"Katakan padaku, apa yang terjadi sebenarnya?" Vedian berdiri menatap Adrian dengan penuh amarah.
Pria yang di hubungi Sherin itu selalu ingin melindungi Sherin dari masalah apapun, terutama dari sang kakak yang tak pernah bisa menjaga Sherin walau hanya sebentar.
Sherin ikut berdiri dari duduknya, lalu menarik lengan Veldian untuk mundur dari hadapan Adrian.
"Jangan seperti itu pada kakakmu," ucap Sherin pelan sembari menggelengkan kepalanya.
"Ini terakhir kalinya kau membawanya pergi dan menambah masalah untuknya. Kau pikir kau siapa Ad? Jika bukan karena papa, aku sudah lama menghabisimu," teriak Veldian. Laki laki itu tampaknya telah habis kesabaran melihat tingkah Adrian yang selalu menyakiti Sherin.
"Jangan pernah lupakan, bahwa aku calon suaminya. Dan kau tidak berhak atas dia." Adrian tersenyum tipis nyaris tidak terlihat, di dalamnya juga tersembunyi sedikit kecemburuan pada Veldian yang selalu menjadi penyelamat Sherin dalam keadaan genting seperti ini.
Adrian menarik tangan Sherin hingga berpindah ke sebelahnya. Pria itu menatap Sherin penuh arti yang hanya di ketahui olehnya saja.
Kini suara keributan antara kedua kakak beradik itu menjadi sorotan beberapa keluarga pasien dan perawat yang melintas di hadapan keduanya. Beruntung di igd saat itu tidak banyak pasien, jika tidak keduanya akan sangat mengganggu.
"Cih... Menjijikkan. Apa yang kau maksud suami kon-"
"Veldian," ucap Sherin tiba tiba. "Aku ingin pulang dan membersihkan diriku." Dusta Sherin untuk menghentikan ucapan Veldian yang pada akhirnya menambah kekacauan.
"Aku yang akan mengantarmu pulang." Adrian menyahut dengan cepat.
Sherin menggelengkan kepalanya tertunduk, "Tidak perlu, kau urus saja Tiara. Aku tidak ingin terjadi keributan untuk kedua kali. Aku bisa pulag bersama Veldian." Lalu berjalan mendekati Veldian.
Adrian menarik tangan Sherin kembali hingga membuatnya kembali ke posisi tepat di sebalah Adrian. "Tapi aku calon suamimu bukan dia." Bentak Adrian dengan rahang yang megetat.
Veldian benar benar tidak habis pikir pada sikap Adrian. Setelah memaksa Sherin bukannya ia bersikap lembut, justru semakin membentak Sherin.
Mata Veldian seakan ingin membunuh kakak kandungnya itu. Aliran darahnya tiba tiba terasa mendidih dan akan terbakar. Kakinya kembali maju satu langkah mendekati Adrian seperti menantang.
Sherin merasa harus segera bertindak agar Veldian tak kebali tersulut emosi dan amarah yang terlihat menggebu gebu.
"Tapi masih calon, dan aku berhak untuk memilih dengan siapa aku akan pergi dan apa yang akan aku lakukan. Aku tidak ingin menambah kesialanmu lebih banyak lagi," ucap Sherin sekenanya. "Ayo Vel, aku sudah tidak tahan menjadi tontonan orang orang." Menarik tangan Veldian pergi dari hadapan Adrian.
Sayang saja keberadaan Adrian kini sedang di rumah sakit tempatnya bekerja, jika tidak pasti ia akan mengejar Veldian dan menghajarnya lalu menyeret kembali Sherin untuk tetap bersamanya.
"Apa yang kalian lihat?" tanya Adrian dengan ekspresi wajah tak terbaca.
Seketika perawat yang diam diam melihat dan mendengar pertengkaran kecil antara kedua kakak beradik yang seolah memperebutkan satu perempuan yang sama segera berhambur dari posisi mereka masing masing.
*****
"Kau daru mana saja Sherin? Sejak pagi tadi mama sibuk mencarimu." Veldian melirik Sherin yang sedang duduk di kursi penumpang bagian depan.
Sherin menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu persis kejadiaannya. Seingatku dini hari sekitar jam tiga kurang aku di ajak Adrian ke restoran cepat saji untuk makan. Setelah itu saat menuju perjalanan pulang aku tertidur dan tidak tahu apa apa." Sambil mengurut urut pelan kepalanya pelan dengan mata tertutup.
"Jadi, maksudmu Adrian tidak membangunkanmu dan langsung membawamu ke rumah sakit?"
Sherin menganggukkan kepalanya ragu.
"Lalu apa yang terjadi? Setelah kau bangun tidur? Kenapa kau bisa berada di igd?"
"Aku ... Sebenarnya aku belum ingin bangun dari tidurku, tapi aku mendengar suara teriakan seseorang yang membuatku terkejut. Setelah itu ...." Sherin tak melanjutkan ucapannya khawatir Veldian akan murka.
"Lalu apa? Siapa yange berteriak denganmu? Apa Adrian? Apa dia melakukan sesuatu yang kasar lagi padamu?"
"Oh bukan bukan... Bukan begitu maksudku."
"Jadi apa? Ayo katakan, jangan menyembunyikannya dariku."
"Tiara, dia masuk kedalam kamar yang ada di ruang kerja Adrian. Saat melihat aku dan Adrian sedang tidur di sana, dia mencaci makiku dan menjambak rambutku dengan sangat kuat. Aku sampai kehabisan tenaga, karena aku baru saja bangun tidur. Hais... Perempuan itu benar benar kuat, Vel." Sherin bergedik ngeri membayangkan tenaga Tiara yang ekstra saat menjambak rambutnya.
Veldian menginjak pedal rem hingga membuat mobil terhenti mendadak dan hampir saja membuat kepala Sherin terbentur di dashbord mobil.
"Apa katamu? Tiara? Perempuan gila itu menjambak rambutmu?" tanya Veldian dengan mata membesar.
"Aduh... Kau ini, mengagetkanku saja Vel. Kepalaku sudah sakit, kalau terbentur lagi akan bertambah sakit," eluh Sherin sembari memegangi kepalanya.
"Kenapa kau tidak melawan Sher? Kenapa kau diam saja? Dan kenapa kau tidak mengatakannya sejak di rumah sakit tadi? Biar ku hajar Adrian dan Tiara. Pasti perempuan gila itu masih berada di dalam ruangan Ad. Aku tahu betul wataknya yang pencemburu dan licik."
"Aku kan sudah bilang, aku kehabisan tenanga karena baru saja bangun tidur, lagi pula kedua tangan Tiara benar benar mengunci tubuhku. Ah, sudahlah Vel. Aku tidak ingin ada keributan lagi. Kepalaku benar benar sakit, rasanya rambutku akan terlepas dari kulit kepala."
Tiba tiba Veldian seperti teringat sesuatu lalu menatap Sherin dengan senyuman penuh curiga di wajahnya.
"Sher, apakah kau dan Ad sudah ...." Menyatukan kedua jari telunjuknya di depan wajahnya.
Sherin mengerutkan dahinya, lalu ikut melakukan gerakan tangan yang sama dengan Veldian, "Ini..." sambil melirik kedua jari telunjuknya yang menyatu. "Artinya apa?" tanya Sherin lagi.
Veldian terus tersenyum licik menatap Sherin, laki laki itu benar benar penasaran dengan apa yang telah kakaknya dan Sherin lakukan di atas kasur yang sama hingga membuat Tiara benar benar murka.
"Ayolah Sher, masa kau tidak mengerti juga." Veldian menyuil lengan Sherin lalu kembali menyatukan kedua jari telunjukknya. "Ini, apa kau dan Adrian sudah melakukannya?"
Setelah beberapa detik berfikir keras untuk mengerti maksud pertanyaan dari Veldian, mata Sherin pun membesar sempurna sembari melepaskan kedua jarinya yang bertautan.
"Veldian... Astaga, apa kau berpikir aku dan Asrian akan melakukannya?" Memukul juat lengan Veldian.
Veldian mengangguk pelan dengan kedua alis yang terangkat ke atas. "Kenapa tidak? Kakakku itu laki laki normal, dan kau juga seorang gadis normal kan?" tanya Veldian tersenyum sarkas.
"Jangan bercanda Vel. Bahkan setelah menikahpun kami tidak akan pernah melakukannya. Kau jangan lupa jika di antara kami tidak ada perasaan cinta dan hanya menikah untuk kepentingan lain." Merapikan posisi duduknya kembali
Entah kenapa Sherin menarik nafas panjang dan menghelanya secara kasar, seperti ada rasa yang mengganjal di hatinya saat mengatakan itu pada Veldian.
Veldian merasa ada yang salah dari sikap yang di tunjukkan Sherin. Walaupun mukutnya berkata seperti itu, tapi sepertinya jauh di lubuk hatinya tersimpan kesedihan tersendiri.
"Apa kau bisa menjamin itu semua tidak akan pernah terjadi? Apa kau berani bertaruh denganku?"