"Memangnya apa lagi? Kau tidak lihat dia sedang menyuapkanku? Apa di rumah sakit itu tidak ada dokter mata? Hah?" ucap Veldian ketus sembari merangkul Sherin dari samping.
Sherin tak menggubris pertanyaan Adrian, dirinya lebih memilih untuk melanjutkan melahap makanan yang sejak tadi belum di habiskannya.
"Diam kau. Mataku masih sehat kampret," sahut Adrian sembari berjalan mendekati keduanya.
Adrian menatap tajam tangan Veldian yang masih setia melingkar di bahu Sherin. Pria itu seperti jijik melihat tingkah adik kandungnya yang seskan akan ingin merebut hati Sherin.
"Aku mau lagi, aaaaaakk..." Veldian mendekatkan wajahnya pada Sherin dengan mulut yang terbuka lebar.
Tanpa perlu menunggu, Sherin menyuapkan satu sendok makanan kemulut Veldian, "Apakah enak?" tanya Sherin pada Veldian.
Dengan gaya manja yang di buat buat, Veldian menganggukkan kepalanya dengan mata terpejam dan seutas senyum sumringah di wajahnya.
"Kalau kau yang menyuapkannya, terasa sangat lezat." Veldian mencubit gemesh pipi Sherin yang mulus.
Sementara di belakang keduanya, Adrian menatap muak. Tangannya sangat ingin melepaskan secara paksa tangan Veldian yang semakin erat merangkul Sherin.
'Rasain kau Ad, memangnya enak. Kacang kacang, lima ribuan saja, kacang kacang. Mwehehe...' Batin Veldian bersorak gembira melihat Adrian di abaikan seperti itu.
"Aku juga ingin makan," ucap Adrian menarik kursi yang ada di samping Sherin.
'Ais... Orang ini, kenapa duduk di sebelahku sih. Apa dia tidak takut akan mendapatkan kesialan lagi di hidupnya? Aku takut jika kau akan menyalahkanku kembali.' Sherin membatin.
Gadis itu meletakkan sendok dan garpu ke piring. Lalu meneguk air minum dan menyeka bibirnya, "Hah, aku sudah kenyang. Kalian lanjutkan saja, aku akan kembali ke paviliun," ucap Sherin sembari berdiri dari duduknya.
Adrian spontan menatap Sherin, "Kau benar benar tinggal di sana?" tanya Adrian datar.
Sherin mengangukkan kepalanya tanpa mengeluarkan suara. Sambil menahan rasa sakit di pergelangan kakinya, Sherin berjalan perlahan meninggalkan kedua kakak beradik itu.
Tanpa di duga kedua laki laki yang sama sama memiliki ketampanan dan kharisma itu mendekati Sherin sembari menarik tangannya dengan posisi yang bersiap ingin mengangkat tubuh Sherin.
Kedua tangan Sherin masing masing berada di leher Adrian dan Veldian, "Aaaa... Kalian mau apa?" tanya Sherin kaget.
"Mengantarmu," sahut keduanya bersamaan.
Adrian dan Veldian saling beradu tatap dengan mata yang sama sama membesar. "Biar aku saja." Adrian melepaskan tangan Sherin dari leher Veldian.
"Enak saja, aku yang mengajaknya kesini, jadi aku yang akan mengantarkannya," sahut Veldian mengalungkan kembali tangan Sherin di lehernya.
"Kau ini."
"Kenapa kau?"
Sherin melepaskan kedua tangannya dari leher Adrian dan Veldian, "Ah sudah sudah... Aku bisa berjalan sendiri. Kalian tidak perlu repot repot."
"Sher, apa kau lupa dengan janjiku?" Suara Veldian menghentikan langkah Sherin.
Gadis itu sebenarnya tidak ingin berurusan dengan kedua kakak beradik yang telah baik padanya. Tapi untuk yang satu ini, Sherin tidak bisa mengabaikannya. Informasi yang akan di berikan oleh Veldian satu satunya hal penting yang ingin di ketahuinya.
"Baiklah, tapi jangan menggendongku lagi. Aku bisa berjalan sendiri," sahut Sherin lalu menghela nafas lesu.
'Menggendong lagi? Berarti Veldian sudah melakukannya tadi? Anak ini, apa sebenarnya maunya?' Batin Adrian menatap tajam Veldian yang sedang tersenyum penuh arti.
"Aah... Baiklah baiklah, aku mengerti Nona muda," goda Veldian sambil mendekati Sherin yang berjalan perlahan dengan kaki yang masih terseret seret.
Veldian memapah Sherin agar memudahkannya berjalan. Lalu menoleh ke arah belakang dan tersenyum mengejek pada Adrian yang menggeram.
'Awas kau Vel.' Batin Adrian kesal.
*****
"Kau yakin dengan apa yang kau katakan itu Vel?" tanya Sherin dengan wajah lesu.
Dengan berat hati Veldian harus menganggukkan kepalanya, "Aku sudah meminta orang terdekatku yang berada di sana untuk melacak keberadaannya. Tapi hasilnya ya itu, dia sudah pergi ke negera lain enam bulan terakhir dan belum jelas negara mana yang sedang ia kunjungi."
'Ya tuhan, bagaimana ini? Kenapa aku terlambat mendapatkan informasi tentang dia? Jika saja aku lebih awal bertemu Veldian dan melihat lukisan itu, bisa saja saat ini aku bisa melihat secara langsung wajah Gallen.' Sherin membatin putus asa.
Harapan Sherin sirna begitu saja seperti tertiup angin kencang, gadis itu tertunduk lesu. Harus berbuat apa lagi pun sudah tak tahu.
"Hei, kau jangan seperti itu. Jika nanti ada kabar terkini dari tentang Gallen, aku pasti akan memberitahumu cepat." Veldian mengelus pundak Sherin memberi support pada Gadis itu.
"Haah..." Sherin menghela nafas sambil menatap beningnya air kolam renang yang ada di sampingnya. "Aku benar benar ingin bertemu dengannya."
Veldian bisa melihat dengan jelas raut kesedihan yang terpancar di wajah Sherin. Seandainya saja kejadian tragis masa lalu itu tidak pernah terjadi, pasti saat ini Sherin akan tumbuh menjadi gadis sempurna.
Mulut Adrian begitu gatal ingin menceritakan pada Sherin mengenai seluruh fakta yang di dapatnya dari sang papa. Laki laki itu berjanji pada dirinya sendiri untuk mengembalikan seluruh hak milik Sherin termasuk kebahagiaan yang telah terenggut darinya.
'Maafkan aku, Sherin. Saat ini hanya itu yang bisa ku lakukan untukmu.' Batin Veldian.
Karena tak ada suara yang terdengar, Sherin melirik untuk mencuri pandang pada Veldian. Di tatapnya baik baik wajah Veldian yang sedang termenung itu hingga membuatnya mengerutkan dahi.
'Kenapa sepertinya aku merasa Veldian sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Apa Veldian sedang berbohong padaku?' Sherin bertanya tanya dalam hati.
"Vel, Veldian," sapa Sherin sembari melmbaikan tangannya di depan wajah Veldian.
Veldian tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum menatap Sherin, "Ah sory sory... Kau bicara apa tadi?" tanyanya.
'Benar, kau sepertinya memang sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ah, sudahlah. Yang jelas aku sudah menyimpan dengan baik di ingatanku alamat yang telah di sebutkan Veldian tadi.' Batin Sherin.
"Apa kau mengantuk Vel?" tanya Sherin mengalihkan pembicaraan.
"Tidak juga, aku hanya kelelahan saja. Oh ya, kenapa kaki mu bisa terkilir? Kau jatuh dimana?" tanya Veldian sambil melirik kaki Sherin.
"Oh itu, aku tidak sengaja terjatuh saat ingin mengejar Alika." Sherin terpaksa harus berbohong pada Veldian, ia khawatir jika Veldian mengetahui yang sebenarnya kemungkinan besar laki laki itu tak ingin membantunya lagi.
'Kau mencoba berbohong dariku Sher, kau kira aku tidak tahu semua yabg terjadi? Kita lihat, kau akan menjawab jujur atau tidak.' Batin Veldian menatap Sherin yang tengah menyalipkan anak rambutnya ke telinga karena rasa gugupnya.
"Memangnya apa yang terjadi dengan Alika itu? Sampai kau harus mengejarnya? Lalu siapa yang sudah mengobati kakimu?"
"Oh ... Itu ... Emm ... Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa kakak mu bisa tiba tepar waktu di saat kakiku terkilir. Padahal setahu ku, jalan itu sangat jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja," sahut Sherin ragu.
'Kau jujur kali ini. Jika saja kau tahu, aku tidak benar benar pergi ke perusahaan dan membuntutimu. Aku juga lah yang meminta Adrian untuk menjemputmu saat itu. Ternyata si kampret itu datang tepat waktu juga. Apa dia sudah terlihat seperti pangeran berkuda putih untukmu? Hehehe...' Veldian membatin geli membayangkan Adrian seperti yang di katakannya.
"Ah sudah lah itu tidak penting. Yang penting saat ini kau harus segera pulih karena pernikahanmu akan berlangsung lima hari kedepan," ucap Veldian.
Gadis itu terkejut, matanya membesar sempurna, bahkan kini dirinya secara spontan bangkit dari kursinya.
"Apa? Lima hari lagi?"