Setelah memanfaatkan dengan baik waktu libur satu hari untuk beristirahat total, hari ini Hanna harus berangkat bekerja. Namun sebelum itu Hanna memiliki tugas mengantar Alex dan Axel ke sekolah baru.
Ya. Hanna berpikir pendidikan adalah yang utama. Kemarin Hanna sudah melakukan pendaftaran secara online untuk kedua anaknya dan mereka hanya perlu datang untuk mendapatkan seragam sebelum dapat mengikuti kelas.
"Sudah? Tidak ada yang tertinggal?"
Alex dan Axel yang baru saja masuk ke dalam mobil sontak saling memandang. "Su- ...."
"Periksa lagi buku dan kotak pensilnya. Jika sampai tertinggal, bagaimana nanti saat waktunya menulis?"
"Cepat periksa."
Hanna seperti tidak ingin memberi kesempatan untuk menjawab. Axel segera membuka resleting tas lalu memeriksanya. Hal yang sama dilakukan oleh Alex. Meskipun dia sangat yakin tidak melupakan apapun yang perlu dibawanya.
"Sudah, Mommy!"
Mereka menunjukkan tas yang dalam keadaan setengah terbuka itu agar Hanna dapat melihat isinya.
Hanna mengangguk. "Baiklah. Jika begitu kita berangkat. Jangan lupa pakai sabuk pengaman!"
...
Setidaknya membutuhkan waktu dua puluh menit perjalanan dari rumah ke sekolah. Hanna memarkirkan mobil saat sampai dan langsung mencari ruang guru untuk menemui wali kelas.
"Permisi, Bu ...."
Seorang guru wanita paruh baya berbalik saat Hanna menegurnya.
"Iya, ada apa?"
Hanna melirik kedua putranya yang berdiri di samping sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada sosok guru di depannya. "Saya mencari Bu Brenda. Beliau bilang sudah sampai di sekolah dan akan menunggu kami di ruang guru."
Guru wanita paruh baya itu menaikkan kacamata nya lalu menatap Alex dan Axel dengan tatapan yang cukup lekat. "Oh! Mungkinkah murid baru?"
Hanna menganggukkan kepala sambil tersenyum canggung. "Benar. Kemarin saya sudah melakukan pendaftaran secara online. Apa Bu Brenda ada?"
"Ah iya iya.. Ada. Mari saya antar."
Hanna mengikuti guru wanita paruh baya itu masuk ke ruang guru. Hanna melihat ruangan tampak sepi. Mungkin hal itu dikarenakan jam pelajaran sudah mulai sehingga sebagian guru sedang melakukan tugas mereka untuk mengajar.
"Bu Brenda, kamu punya tamu."
Suara yang sedikit lantang langsung menyadarkan Bu Brenda yang terlalu fokus dengan buku jurnal di depannya. Dia mendongak, kemudian berdiri dari kursi saat mengetahui siapa yang bicara dengannya.
"Bu Kepala Sekolah!"
Guru wanita paruh baya menaikkan alisnya. "Kamu punya tamu," ucapnya seraya menoleh pada Hanna.
Hanna sendiri cukup terkejut saat mendengar Bu Brenda memanggil guru wanita paruh baya dengan sebutan "Bu Kepala Sekolah". Hanna sungguh tidak mengetahuinya. Dan sekarang Hanna merasa sangat canggung.
"Bu Kepala Sekolah, maaf. Saya tidak tahu jika Anda ...."
"Tidak perlu dipikirkan. Saya pergi dulu."
Hanna masih mematung saat Bu Ningrum, kepala sekolah itu, meninggalkan ruang guru. Bu Brenda tampak mengeluarkan sesuatu dari bawah meja. Dua paket seragam yang masih disegel.
"Alex dan Exel. Benar kan?"
Alex maju satu langkah lalu sedikit membungkuk seperti memberi salam. Hal yang sama juga dilakukan oleh Axel. Keduanya memperkenalkan diri secara bergantian sehingga Bu Brenda yang awalnya sulit mengetahui identitas mereka perlahan mulai menemukan jawaban.
"Alex, Axel, kalian dapat berganti seragam terlebih dahulu."
"Baik, Bu Guru!"
"Tidak perlu bantuan Mommy?" tanya Hanna.
Alex dan Axel kompak menggelengkan kepala. "Tidak tidak. Kami sudah besar. Kami bisa pakai seragam sendiri. Mommy bincang-bincang saja dengan Bu Guru."
Perkataan Axel yang terdengar dewasa malah membuat Hanna menggelengkan kepala. Namun, Hanna memutuskan untuk membiarkan mereka melakukannya.
"Baiklah. Mommy tunggu di sini."
Alex dan Axel keluar dari ruang guru menuju ke toilet. Bu Brenda menyaksikan hal itu dan tampak sedikit terkejut melihat kepergian kakak beradik tersebut.
"Bu Brenda?" tegur Hanna karena Bu Brenda hanya tertegun seperti tidak ingin mengatakan sesuatu.
"Ah Iya, maaf." Bu Brenda berdehem satu kali sebelum mengulurkan tangannya meraih formulir pendaftaran.
"Saya sempat ragu jika anak usia enam setengah tahun sudah berada di kelas dua. Tapi setelah melihat sikap mereka secara langsung, keraguan itu seketika hilang." Bu Brenda tersenyum. "Mereka anak yang pandai."
Hanna tidak dapat mengatakan apapun mendengar pujian tentang kedua anaknya. Dia senang dan juga bangga.
"Tolong Bu Brenda mengawasi mereka dengan baik. Saya titip mereka."
"Saya mengerti." Bu Brenda mengangguk. "Saya akan menjaga dan mengawasi mereka selama ada di sekolah. Itu kewajiban seorang guru."
Hanna tahu jika dirinya tidak mungkin bisa mengawasi Alex dan Axel sepanjang waktu. Dia harus bekerja untuk mencari uang, jadi berharap Bu Brenda dapat membantunya dalam masalah tersebut. Lagipula ada yang pernah berkata, guru adalah orang tua saat di sekolah. Itulah kenapa tugas guru sangat berat dan mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
"Mommy!"
Alex dan Axel kembali. Langkah kaki kecil mereka berjalan memasuki ruang guru. Seragam tampak rapi walau memang tidak serapi seragam sebelumnya saat dibantu Hanna memakainya.
"Kalian berdua jangan nakal ya. Dengar ucapan Bu Guru."
"Kami mengerti."
Hanna tersenyum dan mengelus puncak kepala mereka. Setelah itu Hanna meninggal sekolah untuk berangkat ke kantor.
Untungnya sekarang masih jam delapan kurang. Hanna masih punya waktu untuk sampai tepat waktu. Walau bagaimana pun akan sedikit tidak enak jika harus terlambat di hari pertama bekerja. Dia tetap harus menjaga image di antara rekan kerja lain.
---
Red Star
Hanna tidak bisa mengalihkan pandangan saat sampai di lobi kantor barunya. Meski tidak semegah kantor pusat yang ada di Kota B tetapi masih sangat megah jika dibandingkan dengan gedung perusahaan lain yang ada di wilayah tersebut.
"Maaf, mencari siapa?"
Hanna tersadar saat resepsionis di depannya bertanya dengan suara yang sedikit dipertegas.
"Emn ... Saya karyawan dari kantor pusat yang dipindah tugaskan ke sini. Saya mencari Direktur David. Bisa tolong laporkan kepadanya?" Hanna memperkenalkan diri sambil menunjukkan tanda pengenal.
Tak ayal hal itu cukup membuat resepsionis terkejut. Walau bagaimanapun dia mengetahui tanda pengenal tersebut adalah tanda pengenal Gold Star.
"Maaf sebelumnya. Tapi saat ini Direktur David masih dalam rapat."
"Rapat? Kapan itu akan selesai?"
Resepsionis itu melihat jam tangannya dan terlihat ragu. "Saya tidak begitu yakin. Mungkin setengah jam lagi baru selesai."
"Oh ...." Hanna menghembuskan nafas pasrah. Dia tidak punya pilihan lain kecuali menunggu rapat itu selesai untuk menyerahkan surat pindah tugasnya kepada David.
Hanna berjalan ke salah satu sofa tunggu yang ada di samping meja resepsionis. Pada saat itu, ponselnya tiba-tiba bergetar. Satu pesan dari nomor yang belum tersimpan mencuat di antara banyak notifikasi lainnya.
Rupanya itu dari sekretaris David yang bernama Lina. Memberitahu jika dirinya bisa langsung pergi ke kantor direktur sambil menunggu rapat selesai.
"Permisi!" Hanna langsung bangkit dari sofa dan bertanya ke resepsionis di mana kantor David. Setelah mendapatkan lokasinya Hanna segera menaiki lift menuju ke sana.
"Ini pertama kalinya aku melihatmu."
Seorang pria terlihat mengerutkan kening sambil memperhatikan Hanna dengan seksama. Dia melipat tangannya di depan d**a, sambil bersandar di dinding lift.
"Karyawan baru?" tanyanya.
"Iya. Karyawan baru."
Hanna melihat raut wajah pria itu menjadi serius setelah mendengar jawabannya.
"Apa yang salah dengan jawabanku?" batin Hanna. Ketika dia akan mengatakan sesuatu, pria itu tiba-tiba tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan.
"Billy!" ucapnya selayaknya orang yang berinisiatif memperkenalkan diri.
Hanna sempat tertegun dan hanya menatap bingung tangan Billy sebelum menyadari niat pria itu. "Hanna," ucapnya.
Billy manggut-manggut. "Jika boleh tahu, kamu departemen apa?"
"Departemen desain."
"Sungguh? Itu sangat kebetulan. Aku juga di departemen desain."
"Begitukah?" Hanna merespon ala kadarnya. Namun Billy menjadi lebih bersemangat.
"Tentu saja. Dan kamu mungkin harus memanggilku senior karena aku dari tim desain 1," ucapnya bercanda sambil menyombongkan diri.
Hanna cukup tersenyum tanpa niat menanggapi lebih jauh ucapan Billy. Dia langsung keluar begitu pintu lift terbuka dan menuju ke kantor direktur.
___
Hanna menunggu sekitar dua puluh menit sebelum David datang dengan sekretarisnya. Pria empat puluh lima tahun itu berjalan dengan berwibawa.
"Hanna! Maaf membuat kamu menunggu lama."
Hanna bangkit dari sofa menuju ke kursi yang ada di depan meja David. "Tidak apa Pak. Ini surat pindah tugas dari Pak Rayan."
David menerima berkas yang diberikan Hanna. Melihatnya beberapa saat sebelum meletakkannya di bawah meja. "Karena sebetulnya kamu sudah bekerja di kantor pusat, jadi saya pikir tidak perlu basa-basi lagi di sini. Bagaimana jika kamu langsung pergi ke departemen desain?"
"Boleh."
David mengangguk. Lalu berdiri dari kursinya, berniat mengantar langsung Hanna ke departemen desain sambil memperkenalkannya pada anggota tim satu lainnya.
___
Pada saat itu tim satu yang terdiri dari empat orang sedang sibuk di meja masing-masing. Kedatangan David yang tiba-tiba tentu membuat mereka terkejut. Terlebih dengan kehadiran sosok wanita yang asing berdiri di sebelahnya.
"Pak David ...."
"Tahan dulu jika kalian memiliki pertanyaan. Ada yang ingin saya umumkan."
Riska, wakil tim satu, tampak mengerutkan kening dengan wajah penasaran. Namun dia memilih diam menunggu pengumuman tersebut.
"Dia adalah Hanna. Manager tim satu yang baru. Ditugaskan langsung dari kantor pusat untuk menggantikan posisi Bu Carla."
"..."
Untuk beberapa saat ruangan itu semakin hening setelah apa yang disampaikan David. Riska tertegun. Begitu pula dengan tiga anggota tim lainnya. Windi, Jihan dan Billy.
Billy menjadi orang paling shock. Kondisi mukanya seperti orang yang baru mendapatkan kabar buruk.
"Ma-manager tim?!" Mulutnya menjadi kelu.
Hanna seperti mengetahui apa yang dipikirkan Billy pada saat ini. Kendati demikian dia enggan mempedulikan hal tersebut.
"Seperti yang dibilang Pak David. Saya Hanna, saya akan menjadi manager tim satu yang baru. Salam kenal dan mohon kerjasamanya."