Bab 1
Seorang pemuda tampan dengan postur tubuh 175 cm, rambut hitam legam, alis tebal,dan tubuh atletis berkulit sawo matang khas Indonesia memasuki rumah tempat tinggalnya tepat saat jam dinding berbunyi empat kali.
"Assalamualaikum." Ia mengucapkan salam ketika memasuki ruang tamu. Terlihat lelah menghiasi wajah tampannya. Keningnya tampak dibasahi oleh peluh.
"Waalaikumsalam, akhirnya anak kesayangan Bunda pulang juga. Bunda kangen banget sama kamu, Ron." Bu Elma menyambut putra kesayangannya dengan senyum lebar, ia memeluk sang anak seolah sudah berbulan-bulan lamanya tidak bertemu, padahal mereka berpisah hanya beberapa jam saja terhitung sejak pukul 7 pagi.
"Iya Bun, kebetulan pekerjaan sudah beres semuanya jadi Roni bisa pulang cepat." Roni memberikan jawaban seraya melepas dasi warna biru yang melingkar indah di lehernya. Dengan gerakan cepat ia pun mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu sebelum membuka kaos kakinya. Ia benar-benar lelah. kebetulan sekali di meja tersedia air mineral cup. Ia meraihnya dan menyedotnya hingga tandas.
"Kebetulan kamu pulang cepat, nanti jam tujuh kita diundang makan malam sama keluarga Om Cahya. Arifa baru saja pulang dari Jerman jadi mereka ingin menyambutnya. Sekalian ada hal serius yang ingin dibicarakan dengan keluarga kita." Bu Elma memberitahukan kabar penting terkait undangan dari tetangga sebelah rumah.
"Arifa sudah pulang?Kenapa dia tidak memberi kabar kepada Roni? Lagipula acaranya kenapa harus malam ini, Roni tak bisa ikut Bund, sudah ada janji sama Shahnaz mau nonton bareng." Roni memberikan penolakan. Bukannya tak sopan atau tak peduli dengan kebaikan Hati keluarga Om Cahya, hanya saja baginya janji temu dengan pujaan hati adalah hal yang tak dapat diganggu gugat. Roni tak ingin mengecewakan kekasih hatinya.
"Shahnaz lagi Shahnaz lagi, Bunda bosan mendengarnya. Malam ini saja please deh Ron nurut sama Bunda. Bunda malu sama Om Cahya, kaya rumah dimana saja pakai nolak undanganya segala. Ga bakal lama, paling sejam dua jam juga beres." Dengan nada tinggi wanita berusia 46 tahun itu menunjukkan raut wajah kesal kepada anak semata wayangnya yang sering membantah. Sebenarnya ia kurang setuju jika putranya menjalin hubungan dengan gadis bernama Shahnaz yang menurutnya tipe perempuan gedongan yang ke depannya pasti akan sering menguras isi dompet anaknya.
"Iya deh Bunda, Roni ikut. Bunda jangan marah gitu. Gak cantik lagi." Pemuda itu akhirnya mengalah, ia tak ingin membuat ibunya kesal. Ia akan segera menghubungi Shahnaz untuk mengatur kembali jadwal nonton bioskop mereka.
"Nah gitu dong. Ini baru namanya anak Bunda." Bu Elma tampak senang. Ia segera memeluk putranya dengan penuh kasih sayang.
"Kalau begitu Roni mau ke atas dulu ya, mau mandi. Udah gerah banget nih." Roni pun pamit meninggalkan ibunya sendiri yang tampak senang melihat putranya mau menurut. Ia berharap rencananya akan berhasil.
****
Selepas maghrib, Roni, Bu Elma dan Pak Hamid sudah tampak rapi, ketiga orang itu sudah siap berangkat memenuhi undangan makan malam keluarga Pak Cahya.
"Ayo kita berangkat sekarang." Pak Hamid dengan tidak sabar mengajak anak dan istrinya berangkat menuju kediaman rumah Pak Cahya yang terletak tepat di samping rumahnya. Rumah mereka berdempetan, bahkan di halaman belakang saling terhubung.
"Emang ada acara apaan sih Yah, kita harus dandan rapi kaya gini. Sampai-sampai Roni mesti pakai baju batik segala?" Roni merasa heran dengan sikap orang tuanya. Mereka seperti akan menghadiri acara formal saja.
"Udah yuk ah nanti keburu telat. Om Cahya sama keluarganya pasti sudah menunggu kedatangan kita. Nanti juga kamu akan tahu sendiri, Ron." Pak Hamid enggan memberikan penjelasan apapun. Biarlah putranya mengetahui dengan sendirinya. Ia dan istri tercintanya ingin memberikan sebuah kejutan istimewa.
Hanya butuh waktu lima menit berjalan kaki, keluarga pak Hamid tiba di depan pintu gerbang kediaman Pak Cahya. Satpam rumah yang mengenal baik pak Hamid dan keluarganya langsung mempersilahkan ketiga tetangga majikannya itu masuk.
"Assalamualaikum." Pak Hamid mengucap salam begitu tiba di depan pintu rumah sahabatnya.
"Waalaikumsalam," jawab Pak Cahya yang telah menunggu kedatangan Keluarga Pak Hamid di ruang tamu. Wajah sang tuan rumah tampak cerah, secerah cuaca di musim kemarau.
"Terimakasih atas kunjungannya, mari..mari.. silahkan duduk!" Pak Cahya menyambut keluarga Pak Hamid dengan ramah. Seolah tengah kedatangan tamu dari jauh. Di ruang tamu itu ada juga istri dan anak laki-lakinya. Malam ini terasa sangat berbeda. Suasana tampak sedikit formal.
"Arifanya mana, Om? katanya sudah pulang?" Roni mencari sahabat kecilnya yang belum terlihat. Ia penasaran dengan rupa gadis yang dulu sering bertengkar dengannya.
"Wah kamu sudah kangen ya sama Ifa. Tunggu saja! sebentar lagi juga dia akan turun." Bu Diah, istri Pak Cahya menggoda Roni. Dua keluarga itu sudah menjalin hubungan yang sangat akrab sejak puluhan tahun silam. Sejak zaman kakek nenek mereka.
"Ayo Rif, panggil kakakmu di atas sana. dandannya kenapa lama sekali." Bu Diah memerintah putranya yang bernama Arif. Pemuda itu pun segera mematuhi perintah ibunya.
"Silahkan dicicipi dulu hidangannya!" Bu Diah mempersilahkan tamunya yang kini sudah duduk nyaman di sofa untuk menikmati hidangan yang telah tersedia.
Beberapa menit kemudian gadis bernama Arifa itu tiba di ruang tamu. Gadis itu tampak anggun mengenakan gaun berwarna biru muda warna yang sama dengan batik yang dikenakan oleh Roni, seperti kebetulan.
"Roniii apa kabar? tanpa malu dan ragu ia langsung memeluk sahabatnya." Sementara Roni merasa risih dengan aksi Arifa yang berlebihan. Mereka memang sahabat sejak kecil tapi sekarang mereka telah dewasa. Ada batasan tertentu yang harus dijaga.
"Ifa, apa-apaan sih kamu, kenap peluk-peluk segala. Kita ini bukan muhrim." Roni berusaha melepaskan Arifa. Sementara orang tua mereka hanya tersenyum geli melihat tingkah keduanya.
"Masih untung nggak aku cium." Gadis itu tersenyum, Arifa lalu melepaskan pelukannya.
Sementara Roni terlihat kesal. Sejak dulu Arifa tak pernah berubah.
"Ifa memang lucu ya." Bu Elma menatap gadis itu sambil menahan tawanya. Sejak masih bayi gadis itu memang lucu.
"Udah dulu kangen-kangenannya. Mending kita langsung ke ruang makan. Ada banyak makanan yang menunggu kita." Bu Diah mengajak mereka ke ruang makan.
****
"Alhamdulillah, akhirnya keluarga kita bisa berkumpul. Walaupun makan malamnya sederhana." Pak Cahya membuka percakapan santainya di ruang tengah usai makan malam.
"Sederhana gimana sih mas, tadi itu makanannya segala ada bahkan lebih enak daripada yang di resto." Bu Elma berkata sambil melirik ke arah Bu Diah yang duduk di samping suaminya.
"Mbak Elma, bisa aja." Bu Diah tersipu malu.
"Sepertinya tidak perlu basa-basi lagi ya, karena kedua keluarga sudah saling mengenal lebih dari 30 tahun." Pak Hamid mulai berbicara serius. Senyuman tampak dari wajah para orang tua. Sementara pandangan anak-anak masih tertuju ke arah pak Hamid. Roni penasaran dengan percakapan yang akan dibahas oleh keduanya.
"Saya setuju sama kamu Mid, kita langsung membicarakan rencana perjodohan ini, mumpung anak-anak sedang kumpul." Pak Cahya tampak antusias. Sudah sejak lama keduanya merencanakan perjodohan ini.
Sementara Roni terlihat terkejut. Perjodohan?!Apa maksudnya? Ia tidak mengerti. Jadi, makan malam kali ini ada artinya. Ya Allah bisa-bisanya kedua orang tuanya berbuat seenaknya. Roni sudah memiliki Shahnaz kenapa harus dijodohkan dengan Arifa?!!
"Mama yakin kamu pasti setuju kan Fa." Bu Diah memandangi putrinya yang duduk di sebelah Arif. Sementara sang anak cuma tersenyum tanda setuju. Berbeda dengan Roni yang tidak tahu duduk perkaranya, Arifa dari tadi pagi sudah diberitahu oleh ibunya. Buat Arifa yang memang menyandang status jomblowati sejak 2 tahun lalu perjodohan ini adalah rezeki. Pasalnya sejak SMA ia memang sudah naksir berat sama Roni, hanya saja Roni tidak pernah tahu perasaan Arifa dan nampaknya dia juga kurang peka dengan sikap sahabat kecilnya.
"Aku bakalan seneng deh kalau bisa besanan sama Mas Cahya dan Mbak Diah. Keluarga kita bisa tambah dekat." Bu Elma tersenyum manis. Sejak dulu ia menganggap Ifa sebagai putri kandungnya sendiri, jika ia jadi berjodoh dengan putranya, ia akan menjadi putri sungguhannya.
"Kita tinggal tanya anak-anak saja kalau begitu." Pak Hamid menatap Roni yang salah tingkah dan Arifa yang tertunduk secara bergantian.
"Tunggu dulu Om, Tante, Ayah, Bunda sepertinya Roni sama Ifa perlu ngobrol berdua dulu." Roni langsung menginterupsi. Roni butuh berdiskusi.
"Iya silahkan kalian bicara dulu berdua, kami tunggu jawabannya sekarang." Pak Hamid mempersilahkan Roni yang langsung berdiri mengajak Arifa menjauh dari kedua orang tua mereka.
***
"Ifa, kamu sudah tahu tentang perjodohan ini?" Roni langsung menatap tajam Arifa.
"Ya, belum. Aku baru tahu tadi pagi." Arifa memberikan penyangkalan.
"Itu artinya sudah tahu. Aku gak mau dijodohkan sama kamu. Aku sudah punya pacar." Roni memberikan penolakan.
"Aku juga tadinya ga mau." Arifa memberikan jawaban yang sama.
"Ya sudah kita tolak saja." Roni memberikan usulan.
"Aku bingung Ron, Kalau aku menolak mereka bisa marah besar. Aku juga masih pengangguran dan baru mau kerja. Ga kebayang semua fasilitasku mereka blokir." Arifa memberikan alasan tak masuk akal.
"Oke, kita kelabui mereka saja. Kita ga usah jawab sekarang. Kita minta waktu seminggu." Roni memberikan usulan.
"Oke, deh aku setuju." Arifa mengangguk. Ia tahu Roni sedang marah. Lebih baik dirinya mengalah saja.
Sepuluh menit kemudian mereka kembali lagi untuk bergabung bersama keluarga masing-masing.
"Pa, jawabannya nanti seminggu lagi, Ifa sama Roni harus diskusi panjang dulu." Arifa memberikan jawaban kepada mereka yang sedang menunggu. Rupanya gadis itu mau menuruti saran Roni.
"Kok ditunda sih" Pak Cahya tampak kecewa.
"Sudahlah tidak apa-apa, mereka butuh mempertimbangkan dulu." Pak Hamid tersenyum. Walaupun kecewa ia harus menghormati keputusan Arifa
****
TBC