10. Hampir Ketahuan

1561 Kata
Villa danau bulan. "Luke, tolong ambilkan laptopku. Aku lupa membawanya." "Baik Tuan." Luke yang tadinya sudah bersiap menyalakan mobil terpaksa harus turun saat tahu Adam lupa membawa laptopnya. Dia bergegas, sementara Adam tampak memegang dua cincin di tangan kirinya sambil terus memperhatikannya. "Hanna ...." .... Sembilan tahun lalu. "Hanna, aku punya sesuatu untukmu." Adam berdiri di depan Hanna setelah cukup lama mereka berjalan memutari taman. "Sesuatu?" Hanna menatap Adam dengan penasaran. "Apa itu?" "Kamu harus memejamkan mata jika ingin melihatnya." "Haruskah?" "Hitunglah sampai sepuluh sebelum membukanya. Tapi tunggu sampai aku memberi kamu tanda." Adam memastikan Hanna benar-benar menutup mata saat dirinya mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Kenapa kamu mencurigakan sekali. Jangan-jangan kamu mau mengerjaiku." "Tidak akan. Pejamkan saja mata kamu. Jangan coba untuk mengintip karena itu tidak akan seru." Hanna berdecak. "Terserah. Tapi aku akan mulai menghitung." "Satu ...." Hanna mulai mengurutkan nomor sampai sepuluh. Begitu selesai, perlahan dia membuka mata kemudian menemukan Adam yang sedang berlutut satu kaki sembari membawa kotak beludru di tangannya. Hanna bingung dan terkejut sampai kehilangan kata-kata. "Adam, apa ini ...." Adam membuka kotak beludru itu dan menunjukkan sepasang cincin di dalamnya. Dia memasangkan satu cincin di jari manis Hanna, sedang cincin yang lain di jari manisnya. "Ini adalah cincin couple. Aku ingin kita memakainya." "Bukankah terlihat serasi?" Hanna diam beberapa saat sambil memandangi cincin tersebut. "Sepertinya ini cukup mahal? Aku tidak bisa memakainya." "Tunggu!" Adam segera menahan tangan Hanna saat mau melepas cincin itu. "Aku sama sekali tidak memakai uang orang tuaku saat membelinya." "Lalu dari mana kamu mendapatkan uang? Kamu bekerja?" "Ya. Aku bekerja. Bekerja part time di restoran dekat kampus." "Benarkah?" Hanna sungguh baru mengetahui hal itu. "Kamu lihat ini. Aku benar-benar bekerja paruh waktu." Adam menunjukkan fotonya saat mengenakan pakaian pramusaji. Dia bahkan memiliki foto saat melayani beberapa pelanggan. Hanna tak bisa menuduh Adam berbohong. Dia kembali menatap cincin itu. "Tapi ... Tetap saja ini pemborosan. Tidak seharusnya kamu membeli cincin yang cukup mahal." "Ini yang terakhir. Aku janji!" Adam berkata sambil menjulurkan kelingkingnya. Hanna seperti tidak punya pilihan lain. Dia menghembuskan nafas. "Baiklah. Tapi janji jangan melakukannya lagi. Kamu harus tahu, cukup kamu di sampingku sudah membuatku sangat bersyukur." "Aku tahu." Adam tersenyum dengan matanya yang bersinar. "Jadi bisakah kamu memakainya?" Karena melihat Hanna tak menjawab Adam langsung memakaikan kembali cincin itu ke jari manis Hanna. "Kamu harus janji untuk selalu memakai cincin ini dan tak pernah melepaskannya. Kamu berjanji?" Hanna menatap Adam. "Oke, aku janji!" ... "Tuan?!" Adam tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Luke. Sungguh Luke merasa tidak enak meskipun bukan niatnya untuk mengejutkan sang tuan. "Tuan, kita berangkat sekarang?" "Ya." Luke mengangguk dan segera mengemudi saat mendapat tanda dari Adam. Namun tak jarang matanya menatap ke belakang melalui kaca spion, mengintip Adam yang tampak serius memandangi dua cincin di tangan kirinya. "Cincin itu ...." Luke tidak tahu alasan kenapa Adam mengenakan sepasang cincin couple di satu tangannya. Jika Luke ingat bahkan dua cincin itu sudah dipakai sejak pertama kali dirinya menjadi asisten. Sampai saat ini Luke masih cukup penasaran dengan cerita di baliknya. "Mampir ke mansion." "..." Luke menengadahkan wajah menatap Adam saat mendengar ucapannya. "Ke mansion, Tuan?" "Ya." Sekali lagi hanya jawaban singkat yang diberikan oleh Adam. Pria itu kembali menatap cincin di tangannya, tersenyum dingin, kemudian tiba-tiba melepasnya lalu melemparnya keluar jendela. Luke cukup terkejut menyaksikannya. Dia bertanya-tanya kenapa sang tuan tiba-tiba membuang kedua cincinnya. Saat rasa penasaran itu belum terpuaskan, suara Adam membuatnya tersadar. "Kenapa tidak jalan? Gerbangnya sudah terbuka." "Ma-maaf Tuan!" Luke langsung menginjak pedal gas dan mengemudikan mobil meninggalkan halaman villa. ... Sementara itu di tempat yang lain, Hanna sedang rapat dengan anggota tim satu. Mereka membahas rencana desain yang akan digunakan sembari membagi tugas sesuai kapasitas masing-masing. Hanna dan Riska bertanggung jawab untuk membuat desain. Windi dan Billy akan membuat dynamics interior animation, sedangkan Jihan akan bertugas untuk mencari sub-kontraktor. Jika dilihat memang terkesan mudah. Namun pada setiap pengerjaannya akan selalu ada hal di luar rencana. Seperti yang terjadi hari ini. Ketika Hanna mengirim rancangan desain untuk beberapa ruangan yang akan direnovasi, dia mendapat penolakan sehingga harus merevisinya dari awal. "Semua? Semuanya harus direvisi?" Windi hampir menjatuhkan buku di tangannya saat mendengar kabar dari Hanna tentang rancangan desain mereka. Bukan hanya Windi, Jihan, Billy, bahkan Riska pun terkejut saat mengetahuinya. Brak! Billy menggebrak meja. Dia berkata sambil berkacak pinggang. "Ini tidak masuk akal. Setidaknya ada delapan desain untuk empat ruangan yang kita kirim. Bagaimana mungkin tidak satu pun yang masuk kriteria mereka?!" "Aku pun penasaran," sahut Jihan. Hanna mengangkat tangannya sambil bersorak. "Hei hei hei hei! Cukup untuk meributkannya. Ini bukanlah akhir. Ingat! Kita hanya perlu merevisi rancangan desain yang sudah ada. Setidaknya kita sekarang mengetahui apa yang perlu diperbaiki." "Ayo, semangat! Mari kita lakukan sampai akhir." "Ya. Mari kita lakukan." Melihat semua kembali ke meja masing-masing membuat Hanna tersenyum. Dia pun ikut berjalan kembali ke mejanya. ... Dua hari kemudian. "Baik, terima kasih. Saya usahakan tepat waktu." Hanna mengakhiri panggilan telepon dan segera beralih ke tempat Windi. "Windi! Tugas yang aku minta sudah selesai?" "Sudah. Tapi ...." "Tidak ada tapi. Cepat kirimkan kepadaku. Aku akan menyerahkannya siang ini." Jihan yang mendengar percakapan antara Hanna dan Windi menjadi penasaran. "Mbak Hanna sungguh akan menyerahkannya sendiri? Tumben sekali. Bukankah biasanya cukup mengirimkan rancangannya ke sana." Hanna mengemasi tasnya, lalu menoleh pada Jihan. "Kita sudah terlalu banyak membuang waktu. Aku berpikir dengan menyerahkannya secara langsung akan lebih efisien." "..." Jihan hanya manggut-manggut karena setuju dengan apa yang disampaikan Hanna. "Jika begitu ... Mbak Hanna, semangat! Aku mendoakanmu dari sini." Hanna tersenyum, kemudian mengambil kunci mobilnya dan meninggalkan ruangan. Baru sampai di tempat parkir Hanna mendapat telepon dari Bu Brenda. Tentu saja, seketika Hanna memikirkan kedua putranya yang seharusnya masih di sekolah. "Hallo! Bu Brenda?!" "Selamat siang Bu. Maaf mengganggu." Terdengar suara Bu Brenda di seberang telepon. Hanna membuka pintu mobil lalu duduk dengan tenang di sana. "Tidak sama sekali Bu Brenda. Tapi ada apa ya? Apa terjadi sesuatu pada Alex dan Axel?" Bu Brenda tertawa sungkan saat mendengar pertanyaan Hanna. "Alex maupun Axel baik-baik saja. Saya hanya mau memberitahu jika hari ini seluruh siswa kelas satu dipulangkan lebih awal." Hanna langsung mengerti. "Baik Bu. Terima kasih sudah menginformasikannya. Saya akan langsung ke sana menjemput mereka." Jika itu hari biasa Alex dan Axel dapat pulang dengan bus sekolah yang akan mengantar mereka sampai rumah. Namun karena siswa kelas satu dipulangkan lebih awal maka menjadi tugas orang tua untuk menjemput anak-anak mereka. "Sepertinya masih ada waktu." Hanna melihat jam di ponselnya. Dia tersenyum lebar saat memastikan bahwasanya ada jarak waktu yang cukup untuk menjemput Alex dan Axel sebelum pergi menyerahkan rancangan proyeknya. "Ini pertama kali aku menjemput mereka di sekolah baru. Apa mereka akan sangat senang saat melihatku?" Hanna begitu tak sabar saat memikirkannya. Dia segera menyalakan mobil dan mengemudikannya meninggalkan halaman parkir. .... Di sekolah. Alex dan Axel belum tahu jika Hanna sudah menunggu mereka di luar pagar seperti orang tua lainnya. Keduanya berjalan seperti tidak menghiraukan siapapun sampai Hanna memanggil dari tempatnya. "Alex! Axel!" Mata mereka langsung mencari asal suara tersebut. "Mommy?!" Tanpa berlama-lama mereka lari menghampiri Hanna. "Mommy! Mommy menjemput kami?" "Tentu saja. Jika tidak, Mommy tidak akan ada di sini." "Bagaimana Mommy tahu kami pulang lebih awal?" tanya Axel, yang terlihat senang karena Hanna menjemput mereka. "Ada yang memberitahu Mommy." "Siapa? Apa itu Bu Guru Brenda?" "Iya." Hanna mengangguk, kemudian meminta Alex dan Axel naik ke dalam mobil. "Bagaimana hari ini sekolahnya?" Axel melepas tasnya dan menaruhnya di samping. "Sangat menyenangkan. Mommy tahu tidak, saat kelas olahraga tadi kami memainkan permainan bola beracun. Itu sangat seru dan tim Axel menang." "Benarkah? Axel hebat sekali." Hanna melihat ke kaca, beralih pada putra sulungnya. "Kamu Alex, bagaimana hari ini?" "Alex ...." "Tim Alex kalah Mommy. Dia sangat payah." Axel berkata sambil tertawa. Alex yang mendengar itu langsung menatap Axel kesal. "Bukan kalah, tapi mengalah." "Itu sama saja." "Tidak." "Sama!" "Ti ...." "Sudah sudah. Jangan bertengkar. Sekarang Mommy akan antar kalian pulang. Setelah ini Mommy ada pertemuan." "Mommy!" Axel tiba-tiba merengek sambil memegang perutnya. "Axel lapar." "Lapar? Memangnya tidak makan siang di kantin?" Axel menggelengkan kepala yang membuat Hanna menghembuskan nafas. "Alex, kamu juga belum?" "Heem." Dia menganggukkan kepala. Hanna tidak punya pilihan lain selain mengajak mereka makan siang terlebih dahulu sebelum pulang. "Sepertinya masih ada waktu," gumam Hanna. "Baiklah. Kebetulan Mommy juga belum makan siang. Kita cari tempat makan. Kalian mau apa?" "Pizza!" Tanpa berpikir panjang Axel berseru sambil mengangkat kedua tangannya. "Pizza? Sepertinya enak. Tapi di mana kita akan menemukan restoran pizza yang tidak terlalu jauh?" "Alex! Beritahu Mommy tempatnya." Axel menggoyangkan tangan Alex dengan tak sabar. Alex terlihat malas. Tetapi tetap mengeluarkan selembar brosur dari sakunya. Dia memberikannya pada Hanna. "Sekarang aku tahu kenapa kamu memintaku menyimpannya." Alex berdecak, sedangkan Axel hanya tertawa polos. Setelah itu mereka bertiga pergi ke alamat yang tertera dalam brosur tersebut. Mereka keluar dari mobil, melihat restoran yang bisa dikatakan cukup besar. "Tunggu dulu! Aku baru sadar jika ini cukup dekat dengan perusahaannya." Hanna melihat google map dan benar-benar terkejut saat melihat posisi restoran berada di blok yang sama dengan perusahaan tempat Adam. Apa ini tidak akan menjadi masalah? Bagaimana jika Adam ada di sini dan melihat kami? Seolah takdir menghendaki hal itu, Adam tiba-tiba muncul di depan mobil mereka. Mata Hanna membulat sempurna dan jantungnya seperti mau berhenti. Dia langsung menarik tangan Alex dan Axel lalu bersembunyi di belakang mobil. "Dia ... Kenapa bisa kebetulan sekali?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN