya selama dua hari. Bahkan jika tinggal lebih lama pun, Merilyn tidak keberatan asal Deana mendapat izin dari suaminya. "Mama, aku nggak lihat kaus kakiku." Rachel keluar dari kamar sembari membawa tas sekolahnya. "Di lemari paling bawah, Hel." "Nggak ada, Ma. Rachel udah cari berkali-kali tetap nggak ketemu." Gadis kecil itu lalu menghampiri Deana. Sementara Merilyn pergi mencari kaus kaki anak perempuannya itu. "Tante De kapan datang?" tanya Rachel ramah. "Baru datang, Hel. Ini Ichad mana?" "Masih mandi," jawab Rachel pendek. Perempuan kecil itu lebih tertarik mengisengi anak Deana. Namanya Deandra biasanya dipanggil Rara. "Ini apa? Makanya cari sesuatu itu pakai mata bukan pakai mulut." Rachel hanya tersenyum kecil mendengar omelan mamanya. Dia tidak berani membantah lagi padahal dia benar-benar mencari kaus kakinya dengan benar namun, tetap tidak menemukannya. Mamanya hanya sekali lihat lemari bisa langsung menemukan kaus kaki itu. Mungkin mamanya memiliki indra keenam. *** Merilyn sedang menunggu Deana di sebuah kedai kopi di pusat perbelanjaan. Mereka sudah mengelilingi mall selama satu jam lebih. Sekarang Deana sedang menemani Rara di arena permainan anak-anak. Merilyn memesan kopi sembari mengecek perkembangan laundry dari tab miliknya. Saat ini dia memiliki dua cabang laundry. Dia memiliki pegawai yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan mereka masing-masing tanpa perlu dia pantau setiap hari. Merilyn jadi punya banyak waktu untuk anak-anaknya. Merilyn meletakkan tabnya lalu meminum kopinya yang baru saja diantarkan oleh pegawai kedai kopi tersebut. Merilyn menikmati kopinya sembari mengamati keadaan sekitar. Merilyn menoleh dua kali ke arah kanannya. Dia yakin kalau dia mengenal pria yang sedang berbicara dengan orang asing. Merilyn buru-buru mengalihkan tatapannya. Dia bersikap seolah tidak melihat pria itu. Merilyn menekan dadanya, debaran itu masih terasa sama seperti sepuluh tahun yang lalu saat mereka masih bersama. Merilyn menghabiskan kopinya dengan cepat lalu keluar dari kedai kopi itu. Dia yakin kalau Gabe berada di sana pasti Raiden juga ada di sana. Merilyn tidak mau bertemu dengan Raiden sekarang, dia tidak siap ketika pria itu tahu kalau mereka memiliki dua anak yang membanggakan. Jika dulu dia ingin sekali Raiden tahu kalau mereka punya anak sekarang dia tidak ingin Raiden tahu apapun. Biarkan semuanya berjalan seperti sepuluh tahun terakhir ini. "Kak." Merilyn tersentak, dia terkejut saat Deana tiba-tiba menyentuh lengannya. "Kakak baik-baik saja?" tanya Deana khawatir melihat wajah Merilyn yang pucat. "Ah... ehh... Apa, De?" Merilyn tidak fokus. Dia tidak mendengar apa yang Deana katakana. Merilyn melihat ke segala arah memastikan kalau Gabe tidak mengikutinya. "Kakak terlihat pucat. Apa kamu kurang sehat, Kak?" "Nggak, kok. Kakak baik-baik aja ... Udah selesai mainnya?" Merilyn berusaha mengembalikan fokusnya pada Deana. "Udah, Kak. Rara katanya mau makan sekarang. Enaknya kita makan apa iya, Kak?" Deana menatap deretan restoran yang berjejer di hadapannya. "Ayam goreng, Ma." Rara menunjuk restoran cepat saji yang lokasinya paling dekat dari mereka. "Jangan ayam mulu, Ra. Mama udah bosan." "De, kalian makan duluan aja, iya. Aku masih harus jemput si kembar." Merilyn memotong pembicaraan ibu dan anaknya itu. Dia memperlihatkan jam tangannya yang memang sudah waktunya harus jemput si kembar ke sekolah. "Yahh, padahal mau makan bareng. Udah lama kita nggak makan siang bersama." Deana sedikit kecewa namun, dia sadar kalau waktunya tidak tepat. Kalau ikut pulang sekarang, Rara pasti akan tantrum karena dia sudah kelaparan. "Nanti malam 'kan kita makan sama-sama, De. Besok juga masih ada waktu." Deana menampilkan senyum kecilnya. "Iya udah, deh, Kak. Kami juga habis makan langsung pulang." Merilyn mengangguk, dia kemudian berpisah dengan Deana menuju parkiran. Dia mengambil kunci motor dari dalam tas kecilnya. Sampai saat ini Merilyn memang belum membeli mobil. Dia masih menggunakan motor untuk kendaraan pribadi. Dia hanya mampu membeli satu mobil dan itupun dipakai untuk operasional laundry. Sekarang dia masih menabung untuk membeli mobil kedua, rencananya enam bulan lagi uang tabungannya akan cukup untuk beli mobil. Pria itu, Gabe dia sengaja memilih kedai kopi tadi untuk memperjelas penglihatannya kalau dia tidak salah mengenali orang. Ternyata benar Merilyn. Perempuan itu terlihat lebih dewasa sekarang. Akan tetapi kecantikannya tidak berubah bahkan setelah sepuluh tahun berlalu. Dia menatap Merilyn yang menjauh mengendarai motornya. "Masih suka mengendarai motor rupanya," kata Gabe sembari tersenyum kecil. Dia menyangkan pilihan atasannya yang melepaskan Merilyn. Sekarang Raiden sudah memiliki tunangan, hal yang mustahil kalau mereka kembali bersama. Terlebih keluarga tunangan atasannya itu merupakan keluarga yang cukup berat untuk dihadapi. Gabe sempat mengamati jari tangan Merilyn, berharap perempuan itu mendapatkan pria pengganti raiden yang jau lebih baik. Namun, sepertinya kondisi Merilyn tidak jauh berbeda saat mereka baru bertemu dulu. Hanya saja melihat tatapan mata Merilyn yang cerah, Gabe yakin kalau perempuan itu hidup bahagia. "Sebaiknya kalian memang tidak perlu bertemu lagi," gumam Gabe pelan. Dia mengangkat tangannya melihat atasannya yang datang bersama dengan tunangannya. "Saya sudah membicarakannya dengan Pak Candra, Pak. Katanya mereka setuju menjual lahan itu pada kita." "Bagus, kita tidak perlu membuang waktu terlalu banyak di kota ini," ucap Patricia. Perempuan itu merupakan tunangan Raiden. "Setelah proses jual beli tanah selesai kita masih harus di sini untuk memulai proyek," kata Raiden. "Dan kalau proyek berjalan baik, baru kita bisa kembali ke Jakarta." Patricia mendengus tidak suka. "Aku 'kan sudah bilang kalau kamu tidak betah di sini silakan kamu pulang lebih awal. Tidak ada yang memaksa kamu untuk tetap ikut." Patricia semakin tidak senang mendengar perkataan Raiden. "Kalau aku pergi itu sama saja aku memberikan kamu kesempatan untuk selingkuh." Raiden itu menarik di mata semua perempuan. Patricia selalu ikut saat Raiden bekerja ke luar kota. Dia tidak rela membiarkan Raiden berinteraksi dengan perempuan mana pun. "Terserah kamu sajalah," balas Raiden malas. Patricia selalu mencurigainya, hal yang tidak dia lalukan pun bisa menjadi pemicu pertengkaran mereka. Jadi Raiden sering mengalah karena sudah malas ribut dengan perempuan itu. "Kamu selalu begitu. Sikap kamu ini yang selalu membuat aku curiga sama kamu. Kamu tidak tegas dengan perasaan kamu sama aku. Padahal kita sudah bertunangan selama delapan tahun." Patricia sepertinya masih ingin berdebat. "Papa kemarin menanyakan lagi, kapan rencananya kita menikah. Rai kita sudah delapan tahun bertunangan, sampai kapan kita akan seperti ini terus?" "Tunggu waktu sampai aku benar-benar siap menikah, Cia. Kamu nggak mau 'kan kita menikah bulan depan lalu tiga bulan kemudian kita bercerai." Ini adalah alasan yang selalu digunakan Raiden. Karena sejujurnya tidak akan pernah siap untuk menikah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN