9. Menyakiti

1512 Kata
Perjalanan dari taman menuju apartemen yang ditempatinya bersama Austin terasa begitu lama bagi Carl. Austin masih menggenggam tangan Carl dengan erat, tanpa ada niatan untuk melepaskannya. Sementara Carl yang digenggam dengan erat tangannya merasakan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Perasaan bimbang dan bingung harus berbuat apa. Tak ada yang berbicara di antara mereka berdua. Hanya suara derap langkah kaki keduanya yang menghiasi keheningan yang tercipta. Mungkin saat seperti ini bungkam adalah hal terbaik yang harus dilakukan, dari pada harus berkoar jika hanya akan menimbulkan pertengkaran. Sesampainya di dalam apartemen, Austin telah melepaskan tautan tangannya dengan Carl. Lalu ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa disertai dengan kedua kelopak matanya yang terpejam. Sementara Carl yang masih berdiri dengan diam, ia mencoba untuk duduk di samping Austin dan menggenggam tangan pria itu dengan tak kalah eratnya. Ada rasa tak nyaman di hatinya, ia tak ingin jika pria itu sampai salah paham padanya, apa lagi sampai berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. "As, aku bisa menjelaskan semuanya." Carl berkata dengan pelan disertai sebelah tangannya yang meremas pelan tangan Austin dalam genggamannya. "Apa yang akan kau lakukan jika berada di posisiku?" satu pertanyaan retoris dilayangkan Austin pada Carl yang hanya bisa diam menunduk. "Maaf." Merasa pertanyaan yang diucapkan Austin terlihat begitu telak padanya, Carl tak tau lagi harus berkata apa selain mengucapkan permintaan maaf. Ia tahu ia salah, tapi tadi itu berjalan begitu saja. Ia bahkan tidak mengira bahwa dirinya akan bertemu dengan Admund dan juga pria itu yang akan dengan nekat sampai memeluknya. Itu semua berada di luar kehendaknya. "Aku tidak butuh kata maafmu, hanya saja aku belum bisa menerima kalau tunanganku berpelukan dengan pria lain." Satu kalimat yang diucapkan Austin pada Carl terasa begitu menohok hatinya. Carl tau ia bersalah, tapi mengapa ia merasakan begitu sakit saat kata-kata itu keluar dari mulut Austin. Orang yang selalu mempercayai dan ada untuknya, walaupun ia juga paham kalau ini semua memang bermula darinya. Andai saja ia tidak keluar, mungkin saja ini semua tidak akan terjadi. Tapi percuma menyesalinya saat semuanya telah terlanjur terjadi. Tak ada gunanya. "Jangan dikira selama ini aku tidak tau bahwa kamu masih menyimpan rasa untuknya. Meskipun bibirmu berkata tidak, tapi hatimu mengatakan sebaliknya." Setelah mengucapkan kata tersebut, tampak setetes cairan bening menetes di antara kedua pelupuk mata Carl. Ia tidak memungkiri bahwa perkataan Austin memang benar adanya, sebaik dan setulus apapun cinta Austin untuknya, tetap tidak bisa menghapus nama seseorang yang telah mengisi hatinya lebih dulu. Memang terdengar sangat egois dan tidak adil bagi Austin, tapi untuk melupakan sosok orang yang menjadi cinta pertamanya tidaklah semudah yang dibayangkan. Buktinya sekian tahun ia berusaha menghapus nama dan sosok itu dari hatinya, bahkan disaat dia telah menjalin hubungan dengan pria lain, hatinya masih saja terpaut padanya. Austin yang melihat Carl menangis, hanya memalingkan wajah dan beranjak pergi keluar dari apartemen. Ia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya yang terasa panas. Dalam hatinya ia ingin sekali mengumpat pria itu yang dari dulu hingga sekarang masih saja tidak bisa dilupakan oleh gadisnya. Sejauh apapun usahanya untuk membuat Carl jatuh cinta padanya, semua itu nyatanya hanya membuahkan kesia-siaan. Mungkin raga gadis itu bisa dimilikinya, namun tidak dengan hatinya. Jika diibaratkan, dia hanya mendapatkan cangkang tanpa isi, kosong. Carl yang mendapati Austin bahkan terlihat enggan untuk melihat wajahnya pun, hanya bisa semakin terisak dalam diamnya. Apakah harus sesakit ini ketika diabaikan oleh seseorang yang biasanya selalu ada untukmu? “Maaf...” Suara isak tangis Carl terdengar saat ia menundukkan pandangannya. Normalnya, saat mendapati wanitanya tengah menangis seperti saat ini, biasanya Austin akan dengan sigap memeluk dan menjadikan dadanya sebagai sandaran bagi gadis itu berkeluh kesah serta menumpahkan air matanya. Tapi untuk saat ini, rasa kecewa terlalu mendominasi pikirannya. Hatinya mungkin berkata lain dan sangat ingin merengkuh Carl seperti sebelum-sebelumnya, tapi egonya melarang dan memilih pergi meninggalkan Carl sebelum dirinya luluh seperti biasanya. - Kini waktu telah beranjak malam, akan tetapi Austin bahkan tidak ada kabar sama sekali. Carl yang mendapati Austin tidak pulang sama sekali tentu merasakan cemas yang teramat. Kemana kiranya Austin hingga larut malam seperti ini belum kembali ke apartemen? Apa pria itu begitu marah pada Carl sampai-sampai memutuskan untuk tidak kembali ke apartemen? Carl kembali menengok pada jam dinding yang telah menunjukkan pukul 00:05, kemudian ia kembali menengok pada meja makan yang di atasnya terdapat berbagai hidangan hasil masakannya sendiri. Ia sengaja memasak makanan kesukaan Austin hanya untuk membujuk pria itu agar mau memaafkannya. Tapi nyatanya, hingga waktu telah menunjukkan larut malam Austin belum juga pulang dan tidak ada kabar sama sekali. Membuat gadis itu merasakan perasaan bersalah yang bersarang di hatinya. Ia tidak suka didiamkan oleh pria itu, ia selama ini telah terbiasa dengan sikap hangat dan pedulinya, bukan sifat dinginnya yang seperti ini. Disisi lain Carl juga merasa khawatir jika terjadi hal yang tidak-tidak terhadap pria itu. Carl memutuskan untuk tetap menunggu Austin di sofa ruang depan, berjaga-jaga jika saja pria itu pulang dan Carl dengan sigap akan membukakan pintu untuknya. Lama menunggu membuat gadis itu terserang rasa kantuk, hingga tanpa sadar ia tertidur di sofa dalam posisi duduk. Tok Tok Tok Carl yang tengah tertidur dengan posisi yang tidak mengenakkan terkjut bukan main mendapati suara ketukan pintu apartemennya. Dengan langkah pelan ia berjalan untuk membuka pintu apartemennya. Jika benar dugaannya, maka orang yang mengetuk apartemennya adalah Austin. Ya, semoga saja... Seketika senyum merekah muncul di bibir Carl saat mendapati bahwa yang mengetuk pintu apartemennya adalah Austin, tapi tak lama kemudian senyuman itu luntur ketika mendapati bahwa Austin tengah berada dalam keadaan setengah sadar di bawah pengaruh alkohol. Austin berjalan dengan sempoyongan dan dengan sigap Carl membantu Austin untuk memapahnya menuju kamar pria itu. "Hey... kau tau, tunanganku baru saja berpelukan dengan pria dari masa lalunya. Heh... bahkan pria itu terang-terangan mengatakan bahwa dia akan merebut calon istriku dariku." Brukkk Carl menjatuhkan Austin ketempat tidurnya, saat memapah Austin tadi samar-samar Carl mencium aroma parfum wanita yang masih membekas di kemeja Austin. Dan ketika hendak membuka simpul dasi yang masih melekat di leher Austin, lagi-lagi Carl dibuat terkejut dengan adanya bekas lipstick yamg menempel di kemeja Austin. Ditambah lagi dengan adanya kissmark dis ekitar area leher dan d**a bidang Austin. Carl hanya bisa menangkupkan kedua tangan pada bibirnya menahan suara isakan yang seakan keluar tanpa bisa ditahan. Tuhan! Apa aku harus selalu tersakiti oleh seseorang yang telah aku sayangi? Kenapa harus Austin. Di dunia ini hanya pria itu yang saat ini begitu ia yakini tidak akan menyakitinya, tapi kenapa. Dadanya terasa sesak saat ini, ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan berulang kali menolak berbagai kemungkinan yang terlintas di benaknya. Dalam hatinya terus membatin semoga pria itu tidak melakukan apa yang pernah dilakukan Admund 4 tahun yang lalu. Rasanya sungguh terlalu sulit untuk menerima kenyataan bahwa pria yang ia yakini benar-benar baik akan melakukan hal b***t tak ubahnya orang yang pernah menyakitinya di masa lalu. Gadis itu menyeka air mata yang menetes di kedua pipinya dengan kasar. Ia tidak boleh lemah hanya karena hal seperti ini, tapi tetap saja, rasanya sakit. Ketika hendak pergi dari kamar Austin, secara tiba-tiba tangan Austin menggenggam erat pergelangan tangan Carl. Dan dalam sekali sentakan Austin dengan cepat menarik tubuh Carl hingga menindih tubuhnya, membuat Carl yang sama sekali tidak siap langsung tersentak kaget saat terjatuh di atas d**a bidang lelaki itu. Carl yang hendak protes dibuat kaget ketika secara tiba-tiba Austin mencium gadis itu dengan kasar, ciuman ini tidak seperti yang biasa dilakukan Austin padanya. Ciuman kali ini begitu menuntut hingga membuat Carl merasa takut. Sebelah tangan Austin menekan tengkuk Carl agar semakin dalam mencium dan menjamah bibir gadis itu dengan lumatan-lumatan kasar. Sampai dia sempat merasakan aroma amis bercampur karat karena bibirnya berdarah saking kasarnya ciuman Austin yang begitu menuntut. Merasa kurang leluasa, pria itu kini membalik keadaan sehingga tubuh kekarnya berada di atas tubuh mungil Carl yang mulai mengeluarkan isakan ketakutan saat sebelah tangan Austin hendak menyingkap baju yang dikenakannya. Air mata telah membasahi kedua pipinya, rambutnya berantakan karena usahanya dalam memberontak seolah tak membuahkan hasil. Secara perlahan kilatan-kilatan memori kelam mulai berkelebatan dalam benak Carl. Ia sebisa mungkin berusaha melepaskan diri dari kukungan tubuh besar Austin yang masih menciumnya dengan kasar. Air mata lagi-lagi keluar dari pelupuk mata Carl. ‘Tidak! Tidak! Kumohon jangan lagi!’ Akhirnya dengan kekuatan penuh Carl berusaha mendorong, mencakar, dan yang terakhir ia mencoba untuk menendang s**********n pria itu. Seketika pria itu menengaduh kesakitan akibat rasa ngilu yang dirasakan di daerah vitalnya yang berdenyut ngilu. Carl memanfaatkan kesempatan itu untuk segera melepaskan diri dari kukungan Austin dan bergegas kembali menuju kamarnya dengan tergesa. Tak lupa gadis itu membanting pintu kamar Austin dengan kencang dan Carl juga mengunci pintu kamarnya sendiri dari dalam dan segera menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Tak bisa ditahan lagi, air matanya kembali mengalir dalam diamnya, isak tangisnya terdengar begitu menyayat hati di tengah keremangan cahaya dalam kamar yang lampunya sengaja tidak dinyalakan. Ia tetap terdiam dalam posisi itu selama beberapa saat. Tadi merupakan kali pertama Austin berani melakukan hal-hal yang lebih bahkan terkesan hampir melecehkannya. Membuat gadis itu kembali mendapati kilas balik memori kelamnya yang membuat dia pergi dari negara ini dan kembali ke Paris. Namun baru beberapa hari ia di negara ini, ia sudah kembali mengalami hal yang hampir serupa, dan yang lebih menyakitkannya lagi orang yang melakukan itu adalah orang yang sangat ia percaya bisa menjaganya. ‘Tuhan! Mengapa kejadian ini harus terulang lagi.’ To be continued....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN