Dua hari setelah pertemuan bersama para wartawan, Sherin kini hanya mengurung dirinya di dalam kamar besar milik Adrian yang kini menjadi tempatnya untuk beristirahat.
Gadis malang itu masih terlihat tak bersemangat untuk menjalani aktifitas seperti biasanya. Gadis yang biasanya selalu ceria kini menjelma menjadi sangat pendiam. Tak banyak kata kata yang keluar dari mulutnya, hanya 'pa, ma, kak' yang bisa di ucapkannya.
Pandangan matanya masih sama seperti dua hari lalu, kosong, tak memiliki jiwa di dalamnya. Adrian yang selalu memantau perkembangan kesehatan Sherin menjadi khawatir karena melihat tubuhnya yang mulai kehilangan berat badan akibat nafsu makannya yang sangat berkurang.
Segala usaha di lakukan keluarga itu untuk memulihkan kembali trauma ringan yang menyerang Sherin. Bahkan mereka mendatangkan langsung psikolog handal yang telah lama menjadi bagian dari dokter pribadi keluarga Heri Darmawan.
"Selamat pagi, nona..." sapa Rika berjalan mendekati Sherin yang tengah menyandar di kepala ranjang dengan kedua tangan yang membawa nampan berisikan sepiring spageti serta ice lemon madu yang menjadi favorit gadis itu.
"Nona, aku membawakan makanan kesukaanmu. Anda harus memakannya." Rika mulai menyodorkan garpu yang di liliti spageti di luarnya pada majikannya itu.
Kedua mata Sherin melirik Rika yang terlihat menyimpan kesedihan di raut wajahnya. Gadis itu sebenarnya ingin sekali mengatakan pada pelayan pribadinya agar tak menatapnya dengan wajah seperti itu. Tapi bibirnya masih terasa sulit untuk di gerakkan dan hanya bisa mengangukkan kepalanya dengan pelan.
perempuan bertubuh gempal itu girang bukan main melihat respon Sherin yang menganggukkan kepalanya saat di tawarkan untuk makan. Dengan perlahan, Rika menyuapkan spageti buatannya beberapa kali.
Walau Sherin hanya memakan sebanyak tiga kali suapan tapi itu cukup membuat Rika sedikit tenang.
"Nona, sebenarnya aku sama sepertimu. Aku juga yatim piatu, tak banyak keluarga yang ku punya. Aku mendengar sedikit berita tentangmu. Tapi kau benar benar hebat nona, kau tidak pernah menggantungkan hidupmu pada orang lain, bahkan kau bersedia menerima akibat dari perbuatan pamanmu," ucap Rika mencoba memancing respon Sherin.
"Nona, anda harus cepat sembuh. Aku benar benar akan menganggur jika anda seperti ini terus." Suara Rika terdengar begitu lirih dengan matanya yang terlihat berkaca kaca.
"Apa anda ingin melihatku kehilangan pekerjaan, Nona? Jika aku kehilangan pekerjaan, bagaimana aku bisa membeli kebutuhan ku? Lama lama aku bisa kehilangan berat badanku karena tidak lagi memiliki uang untuk makan. Anda tahu kan makanku banyak? Kalau sudah begitu, aku tidak akan terlihat sexi lagi seperti Selena Gomez." Perempuan itu benar benar bersedih, nada suaranya sudah tidak bisa terkontrol lagi.
'Kau ini, bisa bisanya kau bercanda di saat sedang bersedih seperti itu.' Sherin hanya bisa membatin melihat pelayan pribadinya yang benar benar percaya diri itu.
Sherin tersenyum manis, untuk pertama kalinya selama dua hari ini Sherin memberi respon yang baik seperti ini. Entah kenapa, Sherin seperti menemukan kembali kekuatan dari dirinya untuk bangkit setelah mendengar ketulusan yang di sampaikan oleh Rika. "Eemm..." Sherin berdehem.
Perempuan bertubuh gempal itu membulatkan matanya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Nona, anda merespon?" Pertanyaan Rika hanya di balas senyuman manis dan anggukan kepala dari Sherin.
"Nyonya... Nyonya..." Tubuh gempal Rika mulai berlarian mencari keberadaan Lina untuk memberitahu kabar gembira itu, tapi dirinya terlebih dahulu menabrak Adrian yang baru saja tiba menginjak puncak anak tangga.
"Ehh.. Tuan Adrian. Maafkan saya tuan," ucapnya dengan nafas tergesa gesa.
"Kau kenapa Rika?" Lalu menatap ke arah kamarnya yang menjadi tempat Sherin beristirahat. "Apa terjadi sesuatu dengan Sherin?" tanyanya terlihat panik namun masih bisa di tutupi dengan wajah santainya.
Rika menggelengkan kepalanya cepat, perempuan yang di utus untuk menjadi pelayan pribadi Sherin itu mengatur nafanya lalu tersenyum. "Nona Sherin, dia sudah memberi respon. Di-"
Tanpa menunggu Rika menyelesaikan ucapannya, Adrian lebih memilih untuk segera menemui Sherin di dalam kamar.
"Sherin..." panggilnya sambil mendekat pada Sherin.
Mendengar namanya di panggil, Sherin menatap Adrian dengan tatapan seperti biasa.
"Apa kau mendengarku?"
'Kau pikir aku tuli Ad? Aku hanya kesulitan menggerakkan lidahku untuk saat ini. Bukan berarti aku tidak bisa mendengarmu. Walaupun... Kemarin aku memang benar benar tidak bisa mendengar dengan baik karena suara tembakan yang terus terngiang di telingaku.' Umpat Sherin dalam hati.
Gadis itu mengangguk pelan, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu pada Adrian, namun begitu sulit baginya. Hingga akhirnya ia menghela nafas lesu dengan kepala yang tertunduk.
"Jangan di paksakan. Sudah cukup dengan kau bisa kembali merespon setiap perkataanku." Adrian menenangkan Sherin yang seperti putus asa.
Saat seperti ini, sebisa mungkin Sherin harus mendapatkan support yang besar dari orang orang sekelilignya untuk mengembalikan kesadarannya dari trauma yang menyelimuti dirinya.
Adrian menjadi orang pertama yang selalu memantau perkembangan kondisi Sherin, semenjak hari itu Adrian menjadi lebih sering memberikan perhatian pada Sherin, dari hal kecil sampai terbesar walaupun itu di lakukannya di luar sepengetahuan keluarganya.
Apakah Adrian sudah mulai menyukai Sherin? Atau dirinya nenar benar hanyai inginelindungi Sherin kerena rasa bersalah yang timbul di benaknya? Entahlah, yang pasti saat ini Adrian hanya ingin melihat Sherin kembali menjadi gadis bodoh yang ceria seperti saat pertama bertemu.
Disaat yang bersamaan pria yang berpenampilan lebih santai yang menggunakan t-shirt polos serta celana pendek muncul di hadapan Adrian dan Sherin.
"Pagi nona cantik..." Veldian mengambil posisi duduk tepat di sebelah Sherin membelakangi Adrian.
Sherin menatap Veldian dengan senyuman seperti yang biasa di lakukannya.
"Aahhh... Hatiku benar benar meleleh melihat senyuman yang sangat ku rindukan itu." Sambil memegang dadanya layaknya orang yang sedang terpukau.
'Cih... Membuatku ingin muntah saja.' Batin Adrian jengah.
Sherin kembali tersenyum, kini senyuman itu semakin lebar.
"Syukurlah, aku senang melihatmu kembali tersenyum. Kau harus segera pulih." Sembari mengelus punggung tangan Sherin.
'Kalian benar benar memiliki hati yang baik. Walaupun caranya sangat sulit untuk ku pahami.' Sherin membatin terharu.
Iris coklat bening milik Sherin terlihat berkaca kaca, dirinya tak menyangka akan di kelilingi dengan banyak perhatian yang di berikan oleh keluarga besar itu. Entah bagaimana Sherin bisa membalas kebaikan mereka.
"Hei... Kau kenapa bersedih?" tanya Veldian panik.
"Muka kau seperti setan. Dia bukan sedih tapi lebih tepatnya takut," sahut Adrian ketus sembari bangun dari duduknya.
"Setan. Kau yang setan..." balas Veldian tak terima. "Kau tidak lihat, wajah ku serupa dengan Sehun Exo." Sambil merapikan rambutnya keatas dengan tangan kanannya.
"Cih... Mimpi woy..." teriak Adrian tepat di telinga Veldian hingga membuat Veldian secara refleks memukul kuat lengan kakaknya itu.
"Kampret... Telingaku bisa tuli karena teriakanmu itu."
"Siapa suruh berlagak seperti boyband korea. Bahkan di lihat dari lobang sedotan saja kau tidak ada apa apanya."
"Sialan kau Ad. Kau terlalu iri denganku karena ketampananku."
Tanpa mereka sadari, Sherin saat itu sedang tertawa geli melihat keduanya bertengkar seperti anak remaja yang sedang pamer ketampanan.
"Najis. Seluruh dunia tahu aku lebih tampan darimu. Bahkan pesonaku melebihi artis papan atas."
"Tsh... Sangat percaya diri. Kau tanya saja dengan calon istrimu itu. Siapa yang paling tampan? Hei nona, beritahu siapa yang paling tampan di antara kami berdua?" tanya Veldian.
"Ayo jawab dengan jujur. Siapa yang paling tampan?" Tak ingin kalah, Adrian juga ikut bertanya pada Sherin.
Hahaha... Sherin menahan menahan perutnya yang sakit akibat tawanya yang benar benar pecah.
"Tentu saja dia..."