Bab 5. Sepasang suami istri

1100 Kata
Lelah tetapi juga bahagia. Itulah yang dirasakan Pelangi saat ini. Setelah mengunjungi sang Ayah dan memastikan keadaan laki-laki itu baik-baik saja, Pelangi melangkahkan kaki keluar rumah sakit. Setelah keluar dari halaman rumah sakit, Pelangi memberhentikan angkutan umum. Pelangi langsung bergerak menuju rumah seseorang. Orang itu selalu meminta dirinya untuk menemani berbicara dan tentu saja Pelangi tidak menolak. Dia juga merasa nyaman saat berbicara dengan orang itu. Setelah sampai dan membayar ongkos angkutan umum, Pelangi langsung disambut baik oleh wanita yang tengah berkutat dengan tanaman hias. Senyuman itu yang Pelangi rindukan setelah kepergiaan sang Ibu. Orang itu seakan memberikan sosok ibu yang masih diperlukan oleh Pelangi. "Pelangi,” sambutnya dengan senyum gembira. Padahal, dia tadi mengira Pelangi tidak akan datang karena ini sudah telat dua puluh menit dari kebiasaan mereka. Pelangi dengan sedikit canggung membalas pelukan Kayla. Keduanya lantas duduk di kursi yang memang disediakan untuk menjamu tamu jika tidak ingin di dalam. “Maaf, Nyonya. Saya sedikit terlambat karena menjenguk ayah,” jelas Pelangi merasa tidak enak karena membuat Nyonya Kayla menunggu lama. Tujuannya hari ini tidak lain untuk memenuhi permintaan Nyonya Kayla. Pelangi tidak sampai hati menolak permintaan Nyonya Kayla yang ingin ditemani bicara, meski dirinya ingin sekali istirahat. "Bagaimana keadaan Ayah kamu, Sayang?" tanya Kayla memulai pembicaraan. Senyum Pelangi mengembang saat merasakan usapan lembut dari Nyonya Kayla. Dia selalu menyukai momen sederhana seperti saat ini. Andai saja sang Ibu masih ada mungkin ia akan sangat senang. "Jauh lebih baik." Nyonya Kayla menghela nafas pelan. Kayla bersyukur Ayah wanita di depannya ini sudah jauh lebih baik. Setidaknya, dia tidak akan melihat wajah khawatir dan sedih dari Pelangi. "Syukurlah kalau begitu. Saya turut senang mendengar kabar ini. Semoga Ayah kamu semakin membaik." “Amin. Terima kasih, Nyonya." Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Kayla benar-benar terlihat memanfaatkan waktu untuk berbincang dengan Pelangi. Berbincang dengan Pelangi seperti berbincang dengan anak sendiri. Tutur kata Pelangi begitu halus, itulah yang membuat Kayla merasa begitu nyaman. Setelah menghabiskan waktu cukup lama menemani Kayla, Pelangi pamit. Dia tidak bisa terlalu lama tinggal di sini karena masih ada satu pekerjaan yang harus ia selesaikan. Sesampainya di rumah, Pelangi langsung membuat bunga, kemudian dia akan merangkainya dengan berbagai jenis dan warna. Merangkai bunga menjadi indah adalah pekerjaan yang sangat Pelangi sukai. Satu tangkai demi satu tangkai, Pelangi rangkai dengan telaten. Setelah rangkaian bunga ini selesai, Pelangi akan menjualnya di pinggir jalan. Walau hanya bunga kertas, tetapi bisa dijadikan alternatif menghias rumah dengan harga terjangkau. “Semangat, Pelangi.” Pelangi kembali menyemangati diri. Dia boleh patah semangat meski rasa lelah mendera. Masih ada sang Ayah dan adik yang membutuhkan biaya. Apalagi pengobatan sang Ayah tidak bisa dikatakan murah. Mata Pelangi menatap rangkaian bunga hias yang sudah selesai. Hari ini dia berhasil membuat sepuluh rangkaian bunga kertas yang begitu bagus, terhitung lebih sedikit. Biasanya, Pelangi bisa membuat dua puluh rangkaian bunga yang berbeda. Waktunya sedikit terpotong untuk melihat Akarsana. *** Sepasang suami istri terlihat sudah siap dengan pakaian rapi. Rencananya mereka akan malam di luar, hitung-hitung meluangkan waktu setelah sibuk bekerja. Meski sudah lanjut usia tidak ada salahnya untuk kencan. “Kita mau kemana, Mas?” tanya Ginny yang tidak tahu pasti kemana Ihsan akan membawanya pergi. “Rahasia. Kamu cukup duduk saja. Kalau aku kasih tahu, namanya bukan kejutan,” jawab Ihsan yang mendapat cibiran dari Ginny. “Sudah tua juga, tetapi masih main rahasia-rahasiaan,” cibir Ginny yang membuat Ihsan tertawa. “Ingat umur ya, Mas.” “Anggap saja, kita masih muda, Sayang.” “Muda itu di bawah tiga puluh, Mas. Kita itu sudah kepala empat. Jadi, mana bisa dikatakan muda.” Kuda suami istri itu saling melempar candaan. Inilah quality time yang sangat sulit didapatkan. Seandainya Pelangi masih hidup mungkin mereka akan menghabiskan waktu bermain bersama anak dari Josefina. “Andai anak Josefina masih hidup, mungkin akan sebesar anak itu,” celetuk Ginny saat melihat perempuan yang sedang berkeliling dari mobil satu ke mobil lain. “Mungkin saja,” jawab Ihsan acuh. Mata Ginny seolah terkunci pada perempuan dengan topi itu. Entah mengapa seperti ada magnet yang menarik dirinya agar terus fokus pada pergerakan perempuan itu. Keceriaan perempuan itu mengingatkan dirinya akan sosok Josefina. Sahabatnya itu begitu aktif nan cerita. Namun terkadang ada kesan malu-malu saat bertemu dengan orang-orang baru. Ginny sangat merindukan Josefina, begitu pula Ardiyanto, ayahnya. Baru saja berandai-andai jika anak Josefina yang meninggal masih hidup, Ginny dibuat terkejut saat perempuan itu melepas topi dan berdiri di tepi jalan. Wajah itu, wajah itu mengingatkan dirinya akan Josefina yang sudah meninggal setelah melahirkan putri kecilnya Ginny menolehkan kepala ke belakang, mencoba mencari keberadaan perempuan tadi. Sayang sekali Ginny tidak begitu jelas saat melihat wajah perempuan tadi. Namun, Ginny jelas tidak akan pernah melupakan wajah Josefina. Semakin melaju mobil yang dikendari Ihsan, semakin Ginnya menoleh ke belakang. Tidak, dia tidak salah lihat. Wajah itu jelas sekali milik Josefina, namun tidak mungkin. Sudah jelas jika putri mendiang sahabatnya itu sudah tidak ada. Lalu, siapakah perempuan tadi? Mengapa wajahnya begitu mirip dengan Josefina? “Sayang, kenapa?” tanya Ihsan saat melihat Ginny terus fokus ke belakang. Ginny menunjuk arah belakang dengan mata menatap Ihsan. “Itu Josefina,” jawab Ginny tidak jelas. “Jangan mengada-ada, Ginny. Kamu tidak lupa bukan jika Josefina sudah meninggal?” Ihsan kembali fokus pada jalanan. “Tidak ada seseorang yang kembali hidup setelah dinyatakan meninggal. Apalagi kita juga mengikuti rangkaian pemakamannya.” Ginny kembali menoleh ke belakang, sayang siluet perempuan itu sudah tidak terlihat lagi. “Aku tidak bohong, Mas, tapi beneran Josefina.” Ihsan menggelengkan kepala seraya tertawa pelan. Jelas saja apa yang dikatakan Ginny tidak masuk akal. Josefina? Tidak mungkin. Wanita itu sudah meninggal dan mereka mengikuti serangkaian pemakaman. “Sungguhan, Mas. Wajah perempuan tadi sangat mirip dengan Josefina. Aku tidak bohong.” “Nah, itu. Mirip.” Ihsan menyetujui perkataan Ginny. “Kamu pernah dengar orang di bumi ini memiliki tujuh kembaran? Aku pikir yang kamu lihat hanya sebatas mirip. Banyak contohnya, misalnya Raffi Ahmad dan dan Dimas, mereka mirip, Tapi bukan berarti mereka lahir dari satu rahim. Penjelasan Ihsan memang sangat masuk akal. Memang Ginny pernah mendengar di dunia ini kita memiliki tujuh kembaran. Bukan, bukan kembaran yang lahir dari satu rahim, melainkan seseorang yang memiliki struktur wajah yang sama, Namun Ginny masih sangat yakin jika perempuan tadi dan Josefina tidak hanya mirip. “Tapi, Pa–” “Sudahlah, Sayang. Aku yakin kalau mereka hanya sekadar mirip tidak lebih.” Ginny memilih menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Mungkin benar akta Ihsan. Hanya saja semuanya masih belum bisa diterima secara langsung oleh Ginny. Perdebatan akan siapa perempuan itu tengah Ginny rasakan. Semoga, kata-kata Ihsan lebih benar dari perasaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN